57. Kamu Kenapa, Zilva?

Mulai dari awal
                                    

Lamunannya menjadi pecah ketika dirinya tak sengaja menabrak tubuh seseorang.

"Iel?"

Satu panggilan yang sudah sangat lama tidak ia dengar berhasil membuatnya menoleh secara otomatis. Ia menoleh ke sumber suara dan terkejut bukan main.

"Rosa?"

"Bener Iel, dong!" pekiknya senang seraya memeluk lelaki itu. Gabriel hanya tersenyum singkat.

"Kapan kamu balik ke sini?" tanya Gabriel basa-basi.

"Dari kemarin. Aku pulang karena kangen sama kalian, aku masih belum bisa tenang sebelum bicarain semuanya sama kalian."

Gabriel mengembuskan napas lelah. Masalah satu belum selesai, kini bertambah lagi masalah baru.

"Lain kali aja ya kita bicarain lagi." Gabriel mengusap rambut gadis itu singkat. "Omong-omong ngapain kamu di rumah sakit? Siapa yang sakit?"

Gadis yang Gabriel panggil Oca itu mengerucutkan bibir kesal. "Kamu lupa kalau aku ada kelainan jantung? Aku kan harus rutin kontrol. Dan hari ini hari aku kontrol."

Gabriel mengangguk paham. Ia memang sempat melupakan satu hal penting itu.

"Ebi mana? Kalian kan biasanya bareng."

"Rosa―"

"Oca. Panggil aku Oca!" sela gadis itu.

"Iya, Oca." Gabriel mendesah pelan. "Kita udah dewasa, punya urusan masing-masing. Dia juga pasti masih sibuk kuliah kedokteran."

Rosa terkejut. "Hah?! Si Ebi yang cengeng itu mau jadi dokter? Hahaha."

Gabriel melangkahkan kakinya dan memberi kode agar gadis itu mengikutinya. Tak sopan jika Rosa teriak-teriak di lorong rumah sakit.

"Tapi, Iel, kamu gak berubah ya dari dulu. Dingin dan kaku. Apalagi sekarang jadi polisi, lebih serius lagi tuh muka."

Mereka tiba di kebun belakang rumah sakit. Gabriel duduk di salah satu bangku diikuti Rosa.

"Kamu mau makan sesuatu?" tanya Gabriel dengan tatapan sedikit hampa. "Di kantin ada penjual es krim. Mau aku beliin?"

Rosa sadar dengan raut lelah dan hampa dari Gabriel, ia mengerucutkan bibirnya kesal. Ia tak suka dengan ekspresi itu.

"Kamu lagi ada masalah?" Rosa mendekat dan menatap lekat wajah Gabriel.

Laki-laki itu terdiam. Rosa bukan orang yang tepat sebagai tempat keluh kesahnya. Rosa baru saja tiba, tidak mungkin Gabriel membagi bebannya ke gadis bahkan yang sudah lama tak ia jumpai.

Gabriel menggeleng lemah. "Gak ada apa-apa, kok."

Rosa tidak puas mendengar jawaban itu. Ia menggoyangkan lengan Gabriel dengan gemas. "Ada apa, sih, Iel? Cerita, dong!"

Gabriel bergeming. Meskipun tubuhnya sudah digoyang-goyangkan oleh Rosa, ia tetap membungkam mulutnya.

"Iel, kamu harus cerita, biar aku bisa bantu kamu nyelesaiin masalah," desak Rosa tak sabaran seraya tetap menggoyang lengan kekar Gabriel.

Gabriel menggeleng pelan. Ia menarik tangan Rosa untuk beranjak dan membawanya ke kantin.

"Iel!" teriak Rosa geram.

"Oca, kamu gak perlu tahu masalahku. Dengan diam saja kamu sudah cukup membantu."

Rosa terdiam. Ia berusaha berjalan mengikuti irama langkah laki-laki di sampingnya dengan pikirannya sendiri.

Langkah Gabriel terhenti seketika, dan Rosa otomatis juga menghentikan langkahnya. Ia bertemu dengan Levi di kantin yang membawa beberapa makanan dan minuman.

"Gabriel? Kenapa kamu malah ke sini dan bukan menemani Zilva di ruangannya? Dia baru sadar dan kamu malah―"

Levi melirik ke arah Rosa. Alisnya terangkat sebelah. Kali ini Gabriel selingkuh dengan siapa lagi? batinnya.

"Kak Pi?" Rosa mendekat ke arah Levi. "Eh, bener Kak Pi!"

Sama dengan yang didapat oleh Gabriel, Rosa langsung memeluk Levi erat. Sedangkan Levi hanya bisa bingung. "Siapa?"

"Oca! Aku Oca!" pekiknya seraya melepas pelukan. "Elisabeth Rosanna Orlee. Rosa. Oca."

Levi ingat. "Kamu dari dulu memang cantik."

Rosa tersenyum. "Dan Kak Pi makin tampan."

"Rosa―"

"Oca! Panggil aku Oca, Kak Pi!"

Levi mendengus pelan. "Oca, bisa hentikan panggilan Kak Pi-mu itu? Aku jadi terlihat gak macho lagi kamu panggil begitu."

Rosa menarik Gabriel dan Levi untuk duduk dan menjawab, "Gak mau. Iel dan Kak Pi. Aku akan terus panggil dengan panggilan itu."

Levi menyerah. Ia menoleh ke arah Gabriel. Adiknya itu terlihat lesu. Apa yang terjadi dengannya? Seharusnya Gabriel bersorak ria karena kekasihnya telah bangun dari tidur panjangnya. Levi segera menepis segala dugaan buruk di otaknya.

"Gabriel kamu belum jawab pertanyaanku."

Adik dari Levi itu menoleh lemah. "Zilva, Kak ..., " lirihnya.

Belum sempat Levi bertanya, Rosa menyela, "Siapa itu Zilva?"

"Pacar Gabriel," jawab Levi santai.

Alis Rosa terangkat. "Pacarmu yang sekarang berbeda dengan yang waktu SMA, kan?"

Gabriel mengernyit. Memangnya Rosa tahu siapa pacarnya? Ia sadar sampai sekarang belum pernah cerita tentang Zilva ke Rosa. "Sama. Kita udah delapan tahun pacaran. Kenapa memangnya?"

Rosa membelalakkan matanya. "Pacarmu yang gendut dan jelek itu? Astaga, Iel, aku kira kalian gak akan bertahan lama. Apa sih yang kamu lihat dari dia?"

Levi dan Gabriel menatap Rosa tak suka. Mereka tersinggung dengan ucapannya meskipun bukan mereka yang dihina.

"Oca, kamu keterlaluan. Zilva itu cantik. Dia manis dan senyumnya adalah sumber kebahagiaanku. Kamu gak berhak tanya apa yang kulihat darinya. Dia adalah hidupku. Dia segalanya untuk aku."

Rosa menggigit bibir bawah kesal. Sudah sejauh apa teman masa kecilnya itu dibutakan oleh cinta? Apalagi kekasihnya bukan gadis cantik yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan dirinya, walau hanya sejengkal kuku.

"Iel, kamu sudah dibutakan oleh cinta. Dia gak pantas untuk kamu. Dia cuma cewek matre' yang manfaatin tampang dan uangmu!" Setelah mengatakan itu, ia menoleh ke arah Levi. "Kak Pi, dia pasti manfaatin kamu juga! Dia pasti pakai uangmu supaya dia bisa foya-foya dengan teman-temannya!"

Levi menjadi dingin. "Hentikan ocehanmu itu, Oca."

"Kak Pi?" Ia memanggil Levi dengan takut.

"Kamu gak kenal sama Zilva. Jadi jangan pernah lagi hina Zilva. Dan Oca, jangan sampai kejadian delapan tahun lalu terulang lagi saat ini," ucap Gabriel penuh penekanan.

"Maaf ..., " lirih Rosa sambil menunduk dalam.

Levi beranjak dan merapikan bawaannya. "Ayo, Gabriel, kita ke kamar Zilva."

"Enggak, Kak. Hari ini aku mau pulang dulu." Gabriel beranjak dan mulai berjalan ke arah yang berbeda dari Levi. Langkahnya terhenti kembali ketika mendengar kakaknya itu memanggil.

"Kamu kenapa, Gabriel?"

Gabriel menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Untuk sementara jangan sampai bahas aku di depan Zilva, ya, Kak." Ia kembali melangkahkan kaki dan keluar dari rumah sakit dengan hati yang berat.

Rosa yang takut mengusik amarah keduanya memutuskan untuk pergi dan kembali ke apartemennya.

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Sepi banget hiks :')

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang