─ xi. "RETELL SNOWFLAKES MEMOIR BEFORE ENIGMA"

Start from the beginning
                                    

       Tarikan sudut bibir biasanya akan menghangatkan suasana. Namun, bukan berarti menghangatkan suhu ketika butiran salju di luaran sana mencoba menemukan ruang landas mereka. "Aku tak keberatan membawakanmu secangkir teh sebelum kau jelaskan sudut pandangmu tentang anak-anak dan operasi."

       Tak ada jawaban, tapi pelangi di wajah Adam cukup menjelaskan segalanya sehingga sang lawan bicara pun membiarkan tatanan rambutnya menjadi ruang landas beberapa butiran salju demi secangkir teh di tangan agar segera memelototi netra Adam. Sekembalinya pria itu dengan tiga cangkir kosong dan seteko teh yang cerobongnya mengepulkan asap—persis seperti kereta-kereta di bawah panji operasi—menenggelamkan kata keduanya ketika kerongkongan menghangat dan tak ada lagi tangan, papila, maupun suara bergetar setelahnya.

       Meski Adam menolak menanggalkan jasnya, suspender milik dia tak lagi digenggam kerapuhan. Justru tangan itu kini memangku cangkir teh yang menyeruakkan aroma krisan di bawah hidungnya. "Terima kasih, Alan," Pria itu mengangkat sepasang alis sebab separo wajah ditenggelamkan cangkirnya, "tapi pagi ini akan murung jika diisi ceramah soal anak-anak dan operasi dariku."

       Hampir saja setiap tetes teh yang bersembunyi di balik gembungan pipinya melompat keluar layaknya bibir air mancur yang memuntahkan kharismanya. Beruntung saja Alan segera menelan itu semua tepat pada waktunya sehingga batuk menyusul kemudian. "Mungkin," dadanya mendapatkan simpati dari si tangan untuk beberapa saat, "mungkin benar," dan batuk yang terselip pun sirna sudah.

       "Mari dengarkan hikayat akhir tahunmu," usul Adam yang segera mendapatkan penolakan dari Alan melalui gelengan telunjuk. "Mari dengarkan hikayat rahasiamu."

       "Rahasia?" Sepasang alisnya mengerutkan tanda tanya. Seruputan lainnya yang hampir terlaksana, berakhir merana sebab hati menabuh sekali drumnya. "Jika aku punya satu, maka itu juga milikmu, karena itulah kita ada di sini."

       "Benar!" Alan membiarkan secangkir tehnya bersiap menciptakan pola lingkaran di atas meja. "Namun, jika kukatakan pra, maka itu bukan milikku, Adam."

       Mimik yang menyimpan tanda tanya beserta keterkejutan hilang sudah digantikan lontaran kekehan singkat. "Pasti kau ingin tahu sumber pengetahuanku tentang Enigma, bukan?" Tanpa membiarkan tik di arlojinya terbuang percuma, Alan segera menganggukkan kepala. "Hanya jika kau menghormati rahasiaku, Alan. Maka hikayat ini akan menyenangkan di telingamu."

       "Aku sudah menghormatinya. Bukan hanya milikmu, tetapi juga milik negara. Jika tidak, sekembalinya aku ke Bletchley, kau hanya bisa bertegur sapa dengan mayatku." Itu cukup menghibur Adam yang kekehannya mengalahkan desisan salju di luar sana, sementara Alan merasa puas melalui tarikan sudut bibirnya.

       "Baiklah," gumamnya manakala cangkir teh di tangan pun, dibiarkan menyiapkan diri membentuk pola lingkaran menodai mejanya. "Ini sebenarnya ketidaksengajaan, tapi rasanya seperti memenangkan lotre." Tawa disisipkan guna memperhangat temperatur yang tak lagi menggetarkan tangan Adam.

       "Keluargaku mengenal baik Clement Attlee, jika kau kenal dia." Anggukan kepala Alan menjelaskan semuanya. "Dua minggu setelah Inggris mendeklarasikan keterlibatannya pada perang, aku mengunjungi Attlee dengan ayahku untuk jamuan bersama rekannya. Ayahku dan Attlee memiliki kawan serupa. Jadi mereka menyambutku dengan mudah."

       Suaranya menghilang karena keraguan, tetapi Alan yang menjorokkan tubuh ke arahnya, menunjukkan antusiasme kelewatan hingga Adam tak mampu menyembunyikan senyuman. "Di balkon setelah perjamuan, tampaknya sepasang intelijen membahas Enigma terlalu terbuka. Kepulan asap rokok meramaikan percakapan mereka dan langkahku menuju kamar mandi tercegat topik asing. Awalnya tak ada kata Aenigma dilontarkan alih-alih Enigma. Namun, lidah mereka tampaknya tak tahan untuk memelesetkan itu."

The Theory of MetanoiaWhere stories live. Discover now