tiga puluh

24 1 0
                                    

J sangat yakin kalau Haruto benar-benar memuaskan dirinya selama di Namhae karena ketika ia melihat kembarannya pagi ini, ia menyadari betapa belangnya lelaki itu.

"Lo terlihat seperti roti lapis, Brother." Ujar J sebelum meminum susunya tanpa mengalihkan perhatiannya sama sekali sementara Haruto mengunyah roti tawarnya seperti jerapah mengunyah daun. "Nggak masalah. Wajah gue tetap ganteng apa adanya."

"Apa aja yang terjadi selama kalian di sana?" Sahut J yang kemudian mendekat penasaran. Ia sudah melipat kedua tangannya di atas meja dan siap mendengarkan seperti seorang murid yang patuh. Haruto mendengus sembari meraih gelas susunya. "Anak kecil nggak boleh tahu."

"Ah, dont worry, i know about this. You guys have a condom right?"

Haruto tersedak ludahnya sendiri setelah ia menelan roti tersebut dengan paksa dibantu susu. Matanya melototi J tidak percaya.

"What do you mean?"

J mengibaskan tangan di depan muka dan menyahut. "Gue nggak mau terlalu ikut campur urusan seks orang, tapi gue mau lo memikirkan konsekuensi yang ada. Karena kalian udah dewasa, gue harap kalian mengerti tanggung jawabnya. Lo ataupun partner lo bakal menghasilkan nyawa seseorang kalau sampai kalian kecolongan. Married by accident isnt a good thing. Bukan karena bikin malu, tapi karena ada nyawa orang lain yang nggak berdosa. "

"My JJ. You and your dirty mind. I bet its a good time to wash your brain." Sahut Haruto sengit. J memutar kedua bola matanya dan kepalanya pun ikut berputar saat Haruto meletakan piring dan gelas bekasnya di atas wastafel, ia bersiap mencucinya. "Jadi kalian ngapain aja?"

"Ke pantai."

"Did you kiss her?"

Kuping Haruto memerah spontan dan ia menggeram saat tawa kembarannya terdengar. "You fell for her, Bruh."

"You better shut up, My JJ."

"Apa itu artinya sekarang kalian udah jadian?" Tanya J lagi dan Haruto mengambil lap kering di dekatnya untuk dilempar ke badan J kesal. "Shut up!"

J melotot sebelum berakhir tertawa lebih keras sambil berlari menuju kamarnya. "Gue harus memberitahu Jeongwoo kalau lo ditolak!"

"IM NOT REJECTED."

"I 100% know youll be rejected by her." Teriak J dari kamarnya sementara Haruto bersungut-sungut sambil menyelesaikan cuciannya dengan cepat.

...

...

Rei merutuk saat ia keluar dari kamar dan berpapasan dengan ayahnya di lorong, reaksi pertama yang lelaki paruh baya itu tunjukan adalah pelototan dramatis seperti melihat setan.

"Who are you? Zebra?" Kata Mr. Naoi yang membuat Rei memutar kedua bola matanya. Mr. Naoi mengatupkan mulutnya langsung sebelum bertanya ragu-ragu. "Kamu habis dari mana sampai mukanya belang begitu?"

Ia masih kesal dengan ayahnya dan berniat mogok bicara sampai waktu yang tidak ditentukan, namun Rei tidak bisa menahan dirinya buat mengonfrontasi. "Bukannya Papa yang mengirim mata-mata ke Perpustakaan Jo Serim dua hari yang lalu? Kalau iya, Papa harusnya tahu kemana aku pergi dan menerima fotonya seperti biasa."

Mr. Naoi tidak langsung menjawab, dan Rei mengangkat alisnya karena ia menyadari ada yang salah dengan ekspresi ayahnya.

"Papa nggak mengirimkan mata-mata?" Tanya Rei. "Papa benar-benar nggak tahu aku kemarin ke mana dan bersama siapa?"

Kali ini Mr. Naoi bereaksi cepat, "Kamu bersama siapa? Watanabe Haruto?"

"Bukan urusan, Papa." Sahut Rei sebelum mendecak pelan sambil melewati ayahnya dan menuju dapur mencari makanan. "Sekarang entah kenapa gue jadi berpikir kalau itu beneran ulah Hantu Perawan Penunggu Lantai Dua Perpustakaan Jo Serim."

Rei geleng-geleng kepala sejenak yang diikuti dengan senyum kecil saat ekspresi wajah ketakutan Haruto terlintas di kepalanya. Ia membuka kulkas dan tidak mendapati apapun di sana, asisten rumah tangga ayahnya pasti sudah menyingkirkan bahan-bahan busuk mengingat ini memang mendekati akhir bulan.

Akhir bulan?

Rei yakin ia memiliki undangan acara di akhir bulan. Tapi apa? Gumamnya dalam hati sambil mencari sesuatu yang bisa dia makan. Ada satu bungkus mi instan di sudut terdalam lemari gantung dan terlihat seperti disembunyikan dengan sengaja. Rei bisa mengambilnya dengan mudah karena tubuhnya memang cukup tinggi, walau sekarang ia mengutuk pikirannya yang lagi-lagi memikirkan lelaki itu. Entah tentang mi instan tersebut atau tentang tubuh raksasanya yang membuat Rei merasa kecil.

"Dia benar-benar mencuci otak gue dengan air pantai." Umpat Rei yang mulai membuka bungkus tersebut dan memasaknya dengan sebal.

Sisa waktu yang mereka dihabiskan kemarin tidak bisa dibilang bagus namun juga tidak buruk. Rei ingat bagaimana Haruto membanting tubuhnya tanpa ampun di atas air pantai, dan kalau Rei tidak memiliki kesigapan untuk mempertahankan diri, ia masih sudah membiarkan air masuk ke dalam mulut dan telinganya. Kadang, Rei berpikir Haruto tidak melihatnya seperti wanita entah dari sikap lelaki itu atau bagaimana ketusnya lelaki itu berbicara kepadanya.

Tapi Rei juga tidak bisa berbohong kalau kata-kata lelaki itu di bukit saat matahari terbit dan di pantai saat matahari terbenam benar-benar ...

"Its Dana's wedding day!" Seru Rei yang tiba-tiba teringat apa yang telah ia lupakan di akhir bulan. Ia kini berlari kecil ke kamarnya untuk mengambil ponsel.

Rei langsung kembali lagi ke dapur sambil berjalan menghubungi Dana. Karena kesibukannya itu, Rei tentu tidak menyadari keberadaan seseorang yang sudah lebih dulu berada di dapur dan sedang kebingungan.

"You steal my ramyeon." Tuduh satu suara yang membuat Rei bergeming sesaat. Ia jelas mengenalnya. Suara itu. Lebih dari setengah dari hidupnya ia mendengar suara itu.

"Why are you here?" Rei mendongak untuk menatap Ni-ki, tentu saja benar lelaki itu, ia tidak berhalusinasi. "Lo seharusnya di Connecticut."

"Does it matter?" Tanya Ni-ki yang mengulang pertanyaan Rei kepadanya beberapa minggu lalu. Ni-ki kemudian menoleh ke arah panci dan menunjuknya. "Lo mencuri ramyeon yang udah dengan susah payah gue sembunyikan."

Rei mengerutkan alis dengan tersinggung. "Gue nggak mencuri. Lagipula, siapa yang menyembunyikan ramyeon di tempatnya?"

"Gue baru meletakannya sebentar di sana untuk dimasak pagi ini setelah menyimpannya semalaman di kamar, lalu seseorang tiba-tiba mencurinya dari gue."

Rei melengos. "Mana gue tahu. Emangnya dibungkus itu ada nama lo?"

Ni-ki memungut bungkus ramyeon tersebut dan menunjukan namanya yang benar-benar ia tulis dengan spidol. "Heres my name!"

"Gue nggak lihat!"

"Sekarang lo udah lihat, jadi lo tahu kalo itu punya gue!"

"Terus? Kan yang masak gue!"

"Itu ramyeon gue!"

"Now its mine!"

"Nona dan Tuan Muda tidak perlu bertengkar pagi-pagi." Bibi Song menghentikan pertengkaran kedua orang itu yang tidak lebih seperti pertengkaran anak kecil yang ia saksikan bertahun-tahun yang lalu. "Sekarang, kalian lebih baik duduk dan biarkan Bibi Song yang menyelesaikan masalah ini."

"Bagaimana—"

"Kalian cukup duduk saja." Potong Bibi Song disertai pelototan kecil. Kini baik Rei maupun Ni-ki menurut dan duduk di kitchen set menonton Bibi Song melakukan sesuatu.

Wanita tua itu memasak ramyeonnya dengan baik lalu membaginya rata ke dalam dua mangkok sebelum disajikan di depan dua orang yang semula bertengkar karena hal tersebut.

"Kalau begini, adil kan?"

Rei dan Ni-ki tidak menjawab dan hanya menatap mangkok mereka masing-masing. Melihat hal itu, Bibi Song jadi tertawa. "Kalian benar-benar tidak berubah dari dulu. Masih sering berdebat karena hal kecil yang harusnya bisa diselesaikan dengan mudah."

"Sekarang, nikmati ramyeon kalian dan jangan bertengkar."

B; rei • haruto (fanfiction)Where stories live. Discover now