Ketika mereka membawa Bintang ke belakang sekolah, pikiran Bintang sudah mengarah pada sebuah perundungan.

Mae dan Diva sedang menunggu di sana. Mae bersedekap sembari bersandar di dinding. Di bibirnya terselip sebuah stik permen berwarna putih. Lengan pendek kemeja putihnya tergulung, begitu pun dengan kaos oblong berwarna hitam yang menjadi dalaman cewek itu. Sementara Diva berdiri menunggu dengan wajah bosan dan dagu yang tersangga di atas tongkat.

Acha menarik Bintang ke hadapan Mae, kemudian kelima cewek itu mengelilinya.

"Lo baik-baik aja, kan?" Mae menangkup kedua pipi Bintang dengan tangannya. "Bukannya gue khawatir, ya. Sejak kemarin kami pengin ketemu lo, tapi yang lain khawatir nggak baik-baik aja. Tapi kalau dipikir-pikir ketemu lebih cepat lebih baik, ya, nggak?"

Acha mengutak-atik ponselnya lalu mengarahkannya di hadapan Bintang. "Udah lihat belum?"

Bintang menggeleng. Acha kemudian memindahkan ponselnya ke tangan Bintang. Bintang membaca sebuah unggahan gosip tentang dirinya. Dia tak terkejut dengan isi gosip yang asal-asalan itu. Preman yang dimaksud pasti Yasah. Lagipula bagaimana bisa si pembuat gosip tahu tentang Baskara yang dihajar Yasah?

Bintang menghubungkan semuanya. Ucapan Pandu kemarin tentang Hanna, Hanna yang menganggapnya rival, Yoga yang takut pada Pandu, dan Yoga yang tahu persoalan Baskara yang diserbu oleh sekumpulan anak jalanan.

"Tahu siapa pelakunya?" Ajeng berkata menggebu-gebu. "Hanna! Dia nggak boleh dibiarin gitu aja. Mae bakalan ngasih dia pelajaran. Iya, kan, Mae?"

"Bentar." Bintang menggulir layar ponsel dan melihat unggahan baru dan nama Pandu yang menjadi sorotan. "Patah kaki? Cowok itu?"

"Ah? Maksud lo Pandu?" Acha mengintip ponselnya di tangan Bintang. "Gue nggak tahu dia habis berantem sama siapa atau dipukulin siapa, tapi yang jelas dia kena batunya. Tahu rasa! Akhirnya doa semua korbannya selama ini terkabul. Katanya dia masuk rumah sakit gara-gara patah kaki dan harus dirawat. Katanya mukanya nggak jelas gara-gara penuh luka."

Jangan-jangan..., batin Bintang berkecamuk mengingat bagaimana kemarin Baskara terluka. Baskara juga diam saja ketika Bintang menyuruh Baskara untuk menggeleng jika dia tidak berkelahi dengan Pandu, tetapi yang dilakukan cowok itu hanyalah diam. Itu sudah jelas mengartikan bahwa dia dan Pandu berkelahi sehingga Baskara juga mendapatkan luka-luka di wajahnya.

Bagaimana bisa Baskara berpikir untuk mematahkan kaki seseorang?

Tidak. Apa yang terpenting bukan itu, tetapi Bintang tak ingin siapa pun ikut campur dengan urusan pribadinya. Hanya saja, untuk seseorang yang seperti Pandu, Bintang tak bisa berpikir bahwa seratus persen apa yang Baskara lakukan adalah demi dirinya.

"Mulai sekarang kita berlima bakalan jadi anak buah lo." Mae mengungkapkan sebuah kalimat yang membuat Bintang kembali ke dunia nyata. Mae dan empat cewek di dekatnya itu saling bergandengan tangan dan memasang wajah penuh perhatian.

"Gue bakalan ngelakuin apa pun yang bisa untuk lo," kata Mae.

Mata Ajeng berkaca-kaca. "Lo jangan pernah ngerasa kesepian. Pasti berat, ya, sendirian di tengah-tengah gunjingan orang?"

Diva mengangguk setuju. "Gue bakalan selalu ada untuk lo."

"Baskara bilang, lo harus—" Perkataan Muslimah terhenti karena mulutnya dibekap oleh Acha.

"Hehe. Mohon kerjasamanya!" seru Acha sambil menunduk-nunduk.

"O... kay." Terserah mereka. Mau mereka main rumah-rumahan di belakang sekolah juga terserah. Bagaimana pun mereka terlihat jelas memanfaatkan situasi demi bekerjasama dengan Baskara.

Bintang juga tak peduli apa pun lagi selain Shareen dan teman-temannya.

Mae berlari dan berhenti beberapa meter darinya, kemudian cewek itu mengambil sapu lidi yang ada di atas tanah dan menyapu dedaunan kering yang berserakan.

Bukan hanya Mae, Acha dan yang lain juga mengambil sapu mereka masing-masing.

"Kalian rajin, ya," kata Bintang agak takjub dengan mereka.

Muslimah memberikan senyum cerianya. "Kami lagi dihukum sama Pak kumis."

"Mau gue bantuin?" Bintang bersiap untuk membantu, tetapi Mae dan yang lain mengangkat tangan mereka.

"Nggak boleh."

***

Keberanian Yoga meningkat 10% untuk menghadapi Baskara secara empat mata setelah berusaha menerima kenyataan bahwa Baskara memang benar mengirimkan uang dalam jumlah besar kepadanya kemarin. Isi pesan berisi ancaman untuk tidak memberikan kepada siapa pun uang itu. Menyusul informasi yang beredar di sekolah bahwa Pandu sedang dirawat di rumah sakit karena luka parah yang dialaminya, membuat Yoga bertanya-tanya apakah Baskara pada akhirnya mengeluarkan semua kekesalannya kepada Pandu yang selama ini hanya bisa dia pantau diam-diam?

Dengan uang sebanyak itu yang Baskara kirim padanya, apakah berikutnya dirinya yang akan mendapatkan masalah dengan cara berbeda?

Baskara berhenti berjalan, lalu berbalik menatap Yoga yang ikut berhenti dan mematung. "Dari pagi lo ngikutin gue. Mau ngomong sesuatu?"

"Uang itu... maksud gue, buat apa lo ngirim uang sebanyak itu?" Ada sedikit pikiran negatif tentang Baskara. Bukan hal aneh bahwa di depannya sekarang ini adalah sosok yang licik dan manipulatif dibalik sikap tak mau tahunya.

Mungkin saja Baskara mengirimkannya uang sebanyak itu dan akan menyeretnya pada apa yang terjadi pada Pandu saat ini.

"Oh." Baskara menatap Yoga dengan tatapan tak terbaca. "Semua uang itu kan punya lo. Selama ini lo dipalak Pandu dari hasil kerja keras lo, kan? Pandu udah nggak bisa nyuruh-nyuruh lo lagi."

"Tunggu...." Yoga mengangkat tangannya dan tak bisa melakukan apa pun. Memaksa Baskara untuk tetap bicara dengannya juga tak akan berhasil. Mengirim kembali uang itu sebelum mendapatkan persetujuan Baskara juga bukanlah hal yang tepat.

"Sial." Yoga berjongkok dengan lesu sembari mengusap wajahnya. Sekarang, di pikirannya hanya satu; mau dia bawa ke mana uang sebanyak itu? 250 juta bukanlah uang yang sedikit.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Matahari Dan BintangWhere stories live. Discover now