Mencari Jalan Keluar

95 3 0
                                    

Di tempat berbeda, Stevan dan teman-temannya sedang beristirahat di batang pohon yang melintang, pohon yang berukuran besar itu di tumbuh tanaman-tanaman kecil sejenis rumput di batangnya. Selain itu juga ditumbuhi jamur tiram, menemukan  jamur di hutan seperti menemukan harta karun. Tidak semua jamur bisa dimakan sehingga mereka tidak akan mengabaikan jamur yang bisa dimakan.

“Kalian punya ide, kira-kira besok kita menyusuri hutan sebelah mana lagi? Dari kemarin kita berusaha untuk mencari jalan keluar tapi nyatanya kita hanya berputar-putar di sini,” ujar Peter memecahkan keheningan setelah beberapa saat mereka memutuskan untuk beristirahat dan meminum air yang mereka bawa, air sungai yang mereka ambil di tengah aliran sungai saat itu.

“Aku gak punya ide, sekarang aku pasrah aja,” sahut Leo.

“Jangan nyerah gitu dong, Bro. Sekarang ada kami di sini dan tujuan kita juga sama. Jadi, kita harus bekerja sama untuk mencari jalan keluar, gak boleh nyerah,” sahut Stevan memberi semangat, walaupun sebenarnya ia juga hampir menyerah.

“Daripada kita pusing mikirin jalan keluar, lebih baik kita bangun tenda aja di sini, kita nikmati hari ini, besok baru kita pikirkan lagi kemana kaki kita akan melangkah,” ujar Dion menimpali obrolan sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya.

“Loh, mau kemana?” tanya Stevan.

“Mau cari kayu bakar dulu.” Dion menjawab sambil menoleh ke arah Stevan.

“Ikut!” teriak Tio dan segera beranjak dari tempat duduknya.

“Gak usah, kalian bertiga bangun tenda aja,” jawab Dion yang membuat Tio tidak jadi melangkah ke arahnya.

“Ya udah, ayo kita dirikan tenda di sini,” ajak Stevan seraya berdiri dari tempat duduknya diikuti oleh Tio dan Leo.

Beberapa saat kemudian Peter, Dion, Leny, dan Helena datang. Peter dan Dion membawa kayu bakar, sedangkan Leny dan Helena membawa jamur tiram dan beberapa jenis buah yang mereka temui di sekitar tempat beristirahat.

“Eh, itu jamur apa? Aman gak?” tanya Tio saat melihat Helena meletakkan selembar daun yang cukup lebar berisi jamur yang mereka temukan di batang kayu yang sudah rapuh.

“Ini jamur tiram, tenang aja pasti ini aman kok, “ sahut Helena.

Stevan mendekat untuk memastikan jamur yang dibawa oleh kedua wanita tersebut.

“Oh, ini aman kok. Ini jamur tiram,” jawab Stevan setelah mengamati jamur-jamur berwarna putih tersebut.

Peter dan Dion mulai membuat api untuk memasak jamur yang ditemukan oleh Leny dan Helena. Kedua gadis itu juga menyiapkan beberapa buah-buahan yang ditemukan. Selama berminggu-minggu berkelana di dalam hutan membuat mereka mulai menyesuaikan diri dengan keadaan hutan tersebut meski nyawa mereka selalu terancam.

“Lama-lama kita bisa jadi orang hutan kalo gini, udah bisa bertahan hidup dengan cara mengolah hasil hutan buat jadi santapan, bagus bikin rumah aja sudah kita,” ujar Dion seraya memasukkan beberapa kayu ke dalam api yang mulai menyala.

“Enak aja. Aku sih masih pengen keluar dari sini. Tetap aja tinggal di rumah bersama keluarga lebih menyenangkan,” sahut Leny seraya menuangkan air ke dalam panci untuk memasak jamur.

“Loh, aku pikir kamu suka tinggal di hutan, bukannya yang punya ide gila ke sini itu kamu,” timpal Tio tak mau kalah.

Jika diingat-ingat ke belakang, ide gila ini memang dari Leny sehingga mereka sering kesal saat lelah berjalan tapi ternyata tak juga menemukan titik untuk bisa keluar dari hutan belantara tersebut.

“Wush ... ini bukan waktunya berdebat, ya. Kita harus pikirkan bagaimana caranya kita keluar dari sini. Bukan saling menyalahkan.” Peter menengahi perdebatan yang sering terjadi diantara mereka.

Tidak jarang Tio dan Dion menghakimi Leny karena idenya untuk mengajak ke pulau tersebut. Kalau saja Leny tidak memaksa mereka untuk datang ke pulau terlarang, pasti semua baik-baik saja. Mereka tidak akan kehilangan teman-temannya seperjuangan saat menjelajah selama ini.

Namun, saling menyalahkan bukan sikap yng tepat saat situasi seperti itu terjadi, mereka harus saling mendukung, membantu, dan mencari solusi agar bisa keluar dari hutan tersebut.

“Ayo makan, udah siap nih!” panggil Helena setelah menu makan ala kadarnya sudah siap.

Sup jamur yang hanya diberi sedikit garam itu harus berusaha mereka nikmati, karena sudah lama tidak makan enak, membuat mereka hanya bisa menikmati apapun yang tersedia di hutan tersebut. Sangat beruntung jika mereka menemukan buah-buahan yang mengenyangkan.

Usai makan, mereka hanya duduk-duduk di depan api yang sudah hampir padam. Nanti sore akan mereka nyalakan kembali sambil menikmati buah-buahan sebagai menu makan malam.

Selama berminggu-minggu di hutan membuat bobot tubuh Leny menurun, bukan karena kekurangan makanan karena banyak jenis makanan di dalam hutan yang bisa dimakan, tetapi pikirannya yang membuat ia tidak tenang, selain merasa bersalah kepada teman-temannya, ia juga merasa bersalah pada keluarganya.

Entah sekarang orangtuanya mencari keberadaannya atau tidak. Leny merasa telah mengkhianati kepercayaan orangtuanya selama ini yang sudah terpaksa mengizinkan untuk menyalurkan hobi ekstrimnya. Bagi keluarganya, memiliki hobi berkemah dan mendaki merupakan hobi yang ekstrim karena nyawa menjadi taruhan.

Semua sudah terlanjur, mereka harus bisa melewati semuanya untuk bisa keluar dari pulau terlarang itu. Seperti namanya ‘Pulau Terlarang’ seharusnya mereka tidak mendekati apalagi memasuki kawasan terlarang tersebut. Namun, karena dilarang itulah membuat mereka menjadi penasaran, apa yang membuat pulau tersebut diberi nama dengan sebut terlarang.

Kini mereka paham, tetapi semua sudah terlambat.

***

Keesokan harinya mereka memutuskan untuk mengambil jalur yang berbeda sesuai kesepakatan dari musyawarah mereka kemarin. Mereka berharap bisa menemukan jalan menuju rumah ulin yang terletak tak jauh dari pantai karena persediaan makanan di sana cukup banyak.

Setelah berjalan enam jam, melintasi pepohonan demi pepohonan, mereka dikejutkan dengan sosok pria yang sedang memetik buah di tengah hutan. Stevan dan teman-temannya berjalan perlahan mendekati pria tersebut.

“Putra,” gumam Leo yang menyadari sosok pria di depan sana.

“Kamu kenal?” tanya Peter yang berdiri tepat di belakang Leo.

“Iya,” jawab Leo singkat, “Putra!” teriak Leo memanggil pemuda yang hanya berjarak beberapa meter di depan mereka.

Teriakan Leo yang menggema karena terlalu bersemangat justru mengusik penghuni hutan yang lain, beberapa primata di atas pohon segera berlari dari pohon satu ke pohon yang lain, hal itu membuatnya merasa bersalah karena sudah mengusik ketenangan di hutan dengan teriakannya.

Merasa ada yang memanggil namanya membuat Putra mencari sumber suara tersebut. Tepat  saat ia berbalik dan melihat sekelompok orang di belakang, segera ia menghentikan aktivitasnya untuk memetik buah. Segera ia melangkah secepat mungkin untuk mendekati kelompok tersebut.

“Yang lain mana?” tanya Leo saat menyadari Putra hanya sendirian.

“Mereka udah gak ada,” jawab Putra dengan ekspresi yang sulit dijabarkan.

Akhirnya mereka kembali berjalan hingga menemukan sungai, mereka memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai tersebut sebelum melanjutkan perjalanan lagi.

Bersambung...

The Giant Snake (END) Where stories live. Discover now