57. Kamu Kenapa, Zilva?

Start from the beginning
                                    

"Sakit? Sebentar, Sayang, Mama panggilkan dokter."

Laila berdiri dari duduknya dan menekan tombol untuk memanggil perawat dengan tidak sabaran.

Dokter datang dengan tergopoh-gopoh. Dokter wanita itu sudah siaga sejak jantung Zilva ada masalah. Para tenaga medis meminta Laila untuk menunggu di luar terlebih dahulu agar mereka bisa menindak Zilva dengan baik.

"Loh, Zilva kenapa, Ma?" tanya Gabriel heran melihat dokter dan perawat yang kembali ke ruangan Zilva padahal beberapa menit yang lalu baru saja masuk.

Laila mengabaikan pertanyaan Gabriel karena dirinya senang bukan main ketika mengetahui anak gadisnya sudah bangun dari tidur panjangnya.

Dokter memeriksa Zilva hanya beberapa menit saja, lalu keluar dan disambut tatapan Laila yang begitu mendesaknya untuk bicara.

"Syukurlah, Nak Zilva sudah bangun. Sekarang kondisinya sudah stabil dan kalau dalam beberapa hari ke depan sudah jauh lebih baik, Nak Zilva saya izinkan pulang."

Gabriel terkesiap. Apa yang baru saja ia dengar? Kekasihnya yang sangat ia sayangi sudah bangun.

Sebelum masuk, ia sempatkan untuk mengabari Levi dan Christ berita bahagia itu. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar inap dan berjalan mendekat ke arah Zilva.

Gadis itu menangis hingga napasnya sedikit tersengal meskipun alat bantu napas masih melekat di hidungnya. Matanya juga terlihat hampa menatap dinding di seberangnya. Gabriel jadi ragu untuk mendekati gadis itu.

Lain dengan Laila, ia masuk dan langsung menggenggam tangan putrinya erat. Ibu dari dua anak itu menangis haru melihat putrinya membuka mata. "Vania, masih sakit?"

Zilva menoleh perlahan. Matanya jatuh ke sosok tinggi yang berdiri tak jauh dari Mamanya. Tiba-tiba tangisnya menjadi semakin kencang. "Ma ..., aku gak mau ketemu dia. Dia ... dia jahat sama aku, Ma," gumam Zilva yang masih terdengar jelas oleh keduanya.

Gabriel menatap Zilva dengan sendu. Ia sendiri juga sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan selingkuh di belakang gadis itu. Hatinya pedih melihat tangisan itu.

"Mama, dia gak cinta sama aku, Ma! Dia jahat sama aku! Dia―dia gak anggap aku sebagai perempuan! Dia cuma mau manfaatin aku, Ma!"

Laila kelabakan dengan sikap tiba-tiba anaknya. "Vania, Mama tahu dia selingkuh, tapi Gabriel masih cinta banget sama kamu, Sayang. Dia sudah menyesal. Maafkanlah dia, Vania."

Zilva masih saja histeris. Jika ia bisa berlari, ia pasti langsung keluar dari ruangan itu sekarang juga. Namun kaki dan punggungnya terasa amat sakit, yang membuatnya hanya bisa tidur tak berdaya.

"Mama, aku gak mau ketemu dia. Dia jahat. Aku gak mau ketemu dia. Aku gak mau lihat wajahnya. Aku bukan Mamanya. Aku gak mau dijadikan pelampiasan. Tolong usir dia, Ma. Dia gak pernah cinta sama aku."

Gabriel membelalakkan matanya. Wajahnya seketika menjadi pucat. Kenapa Zilva tiba-tiba membahas tentang "pelampiasan"?

Kaki laki-laki itu terasa bagai dipaku agar tak beranjak dari sana. Ia bahkan tak mampu bergerak sejengkal saja. Keringat mulai mengucur di wajahnya.

Laila yang sadar Gabriel tetap diam, ia pun menarik laki-laki itu keluar terlebih dahulu. "Gabriel, Mama gak ngerti Vania kenapa, tapi untuk sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Nanti kalau Vania sudah baikan, nanti Mama kabari."

Gabriel menurut. Ia melangkah dengan lesu. Menapaki lorong rumah sakit dengan tatapan hampa. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa mulut kecil milik Zilva mengatakan hal itu? Ia merasa dirinya akan hancur sekali lagi karena masalah itu.

Boyfriend In My DreamWhere stories live. Discover now