Di Tagih Rentenir

9 4 0
                                    

"Au, untung saja ada ibu baik yang ingin meminjamkan baju panjang ini kepadaku. Jika tidak, mungkin aku tak akan pernah bisa mendapatkan tiket untuk sampai mendarat ke rumah."

Laila membuka pintu kamar kost dengan kunci yang masih utuh di dalam kantung celananya pendeknya.

"Aku akan mengistirahatkan tubuhku, rasanya sangat sakit."

Laila melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, mengambil air dan beberapa obat antiseptik untuk membersihkan lukanya.

"Sial! Pasti ini akan memakan waktu yang lama hanya untuk mengeringkan lukanya," gerutu Laila, perlahan-lahan mengoleskan alkohol kepada luka-luka yang ada di tubuhnya.

"Aku akan mengganti bajuku setelah obat ini mengering. Uh, kenapa sangat perih sekali?"

Laila meniupkan luka-lukanya agar cepat mengering, menyandarkan tubuhnya pada sofa pendek yang terletak di ruang tamu.

Laila membuka bajunya perlahan-lahan agar tak mengenai lukanya, membasuh tubuhnya dengan air yang mengalir kecil, membiarkan air itu mengalir membasahi tubuhnya yang baru saja ia obati.

Suara ketukan pintu membuat Laila mempercepat mandinya, memakai baju dengan tergesa-gesa hingga membuat lukanya kembali melebar.

"Iya?" tanya Laila dengan dahi yang mengerut setelah membuka pintu.

"Dengan Nona Laila Veronika?" tanyanya membuat Laila mengangguk, karena benar itu adalah namanya.

"Silakan Anda lunasi semua hutang Anda, Nona! Jika tidak ...."

"Tunggu! Apa? Hutang?" tanya Laila heran dengan mata yang membeliak.

"Iya, Anda memiliki hutang di bank senilai 200 miliar. Mohon segera di lunasi, Nona, karena Nona sudah berulang kali tidak menjawab panggilan dari pihak bank."

Laila tergagap, memandang pria tua nan gemuk di depannya dengan mulut yang menganga.

"Tolong jangan pernah berpikiran untuk kabur dari tanggung jawab, Nona. Sejauh apa pun Nona kabur, kami akan tetap bisa menangkap Nona dan menyerahkan Nona ke pihak yang berwajib."

Laila menggeleng, seluruh oksigen yang ada di sekitarnya seolah-olah hilang begitu saja, bagaikan ada yang merampas semuanya darinya.

"Ta-tapi ... saya tidak pernah meminjam sepeser pun uang di bank, Tuan. Bagaimana bisa pinjaman itu atas nama saya?" Laila berteriak, berjalan mundur, hendak menutup pintu.

"Tolong jangan menghindar dari kami, Nona! Jangan mengabaikan hutang yang telah Anda pinjam! Bunga akan semakin bertambah jika Anda terus menghindar dari kami," ucapnya memperingatkan Laila, menahan pintu saat Laila hendak menutupnya.

"Saya tidak pernah meminjam uang bank!" teriak Laila, matanya memerah, ia sangat shock saat melihat tagihan yang harus segera ia lunasi.

"Dengar ya, Tuan! Cepat Anda pergi dari rumah saya, atau Anda ingin saya berteriak dan memanggil orang-orang di sini untuk mengusir Anda secara paksa?" Laila mengancam dengan kedua tangan yang sudah terkepal, urat-urat lehernya sudah menegang.

"Saya tidak peduli, Nona. Anda harus segera melunasinya bagaimana pun caranya! Saya di sini hanya bertugas, saya tidak melakukan kejahatan. Jadi, saya tak perlu takut dengan ancaman Anda," jawabnya santai.

Laila semakin frustasi, kepalanya berdenyut sangat sakit, tak mempunyai ide untuk mengusir orang itu dari rumahnya.

"Saya tidak akan membayarnya! Saya tidak pernah meminjam uang! Ingat itu!" tegas Laila.

"Silakan, Nona. Pihak kami tak akan di rugikan di sini. Perusahaan kedai kopi Anda sudah menjadi jaminannya."

"What?!"

Laila lagi-lagi ternganga tak percaya, matanya semakin melebar, kepalanya semakin berdenyut, tak dapat berpikir dengan kepala dingin.

"Tolong segera pergi dari sini, Tuan! Jangan membuat kondisi saya semakin memburuk!"

"Baik, saya dan rekan saya akan pergi. Namun harus di ingat, Nona! Nona harus dengan segera melunasinya! Jika tidak, perusahaan kedai kopi Anda tak akan cukup untuk membayar uang yang telah Anda pinjam dari bank."

Setelah mengatakan itu, kedua pria yang datang ke rumah Laila langsung melangkahkan kakinya menjauh, meninggalkan Laila sendirian dengan beban pikiran.

Laila memegang kepalanya, meremas rambutnya dengan sangat kencang, tatapan matanya berubah menjadi kosong.

"Astaga, apa yang telah terjadi? Kenapa dua orang rentenir bisa sampai di rumahku?" Badan Laila memutar, berusaha mengingat kapan ia pernah datang ke bank untuk mengambil pinjaman uang.

"Farhan! Ya, Farhan! Aku harus menghubungi pria itu."

Laila berlari kecil masuk ke dalam kamarnya, mengambil ponselnya yang masih ia letakkan di dalam tas kecil.

"Please, angkat!" Laila menggigit ujung kuku panjangnya, berharap Farhan mengangkat panggilannya.

"Brengsek! Kenapa tidak dia angkat? Apa yang harus aku lakukan?"

Laila membenturkan kepalanya berkali-kali ke tembok, sesekali memukulnya, berusaha memikirkan cara agar bisa menghubungi Farhan.

"Aku harus segera pergi ke perusahaan untuk memeriksa keadaan aslinya. Tapi bagaimana dengan tubuhku? Lukanya tak kunjung membaik."

Laila menjambak rambutnya sendiri, menarik-narik hingga urat di kulit kepalanya terlihat.

"Aku harus bisa memulihkan kondisiku," tekad Laila.

Kembali berlari ke ruang tamu dan mengambil obat-obatan untuk ia konsumsi, berharap bisa menyembuhkan seluruh bekas luka dalam yang ada pada setiap jengkal tubuhnya.

Laila menempelkan cream berwarna krem ke tubuhnya, menutupi setiap lukanya dengan alat makeup-nya.

"Aku akan mencoba menghubungi Farhan kembali."

Tangan Laila kembali menekan tombol 'panggil' pada layar ponselnya dengan tangan lainnya yang terus fokus menutupi semua bekas luka.

Live With Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang