Teman Baru

2 3 0
                                    

"Mereka ingin merampok saya. Bisakah kalian menolong saya? Saya akan memberikan imbalan sebagai gantinya," ucap Laila, menerobos masuk ke dalam pintu, membiarkan para preman itu berkelahi dengan orang-orang yang ingin mengambil tasnya.

Laila menatap preman-preman yang sedang melindunginya dari balik jendela, memuntahkan semua yang bergejolak di tubuhnya, "Ternyata, tidak semua preman adalah orang jahat," gumam Laila, mengelap sisa cairan bening dari mulutnya dengan tisu yang di sediakan oleh pemilik toko.

"Nona, sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Kenapa Nona bisa di kejar oleh orang-orang itu?"

Kepala Laila mendongak, menatap wanita yang lebih tinggi darinya sedang membersihkan meja yang terkena cairan muntahnya.

"Tidak tahu. Mereka semua tiba-tiba ingin merampok tas saya. Untung saja saat itu, saya masih memiliki kesadaran sehingga bisa menangkis serangan mereka," jawab Laila, menyenderkan kepalanya pada tembok.

"Syukurlah Nona tidak apa-apa, karena yang saya ketahui, orang-orang itu adalah penjahat di kota ini, mereka selalu mencopet barang wanita-wanita yang suka berkeliaran di malam hari."

"Anda sedang menyindir saya?" tanya Laila, menatap taja wanita yang sekarang mulai ketakutan saat melihat tatapan matanya.

"Ti-tidak, Nona, bukan seperti itu ..."

"Ya, walaupun bisa di bilang seperti itu, sih." Wanita itu melanjutkan ucapannya dengan sangat pelan hingga Laila tak dapat mendengar kalimat lanjutannya.

"Tolong ambilkan saya air putih, perut saya semakin mual," perintah Laila, meletakkan sebelah tangannya pada perutnya.

"Jika tidak bisa minum, maka tidak perlu sok, Nona!" ketus sang waiters, berjalan menjauh dari meja Laila hanya untuk memenuhi keinginan pelanggannya.

"Terima kasih," ujar Laila, meminum perlahan air putih yang di letakkan dengan kasar di atas mejanya.

"Kamu siapa mereka, Nona? Kenapa para preman kami rela membantu Nona? Aku bahkan tak pernah melihat Nona sekali saja." Waiters itu melipat tangannya di dada, menatap tajam Laila yang masih mengatur napasnya agar perutnya berhenti bergejolak.

"Anda bisa tanyakan sendiri kepada mereka, Nona. Saya tidak bisa menjawabnya," kata Laila, kepalanya tertunduk dengan mata yang tertutup, gejolak di perutnya benar-benar sangat menyiksanya.

Laila bergegas pergi meninggalkan meja, mengabaikan waiters yang sedang berbicara kepadanya. Menurunnya, pertanyaan yang di lontarkan sangat-sangat tidak berfaedah. Laila memutuskan untuk melihat perkelahian yang sedang terjadi di luar sana.

"Jangan terlalu di ambil hati, Nona! Preman-preman itu memang orang yang baik, jangan sampai kamu tertarik kepada mereka!"

"Cih!"

Laila menengok ke samping, menatap jengah waiters yang sedari tadi terus mengikutinya.

"Anda pikir, saya akan tertarik dengan mereka hanya karena mereka telah menyelamatkan saya dari musibah ini?" tanya Laila sinis, sorot matanya memancarkan kebencian teramat dalam.

"Sudah, Nona, jangan dengarkan apa yang wanita itu katakan. Dia hanya mengucapkan yang tidak benar," ujar salah satu preman dengan penampilan berantakan, mengajak Laila untuk mengikuti mereka dan menjauh dari waiters yang membuat Laila merasa risih.

"Nona, lain kali, jangan keluar sendirian, di sini banyak sekali orang jahat, termasuk kami."

Laila mendengarkan nasihat itu sambil memijat kepalanya yang masih berdenyut, tak kunjung hilang.

"Iya, akan saya ingat."

"Ini, imbalan untuk kalian. Terima kasih karena telah menolong saya," ucap Laila, menyodorkan amplop coklat yang lumayan tebal di depan mereka.

"Tidak perlu, Nona." Pegangan Laila pada amplop coklat mengencang saat preman itu menolak pemberiannya, membuat harga dirinya hancur.

"Terimalah! Jika tidak, saya tak akan segan-segan membunuh kalian!" ancam Laila dengan sorot mata penuh amarah, mengulurkan tangannya kembali, memaksa preman-preman itu untuk menerima pemberiannya.

"Ba-baik, terima kasih, Nona."

"Mulai sekarang, kita berteman."

Semua mata membelalak saat Laila mengucapkan itu, termasuk waiters yang menguping pembicaraan mereka.

"Kenapa Nona ingin berteman dengan kami?"

"Tak perlu alasan, saya hanya ingin kita berteman. Saya bisa memanfaatkan kalian, dan kalian bisa memanfaatkan saya. Suatu keuntungan yang besar, bukan?"

Laila menaik-turunkan alisnya, mengajak preman-preman itu untuk menjalin pertemanan dengannya.

"Baik, kami setuju, Nona."

"Tapi, kami tidak memiliki tempat tinggal. Apa Nona mau tidur dengan tempat tak layak bersama kami?"

Laila menggelengkan kepalanya, "Tidak. Kalian akan tinggal bersamaku nanti. Untuk saat ini, kalian harus membantuku untuk memilih mansion mewah, kita akan tinggal di sana bersama-sama. Dan ... yeah, saya juga ingin kita membuat kesepakatan."

Laila mengangkat dagunya, menanti jawaban dari preman-preman yang masih terbengong, bingung antara menerima atau tidak.

"Setuju! Ayo, kita pergi dari tempat ini sekarang. Saya tak ingin melihat wanita itu lagi. Sangat muak," ucap Laila ketus, melirik waiters yang sedang bersembunyi di balik tembok tempat mereka duduk.

Laila tertawa saat sang waiters mengumpatnya dengan kalimat kasar. Ia tak marah, justru ia senang, karena malam ini ia memiliki partner untuk di ajak kerjasama dan memiliki mainan baru untuk ia jahili setiap ia bosan.

"Jangan pedulikan wanita itu, dia sangat menggangu. Saya membencinya," ujar Laila membuat semua preman itu mengangguk dan mengikuti langkahnya meninggalkan tempat itu.

Live With Darkness Where stories live. Discover now