Memasuki Gua

79 5 0
                                    

Pukul 09.00 mereka memutuskan memasuki kembali hutan tersebut, mungkin hari adalah hari terakhir mereka memasukinya karena setelah itu mereka akan benar-benar kembali ke kota dan meninggalkan semua kenangan buruk di pulau tersebut.

Mereka kembali mengikuti tanda yang disematkan oleh Helena kemarin. Namun, sebelum mereka memasuki hutan itu, Stevan terlebih dulu mengunjungi makam Dion, yang lain pun akhirnya ikut melihat makam sahabatnya.

“Ternyata aman. Aku cuma mau lihat aja gimana kondisi kuburannya soalnya semalam hujan deras 'kan,” ujar Stevan kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Niat mereka hanya untuk melihat kondisi bekas kebakaran kemarin, memasuki gua, dan terakhir mengambil tas ransel mereka yang berisi tenda yang sengaja ditinggal kemarin. Itu juga jika tasnya tidak terkena api.

Mengingat sudah punya penunjuk jalan sehingga mereka melangkah dengan cepat menuju titik kebakaran hanya mengandalkan tanda di pohon dan ranting. Tanda itu terlihat jelas karena menggunakan potongan kain berwarna merah, sehingga begitu kontras dengan warna hijau dedaunan.

“Wah, cukup luas juga ternyata lokasi kebakarannya,” ujar Peter saat mereka sudah tiba di lokasi yang terbakar, sekitar satu hektar lebih.

Mereka terus masuk dan menginjak tanah yang sudah tandus dan menyisakan abu sisa pembakaran.

“Kasian banget dia mati,” ujar Helena saat mendapati seekor kera yang mati terpanggang.

Mungkin juga masih ada binatang lainnya yang ikut terpanggang. Seharusnya hal ini tidak dilakukan oleh seorang pecinta alam, apapun alasannya, membakar hutan adalah suatu tindakan yang  tidak boleh dilakukan.

Beruntung pulau itu jauh dari jangkauan manusia sehingga akan jauh dari tuntutan. Toh, setelah ini akan ditumbuhi oleh rumput dan pepohonan.

“Aku rasa kita perlu menanam pohon lagi. Di sana bayak pohon-pohon yang masih kecil,” ujar Leny mengutarakan idenya.

“Ide bagus! Anggap ini sebagai ucapan permintaan maaf karena sudah membakar hutan,” timpal Helena.

Akhirnya sesuai kesepakatan, mereka menggali pohon-pohon kecil yang tidak terkena api dan memindahkan ke lahan yang terbakar. Hal itu membuat waktu mereka habis di hutan untuk melakukan reboisasi.

“Kamu taro tas di mana kemrin?” tanya Peter.

“Kalo gak salah di sebelah sana,” jawab Putra.

Api menjalar ke arah utara, mungkin karena tertiup angin, sehingga tas ransel yang berisi tenda tidak terkena api, tas tersebut masih utuh di balik pohon besar. Kalau seandainya hujan tidak turun lebih cepat mungkin tas itu sudah dilalap api juga karena tas hanya berjarak sepuluh meter dari ujung lahan yang terbakar.

“Itu tendanya di sana,” ujar Putra seraya menunjuk ke arah tas itu berada.

Mereka akhirnya mengambil tas tenda dan membawanya, tujuan selanjutnya adalah ke gua, letak tempat tinggal ular raksasa itu sudah tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kira-kira 500 meter lagi sementara waktu sudah menunjukkan pukul 15.30.

“Apa tidak sebaiknya besok saja kita masuk ke gua?” tanya Leny.

“Masih setengah empat ini, kita bergerak cepat aja,” ujar Leo setelah melihat jam di pergelangan tangan kanannya.

“Kalau menurut aku juga sebaiknya kita masuk besok pagi saja. Sekarang sebaiknya kita cari tempat untuk membangun tenda, belum lagi kita harus menyiapkan makanan,” ucap Stevan.

Akhirnya mereka membangun tenda di lokasi bekas kebakaran karena menurut mereka tempat itu lebih aman. Binatang juga tak terlihat, mungkin masih trauma dengan kebakaran hutan yang menimpa wilayah mereka.

Terlebih lagi mungkin juga kebakaran itu merupakan musibah pertama kali yang terjadi di pulau tersebut. Biasanya mereka sering menjumpai hewan buas atay pun hewan beracun saat memasuki hutan.

Namun, kali ini mereka hanya bertemu beberapa jenis burung yang terbang, masih terdengar suara binatang sesekali. Mungkin saja mereka mencari tempat yang lebih aman, mengingat pulau tersebut sangat luas.

