Kebun

7 4 1
                                    

Laila berjalan mondar-mandir di dekat jendela kamarnya, menggigit kuku yang sedikit panjang miliknya, sesekali menghentakkan kakinya ke lantai.

“Argh ... kenapa menjadi seperti ini? Kenapa Farhan tidak menghubungiku sama sekali? Padahal aku sudah satu Minggu di rumah paman.” Laila duduk di bangku, menjambak rambutnya sendiri, memukul-mukul kepalanya, kemudian mengetikkan sesuatu di handphonenya.

‘apa Farhan sedang sibuk? Kenapa tak satu pun pesan yang aku kirimkan dia balas? Apa dia kesulitan dalam mengatur perusahaanku?’ batin Laila, setia menunggu pesan masuk dari Farhan.

Laila membuka pintu saat mendengar suara ketukan di sertai suara Mark.

“Iya, Paman?” Laila tersenyum saat melihat wajah Mark sudah berdiri di depannya, mempersilakan Mark masuk ke dalam kamarnya.

“Tidak, Laila. Apa ini kebiasaanmu? Kamu tidak pernah sarapan? Kenapa tidak datang ke meja makan saat pagi tadi? Paman sudah menunggu, bahkan kedua kakakmu sudah bolak-balik ke kamarmu untuk memanggilmu, tapi tak kamu respon,” ujar Mark membuat kerutan di dahi Laila terlihat.

“Tadi pagi, Paman?” tanya Laila, memiringkan kepalanya heran.

“Iya, Bianca dan Aca Paman perintahkan untuk memanggilmu agar kamu segera turun dan makan bersama dengan kami. Paman sudah menunggu lama dirimu, La. Apa yang kamu lakukan di kamar? Masih tidur di jam tujuh pagi?” tanya Mark. Laila menggeleng sebagai jawaban.

“Sudah bangun, Paman. Mungkin, saat kak Bianca dan kak Aca memanggil Laila, Laila sedang berada di dalam kamar mandi. Paman tahu sendiri ‘kan, jika Laila mandi akan menghabiskan waktu berjam-jam.” Laila terkekeh pelan.

“Hm. Ya sudah, sekarang cepat keluar! Sarapan, dan pergi ke kebun. Paman akan mengajak kamu dan kedua kakakmu melihat kebun di rumah ini. Sudah lama sekali kalian tidak mengunjunginya,” kata Mark.

Laila hanya menurut, mengikuti langkah panjang Mark, menyiapkan mentalnya untuk menghadapi kedua kakaknya nanti saat di kebun.

“Paman, Aca mau tomatnya, ya. Aca mau mempunyai kulit halus,” ucap Aca sambil mencium tomat yang sudah di petiknya.

“Ambil saja.”

“Sudah sarapannya?” tanya Bianca, senyum di wajahnya mengembang saat melihat Laila berada di belakang Mark.

“Sudah. Terima kasih karena telah berusaha mengajakku sarapan, Kak. Jasa kalian berdua tak akan pernah aku lupakan,” ujar Laila, menyelipkan senyuman misterius di wajahnya.

“Oh, tentu saja. Kamu itu adik kita. Betul tidak, Kak?” Aca melirik Bianca.

“Laila, ambil saja buah strawberry itu. Paman sudah menyuruh orang untuk merawatnya selama kamu tak datang lagi ke sini.”

Mark menunjuk pohon strawberry yang berada di samping pohon tomat, mengajak Laila pergi ke sana.

“Ambil saja sesukamu. Paman tinggal sebentar, ya. Paman melupakan pekerjaan Paman saat kamu tiba di sini.”

Laila terkekeh, mengangguk pelan, mempersilakan Mark meninggalkan taman, “Silakan, Paman. Maaf jika membuat Paman kesulitan saat Laila berada di rumah Paman.”

“Tentu tidak, La. Paman tinggal dulu, ya.”

Mark melepaskan topi caping yang selalu ia pakai saat berkebun, membersihkan tangannya dari tanah-tanah yang menempel pada tangannya.

“Kenapa kamu berani datang ke kebun? Mau cari mati?!” bentak Aca, mendorong tubuh Laila, membuat Laila mundur beberapa langkah.

"Jangan pernah kamu sekali-kali menunjukkan sifat baikmu kepada paman, La! Karena aku yakin, sifatmu tak akan jauh berbeda dari kami berdua."

Bianca maju beberapa langkah, mengulurkan tangannya ke depan wajah Laila.

"Mau apa?" tanya Laila bingung dengan pergerakan Bianca.

"Mencekikmu!" Bianca mencekik leher Laila, hingga membuat wajah Laila memucat.

"Le-lepaskan, apa yang kamu lakukan, Kak? Apa kamu berniat membunuhku?" Laila berusaha melepaskan tangan Bianca dari lehernya, memukul-mukulnya berkali-kali agar Bianca segera melepaskannya.

"Memang itu tujuan kami." Bianca semakin mengencangkan cengkraman tangannya, tak memperdulikan Laila yang sudah mengeluarkan air mata pada sudut matanya.

Laila mengeluarkan semua tenaganya, memaksakan dirinya untuk mendorong Bianca agar cekikan Bianca terlepas dari lehernya.

"Kalian gila!" Laila menarik napasnya dalam-dalam, membungkukkan tubuhnya, mencoba batuk agar bisa menghilangkan rasa sakit pada lehernya dan saluran pernapasannya.

"Sudah berapa kali aku peringatkan, La? Jangan berusaha mendekati paman! Karena bagaimana pun juga, aku dan Kak Bianca lah yang berhak mendapatkan harta warisan ayah dan bunda!" ujar Aca, menarik kerah baju Laila, kemudian menamparnya.

"Lebih baik kamu kembali ke negaramu, urus saja perusahaanmu itu!"

Bianca menarik Aca, mengajak Aca untuk pergi meninggalkan kebun.

"Hah! Sampai kapan aku terus membersihkan darah hasil tamparan terus-menerus?" gerutu Laila, menjilat darah yang keluar dari bibirnya, kemudian menelannya.

***

"Sampai kapan kamu akan terus menggerutu sambil mondar-mandir seperti itu, La?" tanya Mark menghentikan langkah Laila.

"Iya, sampai kapan? Dari pada mondar-mandir tidak jelas, lebih baik kamu membersihkan lantai dari debu-debu, itu akan lebih bermanfaat," ujar Aca, tertawa pelan saat melihat wajah kegelisahan yang Laila tunjukkan.

"Maaf, Laila izin ke kamar dulu ya, Paman. Laila harus menghubungi Farhan dulu," ujar Laila, langsung berlari menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa.

"Ayo dong, angkat panggilanku," ucap Laila, menatap penuh harap layar ponselnya yang memperlihatkan wajahnya, Laila menghubungi Farhan lewat panggilan video karena Farhan tak kunjung mengangkat semua panggilan suaranya.

"Astaga! Ada apa dengan dia ini? Kenapa tak pernah mengangkat panggilanku?" Laila mengepalkan tangannya, berusaha bersabar, mencoba menghubungi Farhan kembali hingga akhirnya ia menyerah dan memilih untuk turun ke bawah dan berkumpul dengan keluarganya.

***

"By, matikan ponselmu!" titah Amel kepada Farhan yang terus mengabaikan panggilan telepon dari ponselnya.

"Itu Laila. Biarkan saja. Kita nikmati saja waktu kita ini, Darl. Aku sudah malas menanggapi setiap ocehannya."

"Lebih baik kita fokus saja dengan kenikmatan ini, Darl. Jangan menyia-nyiakannya."

Live With Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang