Wajah preman itu masih melekat

1 3 0
                                    

"Ha-ha ... aku benar-benar sangat cantik!" Laila meratakan pelembab bibir sehingga membuat bibirnya menjadi mengkilap saat terkena sinar.

"Aku yakin, setelah aku membangun geng mafia ini, tak akan ada yang berani untuk menghalangi jalanku untuk menuju kemenangan. Em ... ah, ya! Aku belum menciptakan nama geng mafiaku. Apa, ya?"

Laila mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, bola matanya melirik ke atas, berpikir keras untuk menciptakan nama indah nan elegan yang akan ia jadikan sebagai nama geng mafianya.

"Mafia Laila? Ah, tidak! Eum ... Black Lail? Tidak juga. Ayolah, berpikir!"

Laila memukul kepalanya kencang, menyuruh otaknya berpikir keras agar bisa menemukan nama yang pas untuk geng mafianya.

"Ah, aku tahu!"

"The Queen Lail," celetuk Laila dengan nada kencang, ia juga refleks bangun dari duduknya dan melompat girang.

"Itu nama yang bagus, aku sangat menyukainya. Argh ... aku sangat bahagia ...." Laila menari-nari di ruangannya, ia menari sambil melanjutkan kembali memoles wajahnya dengan beraneka ragam makeup.

"Iya, hallo!" sapa Laila pada orang yang meneleponnya, ia menghentikan semua pergerakannya yang hampir saja selesai mendandani mukanya.b

"Saya petugas nasabah bank yang Anda pinjam, Nona."

Laila langsung memutar bola matanya saat mendengar kalimat yang di ucapkan oleh si penelepon. Laila langsung membuang asal lipstik yang masih di genggamnya saat petugas itu mulai menagihnya kembali.

"Kenapa kalian sangat susah di bilangan, sih?! Sudah jelas bukan saya yang meminjam uang sebesar itu kepada bank. Saya hanya di jebak!" ujar Laila kesal, bibirnya yang merah mulai mengerucut.

"Sudah saya bilang, 'kan? Saya tidak pernah meminjam uang itu. Saat saya pergi meninggalkan perusahaan saya, perusahaan saya tak mengalami krisis sedikit pun. Saya pun masih mengingat keuntungan yang saya dapatkan satu bulan yang lalu," ucap Laila, berkata jujur dengan apa yang dialaminya. Ia tak ingin begitu saja di jebloskan ke dalam penjara hanya karena hutang yang mengatasnamakan dirinya.

"Sudah! Anda berisik sekali, Tuan. Besok saya akan datang ke bank Anda. Saya akan melunasi semuanya. Jangan pernah menghubungi saya lagi, saya sibuk! Kirimkan saja alamat tempat kalian bekerja!"

Laila langsung memutuskan panggilan, duduk dengan kasar pada kursi kekuasaannya, melipat kakinya dan juga menekuk tangannya di dada. Raut mukanya sangat masam.

"Aku kira sudah selesai, ternyata belum." Laila menaruh kepalanya di atas meja, wajahnya yang lesu tertutup oleh rambutnya yang ia gerai.

"Aku belum menyiapkan uang untuk esok."

Laila berjalan mendekati lemari, mengambil koper hitam yang ia letakkan di dalam lemari yang hanya ia seorang yang memiliki kuncinya, Laila sudah tak mempercayai siapa pun selain dirinya sendiri.

"Haits ... aku lupa, berapa uang yang Farhan ambil dari bank, ya? Belum lagi bunganya yang semakin membengkak karena aku tak kunjung melunasinya. Hah? Melunasinya? Cih! Bahkan aku saja tak pernah meminjam uang di sana."

Laila menyeret kopernya, menaruhnya di atas meja dan mulai menghitung uang yang akan ia keluarkan untuk esok.

"Aku rasa ini cukup."

Laila meletakkan kembali kopernya ke tempat asalnya. Tak lupa, ia juga mengunci lemarinya dan menyimpan kunci tersebut di tempat yang menurutnya sangat aman.

"Aku akan keluar untuk mengawasi kinerja bawahanku sebelum mereka aku rekrut menjadi anggota mafiaku," gumam Laila, meninggalkan semua pekerjaan yang harus ia selesaikan dan mulai mengawasi semua preman yang telah ia angkat sebagai bawahannya.

Laila menganggap dirinya adalah seorang malaikat bagi para preman, karena ia telah menyediakan semua kebutuhan yang mereka butuhkan. Malaikat penolong, itulah yang ia pikirkan.

"Bagaimana, apakah semuanya beres?" tanya Laila saat sudah sampai di depan mereka.

"Sudah, Nona. Kami sudah mengawasi semuanya, tak ada satu pun yang mencurigakan."

Laila mengangguk, "Bagus! Jangan sampai kalian lengah. Jika saja kalian lengah, maka leher kalian yang akan menjadi taruhannya!" Laila mengancam dengan nada pelan, tapi dengan penekanan di setiap katanya.

"Bantu pelayan itu dalam melayani pelanggan! Kalian tidak di perkenankan untuk menunjukkan aura menyeramkan kalian saat di sini!" Laila memberikan peringatan, matanya menajam saat berkata demikian. Laila khawatir semua bawahannya tak dapat mengontrol raut wajah dan emosi.

"Aku tahu kalau kalian adalah seorang preman. Namun aku yakin, kalian bisa melakukan semua ini dengan baik tanpa harus mengecewakanku," ucap Laila lembut, meninggalkan bawahnya dan mulai melangkahkan kaki menuju dapur.

'tempat kematian Farhan.' batin Laila.

Wajah Laila terlihat datar saat mengingat kejadian itu, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya sangat tersenyum bahagia saat melihat keadaan Farhan yang begitu mengenaskan, termasuk dengan Amel.

"Selamat sore!" Laila menyapa dengan sangat ramah, membuat para karyawan yang sedang bekerja langsung menoleh ke arahnya dan membalas sapaannya.

"Layani dengan baik seluruh pelanggan! Jangan sampai ada salah satu pelanggan memberikan komentar buruk tentang pelayanan," ujar Laila yang di jawab anggukan oleh semua karyawannya yang ada di dapur.

"Baik, semangat, ya! Untuk perihal gaji, saya akan segera menangani hal itu."

Laila langsung melenggang pergi, kembali lagi ke dalam ruangannya.

Live With Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang