"No, thank you." Rei mengambil dua barang itu dari tangan Haruto. Ia membuka tutup botol air mineral tersebut untuk di minum kemudian ia pakai mencuci mukanya yang lengket karena air mata sebelum dilap dengan tisu kering pemberian lelaki itu.

Haruto sendiri kini sudah duduk di sebelahnya sambil menonton. "Apa lo benar-benar menangis karena gue memarahi lo tadi?"

Rei sedang menutup wajahnya dengan tisu saat jawabannya mengudara. "Apa lo nggak tahu? Orang yang tiba-tiba menghilang lalu muncul lagi hanya untuk marah-marah itu benar-benar bikin kesal."

"Gue nggak—" Haruto mengatupkan mulutnya karena ia kehilangan kata-kata sebelum menyahut. "Gue habis bersemedi di Studio Maki-Naki. Ada banyak hal yang harus diurus, dan baru selesai hari ini."

"Bohong. Lo cuma mencari alasan buat menghindari gue."

"Youre right." Kata Haruto dengan kesal ketika ia melanjutkan. "I spent a lot of time thinking over the past week."

"Now, you have a brain."

Haruto mendecak, ia kemudian menoel bahu Rei dengan telunjuknya sebelum menggodanya bercanda. "Lo yakin alasan lo nangis bukan karena kangen sama gue? Lo kelihatan kayak sebel banget gue tinggal seminggu."

"Ew! Pede gila!" Rei melemparkan gumpalan tisu itu kepada Haruto sebelum memutar kedua bola matanya. "Gue nggak akan melakukannya—menangisi lo."

"Tadi lo nangis karena gue."

"Kan udah gue bilang, itu karena lo sangat menyebalkan!" Geram Rei dengan marah. Ia kemudian menarik napasnya dengan mudah dan merasa lega ketika melihat sekeliling taman yang sepi dan melindunginya dari terik sinar matahari. "So, apa yang mikirin apa sampai satu minggu?"

"You, and the possibility about loving you that I once said."

"So you have decided?"

"Already, now."

"Oh."

"Just, 'Oh'?"

Rei mengedikan bahu dan memasang wajah tidak berdosa menanggapi muka sewot Haruto. "Btw, lo ngapain ada di dekat apartemen gue?"

"Gue?" Haruto berhenti menggerutu dan membuka mulutnya sesaat ia kehilangan kata-kata. "Lagi jalan santai aja."

"Mobil lo kemana?"

"Gue kasih ke Jeongwoo."

"Bohong." Kata Rei dengan kerutan di dahi ketika lelaki itu melototinya dan bersiap menyela, namun Rei dengan cepat berkata. "Lo yang kangen kan sama gue?"

Mata Haruto berpindah dari mata Rei ke arah bibir wanita itu sebelum berdeham dan membuang muka. "Mana ada."

"Jadi jawabannya apa?"

"Apanya?"

"You know what i mean."

"Oh. I think its yes." Haruto membalas dengan nada menyebalkan sampai jemari lentik Rei bersarang di pinggangnya dan mencubitnya keras sehingga teriakannya mengudara. "ARGH! ITS HURT!"

"Youre so annoying."

"You too!!" Sentak Haruto tidak habis pikir. Ia mengusap bekas cubitan Rei yang rasanya akan membekas seumur hidup sebelum membalasnya. "Lo bahkan belom jawab, do you like being with me?"

"Perasaan ya, sebelum bertanya lo udah menjawabnya sendiri waktu itu." Sindir Rei yang dibalas tatapan Haruto dan kini lelaki itu menunjukan telapak tangannya. "Give me your hand."

Rei mengangkat alisnya dan sekalipun ia tidak mengerti, ia meletakan jemarinya di atas jemari lelaki itu dan Haruto menggenggamnya dengan erat.

"How your feelings?"

"Nothing."

"Stop lying."

"I'm not lying!" Rei menggerutu tapi ia menahan jemari Haruto yang berniat melepaskan genggaman tangan mereka karena sebal dan katanya. "Lo nggak sabaran banget sih. Give me a minute!"

"Emang jawabannya bakal berubah dalam satu menit?"

Rei tidak membalas sindiran Haruto karena ia terlalu sibuk mengamati jemari mereka dengan banyak sekali pikiran yang lewat di kepalanya. "Not gonna lie, i like being with you. But still, gue mau memastikan sesuatu."

Kini mata mereka kembali bertemu sehingga ia bisa melihat ekspresi kebingungan di wajah lelaki itu. "Apa?"

"Would you ask me about my past?"

"Depends." Haruto menjawab setelah keheningan lama terjadi di antara mereka dan selama itu ia menyelami kesedihan yang disembunyikan oleh sepasang mata wanita itu. "But what is clear, I will not force you or find out from other people—at least not anymore."

"Not anymore? Berarti pernah?"

"Pernah, lah." Haruto kemudian mengedikan bahu dan sebelum Rei menginterogasinya ia lebih dulu menjelaskan. "Sepulang dari Namhae gue nyamperin Wonyoung, gue nggak tahu ya lo sama dia punya perjanjian apa, tapi dia nutup mulut rapat banget dan bilang sesuatu yang menyadarkan gue. Sesuatu itu yang bikin gue berhenti buat mengorek masa lalu lo dari orang lain."

"Turns out there's a reason why you claim to be her admirer." Gumam Rei dengan sangat pelan diiringi kekehan. Haruto tidak mendengar kata-katanya sama sekali, lelaki itu hanya mendengar Rei menertawainya. "Is that funny?" Cibir Haruto jengkel.

Rei mengabaikan cibiran Haruto dan memilih membasahi bibirnya. "You know, I think i need someone who can distract me."

"Nah, I always distract you."

Rei menyeringai. "You're right."

Haruto sudah tersenyum bangga sambil menyentuh tengkuknya sebelum mendongak menatap daun-daun di atas kepalanya geli. "I know that. I'm really good at distracting people's minds."

Haruto berdeham. "So, are we just.... dating?"

"You need that title?"

"I guess, yes."

"Then, yes."

Haruto kini tidak lagi menahan tangannya untuk meraih dagu wanita itu dan menunduk untuk mencari bibirnya.

B; rei • haruto (fanfiction)Where stories live. Discover now