Pembalasan Dendam Laila

5 2 0
                                    

"Tidak, tidak! Aku tidak boleh mati. Aku harus tetap hidup, aku harus ... ha-ha-ha ...."

Laila memekik, tertawa kencang, menatap pantulan dirinya di depan kaca besar yang berada di ruangannya dengan tatapan sinis.

"Kenapa aku tidak boleh mati? Kenapa?" teriak Laila, matanya mengeluarkan air mata, tapi bibirnya melengkung membentuk senyuman.

"Tentu saja aku tidak boleh mati, masih ada orang yang harus aku buat sengsara nanti."

Laila mengusap cairan bening yang mengalir di pipinya dengan kasar, mengambil kaca kecil di tasnya, memoleskan tipis makeup untuk menutupi kantong matanya yang bengkak.

"Beres! Aku akan pergi dari sini."

Laila membuka kaca jendela, memperkirakan jarak dari lantai dua ke lantai satu, mempertimbangkan apa yang akan terjadi kepadanya setelah ia melompat.

"Palingan hanya mengalami patah tulang," ucapnya tenang, matanya melirik sekitar kedai kopinya, memastikan tak akan ada satu pun orang yang melihat aksi lompat dirinya dari lantai dua ke lantai satu.

Laila mengeluarkan terlebih dahulu kakinya dari dalam jendela, berpegangan pada kursi yang akan membantunya melompat dari sana.

Ringisan dari mulut Laila terdengar, ia memegang kedua kakinya yang sudah mendarat di atas tanah, di taman belakang.

Laila langsung bergegas pergi meninggalkan tempat, berjalan dengan tertatih, sesekali matanya melirik para karyawannya yang sedari tadi terus menelepon dirinya agar ia keluar dari ruangannya.

"Nona!"

Laila semakin mempercepat langkahnya, tak memperdulikan cedera pada kakinya.

"Nona, Anda mau ke mana?"

Laila bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di taman, menghindari karyawan yang mengejarnya. Laila menghela napas, memegang dadanya yang berdegup kencang, "Syukurlah ...."

Laila langsung memberhentikan taksi yang lewat, merapikan kembali penampilannya sebelum berangkat ke bandara.

'Aku akan datang ke sana, Paman, Paman tunggu saja, ya. Maaf, kemarin Laila harus kembali ke negara Laila karena ada urusan mendadak sehingga tak sempat memberitahu Paman.'

Laila tersenyum, mengusap lembut layar ponselnya yang terpampang wajah dirinya bersama dengan kedua kakaknya saat masih kecil.

"Tunggulah kedatanganku, kak! Aku akan menyelesaikan semuanya sehingga kalian tak lagi menyiksaku hanya karena harta warisan itu," gumam Laila dengan tersenyum ceria, membuat sopir taksi yang sedang fokus mengemudi melirik dirinya dari pantulan center mirror.

"Lakukan tugas Anda dengan baik, Pak, jangan melirik saya!" tegas Laila, matanya mendelik tajam menatap sopir itu hingga membuat sang sopir kembali menatap lurus jalanan.

"Dalam satu tahun ini, aku sudah bolak-balik ke bandara dua kali. Apa mungkin bisa lebih?"

Laila mengetuk pelan dagunya, menyeret kakinya agar segera memasuki pesawat dan mempercepat penerbangannya sehingga ia bisa sampai di rumah pamannya kembali.

***

Laila tersenyum semringah saat kedua kakaknya sudah menyambutnya dengan tatapan horor.

"Paman, Laila kembali ...." Laila memeluk Mark, mencium tangannya dan mengikuti langkah Mark untuk masuk ke dalam mansion.

"Kakak, apa kalian tidak rindu dengan diriku?" tanya Laila, dengan sengaja mengayunkan kalimatnya, menyindir keduanya atas perlakuan tak wajar yang telah Bianca dan Aca lakukan terhadap dirinya.

Live With Darkness Where stories live. Discover now