Setelah tenda terpasang, mereka menyiapkan makan malam ala kadarnya dan beristirahat.

“Kira-kira di dalam gua aman gak, ya? Aku Cuma takut aa kalau para hewan mencari perllindungan di sana saat terjadi kebakaran kemarin,” ujar Leny memecah kesunyian.

“Makanya besok kita harus lebih waspada, jangan lupa membawa kayu, selain menjadi tongkat juga berfungsi untuk menghalau jika bertemu binatang di dalam hua, biasanya sih ular suka hidup di dalam gua,” jawab Stevan.

“Mending kalian pada masuk tenda, aku tunggu sore aja baru masuk, mendekati gelap lah.” Peter tiba-tiba duduk di samping Stevan. Memandangi kawasan yang habis terbakar.

Di kejauhan bisa terlihat sisa-sisa kebakaran hutan, aroma bekas terbakar tercium jelas di indra penciuman.

***
Pagi menyapa, mereka kembali tersadar dari tidur lelap, Stevan keluar dari tenda. Hal pertama yang ia lihat adalah tanah tandus, tetapi masih terlihat lebih baik karena mereka sudah menanami bibit-bibit pohon.

Akhirnya disusul oleh yang lainnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan rencana yang tertunda setelah sarapan, tidak lupa membawa tongkat seperti yang biasa mereka lakukan saat menjelajah. Ternyata mereka masih harus melangkah masuk ke hutan sejauh satu kilometer.

Tidak lupa Helena mengikat batang dan ranting dengan sisa tali yang kemarin ia gunakan sebagai penunjuk jalan agar tidak tersesat saat kembali.

Tepat di pintu gua, mereka mengeluarkan senter dari dalam tas, tangan kiri memegang senter sementara tangan kanan memegang tongkat.

“Tas tenda mungkin ditinggal aja diluar,” ujar Stevan.

Putra segera melepas tas itu dari pundaknya, setelah itu mereka mulai melangkah masuk ke gua, aroma kotoran kelelawar menyambut indra penciuman mereka. Semua menutup hidung untung menghalau aroma asing itu masuk ke hidung.

Tak ingin berlama-lama, mereka melangkah dengan cepat tak lupa menyalakan senter dan menyort beberapa bagian gua tersebut. Suara kelelawar beterbangan karena merasa terusin membuat Leny dan Helena sesekali berteriak karena terkejut yang bercampur rasa takut.

“Udah, tenang aja. Jangan terlalu berisik! Kita gak tau hewan apa aja yang menghuni gua ini,” tegur Peter.

Akhirnya semua menjadi hening, hanya terdengar suara kecil dari binatang.

“Aaaaa....,” teriak Helena karena terkejut dengan kelelawar yang terbang dan menabrak kepalanya.

“Awas!” ujar Stevan saat mendapati ular di depannya, hanya ular berukuran sedang, panjangnya kira–kira tiga meter, segera ia menyingkirkan ular tersebut. Ular yang merasa takut itu pun segera berlalu dari hadapan mereka.

Beberapa kali merek bertemu hewan berbisa, seperti kalajengking.

“Tetap waspada, ya,” ujar Stevan lagi.

Mereka terus melangkah jauh ke dalam gua. Suasana tidak begitu gelap saat mereka terus melangkah, di atas ternyata ada lubang sehingga cahaya bisa masuk.

“Itu apa? Apa kalian liat?” tanya Stevan seraya mengarahkan cahaya senternya ke arah dua buah peti berukuran besar.

“Coba kita dekati,” ujar Peter.

Mereka akhirnya melangkah ke arah peti berwarna kecolatan, terbuat dari besi. Bahkan peti itiu tidak di kunci sehingga mudah untuk dibuka.

“Buka! Aku gak berani,” ujar Peter saat mereka di depan peti besar itu.

Kreeek  ....

Suara penutup peti terdengar cukup mengerikan, bahkan membuat tubuh Helena bergidik ngeri. Sesekali ia mengarahkan senternya ke segala arah untuk berjaga-jaga jika ada hewan buas yang mengikuti mereka.

“Aaaaaaaa ....”

Suara teriakan mereka seketika menggema memenuhi isi gua, bahkan kelelawar yang tadinya sudah tidak berisik kini kembali terdengar, suara tikus dan beberpa hewan di dalam gua pun terdengar karena mereka terusik dengan suara teriak mereka.

Bersambung....

The Giant Snake (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora