Menyusun Rencana

69 5 0
                                    

“Awas!” teriak Leny saat seekor harimau yang kerap kali berada di sekitar itu mulai mendekat.

Peter yang berada di depan mencoba mengusir hewan tersebut menggunakan tongkat yang ia gunakan sepanjang jalan. Namun, binatang buas itu justru mengeram.

“Kami tidak menganggu, kami sedang berusaha untuk keluar dari sini agar kalian bisa hidup tenang,” ujar Stevan penuh keyakinan yang bercampur dengan rasa takut.

Pria yang mengenakan baju hitam itu tengah memasang kuda-kuda seraya melangkah perlahan ke depan, tak lupa ia juga memegang sebilah kayu untuk berjaga-jaga.

“Van, jangan nekat!” tegur Peter, tetapi Stevan tidak menghiraukannya.

Stevan terus melangkah, “Pergilah! Kami juga akan pergi, kami hanya ingin lewat,” ujar Stevan yang entah dipahami oleh harimau itu atau tidak, tetapi atas segala keyakinannya, melalui tatapan mata ia menatap mata harimau itu dengan intens.

Harimau itu akhirnya berbelok ke kanan dan melangkah pergi membuat Stevan mengelus dada, menenangkan jantungnya yang pasti akan berhenti berdetak jika harimau itu tetap nekat menyerang.

Merasa sudah aman, Stevan dan teman-temannya. Melangkah lebih cepat dan sedikit berlari ke arah rumah ulin yang kini dindingnya sudah mulai terlihat. Tepat di depan rumah mereka bersujud karena berhasil menemukan rumah ulin tersebut.

Tanpa menunggu waktu lagi, Peter lebih dulu melangkah ke atas tangga. Membuka pintu dengan menodongkan tongkat miliknya, jaga-jaga jika saja ada ular atau binatang lainnya, mengingat sudah beberapa minggu rumah itu tidak lagi ditempati.

Stevan juga melangkahkan kakinya menuju anak tangga yang hanya berjumlah delapan tersebut. Ia menyalakan senter sehingga terlihatlah isi rumahnya tersebut. Leny dan Helena juga memasuki rumah setelah Stevan keluar membawa bahan makanan. Sementara yang lain membersihkan rumah itu dari debu.

“Kita bikin makan malam dulu, ya. Ini sudah sore,” ujar Stevan seraya meletakkan bahan-bahan makanan di atas tanah.

Dion dan putra berinisiatif untuk mencari kayu bakar di sekitar rumah tersebut, banyak ranting dan dahan kering berhamburan. Mereka membawanya dan membuat api dengan cepat, sementara Helena dan Leny membereskan rumah agar bisa ditempati untuk tidur.

“Ayo, makam dulu! Nanti lagi dilanjut,” panggil Leo setelah menyiapkan nasi, mie dan sarden.

Akhirnya mereka makan dengan lahap bahkan terasa sangat kenyang setelah berhari-hari lebih sering menahan lapar, bahkan makan seadanya, dan juga tidak jarang hanya memakan buah-buahan yang mereka temui saat berjalan di antara pepohonan dan semak-semak.

Hari mulai senja, mereka segera masuk ke rumah, mengambil posisi ternyaman untuk tidur dan menyambut pagi lebih baik esok. Banyak rencana yang harus mereka selesaikan. Terlebih lagi bibir pantai sudah di depan mata mereka sehingga dapat meninggalkan pulau itu dengan mudah.

“Karena kita sudah tiba di sini, apa tidak sebaiknya besok kita pulang saja?” usul Leny memecah keheningan malam di dalam rumah ulin.

Mereka semua tidur dalam satu ruangan yang sama, ruangan yang cukup luas karena kedua wanita itu merasa takut tidur di dalam kamar.

“Besok saja dipikirkan, malam ini sebaiknya kita istirahat,” jawab Peter.

“Ide Leny benar, sebaiknya kita kembali saja besok. Pasti orangtua dan keluarga kita sudah menunggu,” ujar Leo menyetujui usul Leny.

“Aku masih ingin membuktikan mimpiku tentang gua itu,” ujar Stevan setelah beberapa menit ruangan itu hening, hanya terdengar suara binatang saling bersahutan di luar.

“Jangan gila, Van! Itu artinya kita bakal kembali memasuki hutan itu lagi, lalu kita tersesat lagi,” ujar Leny kesal.

“Bukan gitu, aku pastikan kita tidak akan tersesat. Kita hanya perlu memberi tanda di pohon-pohon yang telah kita lalui.” Stevan mulai mempengaruhi pikiran teman-temannya. Sungguh ia sangat penasaran dengan mimpinya yang begitu nyata.

“Niat kamu buat musnahkan ular itu apa, Van?” tanya Peter.

“Sekedar membalaskan kematian teman-teman. Dua bulan kita tersesat di hutan, aku ngerasa jika harus membuahkan hasil sebelum meninggalkan pulau ini,” jawab Stevan seraya mengingat awal-awal memasuki hutan.

“Trus menurut kamu bagaimana cara membunuh ular itu?” tanya Dino penasaran.

“Di belakang ada bensin, kita salin ke dalam jerigen kecil lalu kita bawa ke dalam hutan, kita pancing ular itu datang dan melewati bensin yang sudah kita tuang, begitu dia lewat langsung kita nyalakan dan seketika pasti langsung terbakar,” jawab Stevan seraya membayangkan idenya.

“Kita bisa gunakan bom rakitan di speedboat, besok aku dan Putra ke sana ambil,” timpal Leo.

“Kamu tau cara menggunakannya? Salah-salah malah kita nanti yang meledak,” tanya Peter mulai tertarik dengan ide mereka. Tertarik tapi juga sebenernya takut.

“Tau, kan itu udah jadi. Nanti kita siram bensin dulu, trus bomnya kita letakkan juga di tempat yang akan dilintasi oleh ular. Saat api menyala dan membakar bom itu tadi, otomatis dia bakalan meledak. Gaya ledaknya cepat jadi gak boleh di nyalakan kayak petasan trus di lempar, yang ada kita yang kena,” jelas Leo.

“Aku jadi curiga, bom itu pemberian siapa,” celetuk Helena.

“Iya, dari Bokapmu,” jawab Leo.

“Kalau dilihat dari ide ini, berarti konsekuensinya adalah kebakaran hutan. Udah siap ditahan polisi akibat membakar hutan?” tanya Peter tiba-tiba.

Meski mereka berbicara pelan tapi cukup terdengar jelas karena keadaan malam yang hening, hanya ada binatng malam yang terdengar saling bersahutan di luar.

“Itu urusan belakanglah,” jawab Stevan, entah mengapa ia hanya ingin memusnahkan ular tersebut, mungkin karena mimpi yang sangat mengusik tidurnya hingga terjaga. Juga rasa penasaran tentang isi gua tersebut.

Setelah menyusun rencana yang entah berhasil atau tidak, mereka akhirnya memutuskan untuk tidur. Namun, tepat pukul 03.00 Stevan kembali bangun dengan keringat yang mengucur deras, ia membuka sleeping bag yang ia kenakan.

Keadaan yang gulita membuat Stevan  meraba tempat disekitarnya yang justru tak sengaja menyentuh lengan Peter membuat pria tersebut terbangun karena terkejut. Bahkan Peter juga sempat menghempas tangan Stevan yang membuat Stevan mengaduh sakit.

“Kamu kenapa, Van? Aku masih normal ini, pake raba-raba segala,” sungut Peter yang merasa tidurnya terganggu.

“Aku cari senter, ah ... dasar kamu aja yang sangean,” jawab Stevan seraya meraba lantai hingga menemukan senter miliknya.

“Kamu sakit?” tanya Peter terkejut saat senter menyala dan terlihat wajah Stevan yang dipenuhi peluh dan sedikit pucat.

“Gak, aku cuma mimpi buruk, mimpi yang sama dengan semalam.” Stevan mengusap peluh di wajahnya menggunakanpakaian yang sudah ia buka karena basah oleh keringatnya sendiri.

“Aku yakin sih ada sesuatu di dalam gua itu,” ujar Stevan mengingat kembali mimpinya. “Aku gak tau ini nyata atau tidak, tapi aku ngerasa mimpiku seperti nyata, makanya tujuan utamaku melenyapkan ular itu untuk memeriksa kebenaran di dalam gua itu. Serius, aku penasaran banget,” sambungnya.

“Udah, mending istirahat, nanti kita bantuin untuk menuntaskan rasa penasaranmu itu,” jawab Peter seraya membaringkan kembali tubuhnya, suasana di dalam tenda itu cukup cerah karena senter Stevan yang masih dalam keadaan menyala.
Baru saja memejamkan mata dan menyambut mimpi, tiba-tiba Stevan dikejutkan dengan suara keras yang terjatuh di atas atap rumah yang terbuat dari kayu ulin tersebut, anehnya hanya dia saja yang terjaga sementara yang lainnya masih terlelap.

Bersambung...

The Giant Snake (END) जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें