Bertemu Preman

2 3 0
                                    

"Saya telah membunuh kedua kakak saya dengan tangan saya sendiri. Bagaimana? Keren, bukan?" Seringai mulai terlihat di wajah Laila.

"Gila ... kamu gila ...." Amel menarik-narik tangannya, berharap kedua orang yang menahan tangannya melepaskannya dari jeratan Laila.

"Diam, bodoh! Jangan memberontak! Bukankah sudah saya peringatkan?"

Laila mengencangkan tangannya di area leher Amel, membuat napasnya menjadi tersendat.

"Lemparkan wanita ini ke sumur tua itu!"

Laila menepuk kencang bahu Amel, memberikannya senyuman yang memiliki arti tersembunyi.

"Lakukan!"

Laila hanya tertawa saat Amel berteriak, meminta tolong kepada dirinya di dalam sumur tua yang memiliki kedalaman 20 meter, menyuruh orang-orang suruhannya pergi meninggalkannya dari tempat itu.

"By, Amel. Jangan merindukanku, ya!"

Laila melambaikan tangan, seringai tak luntur dari wajah iblis bertopeng malaikat miliknya.

***

"Hm, apa yang akan aku lakukan sekarang? Semua hama-hama itu sudah aku lenyapkan. Lalu, aku harus membunuh siapa lagi sekarang?" monolog Laila, kakinya terus berjalan menelusuri jalanan sepi di kotanya.

"Hai, Nona!"

Laila berhenti melangkah, memutarkan badannya saat seseorang menepuk pundaknya pelan.

"Ya?" Laila memiringkan kepalanya, menatap sekumpulan pria bertato di depannya dengan wajah datar.

"Mau ikut minum bersama kami? Kami perhatikan, Anda sedang banyak masalah," ujar salah satu dari mereka membuat Laila mengangguk setuju, mengikuti langkah para preman menuju ke sebuah tempat aman yang tak akan di ketahui oleh polisi.

"Ini, Nona. Silakan di minum. Jangan sungkan-sungkan menceritakan masalah Anda kepada kami, Nona." Lagi-lagi Laila mengangguk, menerima uluran gelas yang berisi cairan bening yang akan membuat dirinya melayang.

"Terima kasih."

"Kenapa Anda berjalan sendirian di luar malam-malam seperti ini, Nona?"

Laila menggeleng, "Hanya ingin menghirup udara segar saja ..."

"Bagaimana dengan kalian?" Laila bertanya balik.

"Kami tak mempunyai alasan yang jelas, Nona. Kami memang selalu keluar malam hanya untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu kami semau kami."

"Nona, itu apa?"

Laila mengerutkan keningnya, matanya mengarah pada dadanya yang di tunjuk oleh preman itu.

"Kenapa?"

"Apa itu?"

"Darah." Laila kembali meneguk minuman dengan tenang, tak memperdulikan tatapan-tatapan para preman yang mengelilinginya.

"Aku habis membunuh seseorang. Apa kalian juga ingin aku bunuh?" tanya Laila dengan kepala yang di miringkan, alisnya naik-turun.

"Me-mem-membunuh?"

"Iya, kenapa? Kalian juga ingin merasakannya?" Laila memicingkan matanya, menunggu jawaban dari para preman yang kini bungkam, tak satu pun dari mereka berbicara atau pun mengeluarkan suara.

"Jika mau, aku masih memiliki pisau yang telah aku gunakan untuk membunuh wanita itu. Ini, lihatlah."

Laila mengeluarkan pisau yang ia gunakan untuk menyayat tubuh Amel dari balik jaketnya.

"Ti-tidak, Nona. Ka-kami tidak mau."

Mereka semua mundur, tangan mereka terangkat ke atas, menatap Laila takut.

"Takut? CK! Aku bahkan belum melakukan apa pun. Kalian adalah preman, tapi takut dengan benda tajam ini?"

Laila geleng-geleng kepala, menatap jengah preman-preman yang ada di sana.

"Nona, kamu cantik. Kenapa kamu bisa melakukan pembunuhan? Apa Nona tidak takut masuk penjara?"

"Tidak," jawab Laila cepat. Meneguk habis minumannya, meminta orang-orang di sana untuk mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong.

"Ini enak. Tambahkan lagi."

Laila meletakkan gelasnya di atas meja, membiarkan pelayan di sana menuangkan lebih banyak minuman untuk ia habiskan.

"Terima kasih atas minumannya." Laila meninggalkan meja begitu saja tanpa melirik sedikit pun preman-preman yang menatapnya heran.

"Jika kita bertemu kembali, jangan lupa untuk mentraktirku lagi, ya! Minuman itu sangat enak," ucap Laila yang sudah di bawah pengaruh alkohol, sudut matanya terus berkerut, tanda ia tersenyum senang.

Laila melambaikan tangannya, berjalan sempoyongan menuju pintu, mulutnya tak henti-hentinya bergerak, bergumam tak jelas.

Laila memijat keningnya yang pening, pengelihatannya mulai kabur, serasa di putar-putar.

"Ugh! Pusing sekali ...." Laila memukul kepalanya berkali-kali, berharap bisa menghilangkan rasa sakit yang semakin terasa, kakinya terus melangkah, melewati lorong sepi yang tak ada satu pun orang lewat di sana.

"Apa?!" tanya Laila ketus saat tiba-tiba tas yang bergantung di bahunya hampir saja di jambret.

"Ambil saja tas itu, wanita ini sedang mabuk, tak perlu takut!"

Laila memasang ancang-ancang, memegang kuat tasnya, membenarkan posisi tali yang bergantung di bahunya.

Laila memukul kuat pria yang berusaha merebut tas darinya, matanya sudah memerah, pengelihatannya semakin kabur seiring berjalannya waktu.

"Menyerah saja, Nona cantik! Kami tidak akan melukaimu jika kamu tidak melawan kami. Serahkan saja tas itu kepada dia!"

Laila menggeleng, senyum tipis tercipta di wajahnya, membuat orang-orang itu semakin geram dengan tingkah Laila.

"Silakan jika kalian bisa."

Laila memutarkan tubuhnya, berlari ke jalan awalnya, berharap para preman yang mentraktirnya masih berada di tempat penjualan minuman yang kini sangat ia sukai.

"Jangan kabur, Nona!"

Laila mengabaikan teriakan orang-orang itu, kakinya terus berlari, mendorong setiap drum-drum besar yang menghalangi jalannya.

Dengan napas terengah, Laila mengetuk pintu toko. Laila tersenyum saat melihat orang-orang yang di harapkan masih berada di tempat itu.

"Ada apa, Nona? Kenapa kamu kembali lagi?" tanya salah satu preman, menatap bingung Laila dengan penampilan yang sudah berbeda, terdapat setitik darah pada buku-buku tangannya.

Live With Darkness Where stories live. Discover now