Bintang memasuki ruang penyimpanan alat olahraga dan menuangkan bola dalam jaring ke dalam kotak bola. Dia terdiam sejenak, memikirkan semua yang dia lalui selama ini.

Dibanding menjalani hari-hari di sekolah, tempat di mana orang-orang berpendikan ada, Bintang lebih memilih kembali ke jalanan dan hidup bebas. Dia bisa bertahan hidup dari segala macam bahaya yang bisa dia lewati di jalanan, tetapi di sekolah ... tempat ini jauh lebih buruk untuk hatinya.

"Salah besar kalau lo nantang Hanna." Pandu tiba-tiba muncul dan menutup pintu ruangan itu. Dia menghalangi pintu sambil bersedekap. "Ditambah gue yang akhirnya kerjasama bareng dia. Ya, walaupun pada akhirnya gue nggak bisa main bareng Hanna, tapi lo boleh juga. Terkadang yang kayak lo tuh menantang. Cuma kemarin gue mutusin untuk nggak ganggu lo daripada gue harus kehilangan atm berjalan gue, tapi setelah gue pikir justru itu tantangannya. Gimana ya rasanya ada di atas lo dan sama-sama telanjang?"

Bintang memasang kewaspadaan tinggi. Refleks kedua tangannya mengepal kuat.

Pandu mendekat dan tertawa. Dia mengikuti ke mana pun Bintang mundur dan berhasil menyentuh bokong Bintang sekilas karena Bintang dengan cepat menepis tangan Pandu dari dirinya.

Pandu menyeringai sambil menatap tangannya. "Apa sekarang? Mau ngelawan gue? Nggak bisa—"

BRAK

Apa yang terjadi begitu cepat. Bintang berhasil mendorong Pandu, menendang kakinya, lalu menendang perutnya hingga Pandu jatuh ke kotak bola sampai kotak bola itu berjatuhan, memantul, dan isinya berantakan. Ringisan beserta kata-kata kasar keluar dari mulut Pandu tak henti-hentinya. Pandu memegang punggungnya yang berdenyut akibat benturan. Ditatapnya Bintang yang dengan tenang menatapnya.

Pandu tertawa ketika Bintang mengambil sebuah bola basket. "Gue suka cewek kasar—"

BUK

Bola basket itu menghantam wajah Pandu, membuat kepala Pandu terdorong ke belakang dengan cepat sampai dia tak mampu lagi mengarahkan kepalanya ke depan dan hanya bisa melihat ke langit-langit. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya sementara dia sudah berusaha mengeluarkan umpatan kasar kepada Bintang.

"Leher lo jangan-jangan patah?" Bintang mengambil bola basket yang tadi dia lemparkan kepada Pandu. "Pita suara lo juga patah?"

Pandu berusaha bergerak. Ketika berhasil melakukan itu, dia hanya bisa merangkak dengan leher yang sulit untuk dia seimbangkan.

Bintang mengambil bola tenis dan melemparnya ke pelipis Pandu. Pandu terjatuh ke lantai padahal Bintang melempar bola tenis itu dengan pelan.

Bintang melirik celana Pandu, lalu menatap cowok itu yang berbaring dengan wajah penuh darah yang berasal dari hidungnya. Bintang terdiam sesaat karena menyadari sudah melihat tiga cowok mimisan dalam beberapa hari ini.

"Lo penjahat kelamin, ya? Punya lo perlu gue injak-injak supaya nggak bisa berdiri lagi?" Bintang mengambil sebuah raket. "Jawab, dong. Nggak bisa ngomong? Pita suara lo kelilit? Mau gue balikin ke asalnya? Atau gue putusin kepala lo sekalian?"

Pandu tiba-tiba terbahak sambil memegang perutnya. Dia lalu berdiri.

"Lo tahu nggak?" Pandu mendekat sambil mengusap darah di hidungnya. "Kata-kata lo yang sadis itu semakin ngebuat gue bergairah. Gue suka cewek dominan."

Sebelum tangan Pandu yang penuh darah menyentuh pipi Bintang, Bintang lebih dulu menendang masa depan Pandu. Cowok itu mundur dan mulut menganga lebar sembari kedua tangannya melindungi area berharga di depannya itu.

Tak kuat dengan rasa sakit dan ngilu itu, Pandu berlutut, kemudian berakhir sujud.

Tangan Bintang mengepal kuat. Ditatapnya Pandu dengan dingin. "Gimana? Masih bergairah? Mau gue buat lebih bergairah?"

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang