Jadikan Koleksi

5 3 0
                                    

"Kenapa Anda membunuh Dea, Nona? Apa kesalahan yang telah dia lakukan sehingga Nona dengan sadisnya membunuh Dea di depan kepala dan mata kami?" tanya pria yang masih terduduk membeku di tempatnya, menatap kosong Laila, menggeser pandangannya dan menatap wanita yang bernama Dea yang sudah tergeletak tak bernyawa di atas lantai dengan genangan darah kental yang mengelilinginya.

"Ah, sorry. Saya lupa jika Anda adalah tunangan wanita licik ini. Namun, apakah Anda tahu, jika wanita Anda hampir saja mencelakai nyawa orang-orang di sekitar saya saat saya terjebak macet?" tanya Laila dengan gaya bahasanya, ia masih berbicara dengan sangat formal, meminta bawahannya untuk mengisi ulang pelurunya dan menggantinya dengan peluru tanpa racun.

Laila membuang peluru itu di dalam tempat sampah yang tersedia di ruangan itu, membuat semua orang heran karena tindakannya.

"Kenapa Anda membuang peluru itu di tempat sampah, Nona? Bagaimana jika tunangan wanita yang Anda katakan licik membalaskan dendam kepada Anda atas kematian tunangannya saat ini?" tanya bawahan Laila dengan perasaan khawatir, mendekati Laila, memasang sikap waspada di sampingnya, ia juga mempersiapkan pistolnya jikalau tunangan wanita yang bernama Dea melakukan tindakan yang diluar dugaan.

"Biarkan saja. Jika dia masih waras, dia akan mencari tahu terlebih dahulu apa penyebab diriku membunuh tunangannya di depan matanya sendiri," ujar Laila, melirik sinis pria yang masih terdiam di tempatnya dengan tatapan kosong.

"Sudahlah, jangan di perpanjang. Buang mayat itu di tempat yang kamu suka, aku tak akan mempermasalahkannya. Kalau perlu, kamu bisa membawanya ke rumah lamamu," Laila mengambil tasnya, memasukkan kembali pistolnya yang telah di isi oleh peluru baru oleh bawahannya.

"Untuk apa di bawa ke rumah lama saya, Nona? Di dalam tubuh wanita itu tidak ada harta karun yang bisa saya jual, Nona," jawab sang bawahan dengan ekspresi bingung dengan perintah yang Laila katakan.

"Untuk koleksi saja. Siapa tahu, akan ada orang yang akan membeli jasadnya."

"Jasad mayat wanita, laku?" gumam sang bawahan dengan wajah heran.

"Tentu saja. Karena itu adalah hasil buruanku yang ketiga kalinya, ha-ha-ha ...."

Laila tertawa terbahak-bahak seraya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan. Ia juga menyempatkan diri untuk menepuk pelan pundak sang pria yang masih berduka atas kehilangan tunangan wanitanya.

"Saya harap, Anda tak akan membalaskan dendam Anda tanpa bukti yang kuat, Tuan. Jika Anda melakukannya, maka Anda sendiri yang akan menyusul tunangan Anda dan hidup abadi di alam lain," ucap Laila, senyum smirk tercipta di wajahnya.

Laila bersenandung kecil di langkahnya yang pelan, sesekali ia berhenti untuk mencium wanginya aroma bunga yang tumbuh indah di taman yang ia lewati.

"Argh ... kenapa mereka bodoh-bodoh sekali? Mau membunuhku dengan cara membunuh orang terdekatku terlebih dahulu? Cih! Trik macam apa, itu? Sangat pasaran."

Laila menggerutu, menendang-nendang batu kecil yang menghalangi jalannya, ia membenarkan ikat rambutnya saat helaian rambutnya yang tak terikat terhembus angin dan menutupi pandangannya.

"Huft ... aku lapar, di mana restoran di dekat kantor ini?" Laila celangak-celinguk memperhatikan sekitarnya, ia menilai-nilai setiap restoran yang di lewatinya. Aku hanya akan memakan makanan mewah selama memegang jabatan ini. Sumpahnya.

Laila langsung mengambil tempat duduk untuk dirinya seorang makan siang, ia memilih restoran bergaya Eropa yang lebih mendukung style-nya sekarang, dibandingkan dengan restoran bergaya Jepang.

"Mau pesan apa, Nona?"

Laila mengangkat kepalanya saat seorang pelayan menghampirinya dengan membawa menu makanan. Laila mulai melihat-lihat menunya, memilah-milah makanan yang menarik perhatiannya, dan yang pasti, yang belum pernah ia cicipi selama ia hidup menjadi penduduk dengan kekayaan yang standar.

"Saya mau ... lobster, pizza, truffle ...."

Laila menunggu dengan tenang pesanannya sembari memainkan game di ponselnya. Ia tak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya, ia terlalu fokus pada permainannya sehingga tak menyadari jika pesanannya telah tiba.

"Nona!" Pelayan itu mengibaskan tangannya di depan wajah Laila, karena Laila tak kunjung merespon panggilannya.

Laila terlonjak, berdehem pelan untuk menghilangkan rasa malunya karena telah berbuat hal yang memalukan untuk dirinya.

"Baik, terima kasih."

Laila memakan makanannya dengan tenang, tak terdengar sedikit pun suara kunyahan saat ia memakannya. Laila sangat tidak menyukai suara berisik saat ia sedang makan.

Namun, suara musik yang mengelilingi restoran itu membuatnya menjadi muak. Laila menaruh pizza yang ada di tangannya ke tempat semula, menjauhkan seluruh makanannya dari pandangannya.

"Hallo! Di mana manager restoran ini?" tanya Laila, memberhentikan pelayan yang melewati mejanya.

"Apakah ada perlu, Nona?" tanyanya membuat tangan Laila terasa gatal untuk melayangkan tamparan kepada pelayan wanita di depannya.

"Ya, saya ada keperluan dengan beliau. So, bisakah Anda tunjukkan di mana ruangan manager restoran ini? Saya tidak mempunyai waktu hanya untuk sekedar basa-basi dengan pelayanan seperti Anda," sahut Laila tanpa memperdulikan perasaan pelayan wanita di depannya.

Bisa Laila rasakan jika pelayan itu merasa sakit hati dengan apa yang ia ucapkan. Namun, Laila lebih memilih membentaknya kembali dari pada meminta maaf. Baginya, jabatannya sebagai seorang ketua dalam geng mafia adalah sebuah kedudukan di atas kedudukan yang paling tinggi.

Live With Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang