Semuanya milikku

3 3 0
                                    

Laila berjalan mengendap-endap, melewati ruang tamu yang sudah gelap. Laila yakin, jika semua penghuni di mansion pamannya sudah terlelap karena jarum jam pendek sudah mengarahkan pada angka dua.

"Laila!"

Laila terlonjak, tubuhnya menjadi kaku seketika.

"I-iya, Paman?" Laila memutar tubuhnya perlahan, menghadap Mark yang sudah duduk di sofa dengan kaki yang di silangkan.

"Kenapa pulang dini hari, hm?" Laila menundukkan pandangannya saat Mark bangkit dari duduknya, mendekati Laila yang masih berdiri kaku di depannya.

"Tadi ... Laila makan malam dulu, Paman. Apa Paman marah?"

"Ada restoran buka di jam ini?" Alis Mark terangkat.

Dengan terburu-buru Laila membenarkan ucapannya, agar Mark tidak menaruh rasa curiga sedikit pun kepadanya.

"Tidak, bukan seperti itu, Paman. Laila berkeliling kota setelah itu. Makan malam terlebih dahulu, dan keliling setelahnya," ucap Laila, tak lupa menyematkan senyum manis di wajahnya.

"I see." Mark mengangguk, kemudian melihat ke arah belakang Laila, keningnya berkerut, tatapan matanya berubah menjadi tajam.

"Kamu pulang sendiri? Di mana kedua kakakmu?" tanya Mark sedikit keras membuat Laila ketakutan.

"Ka-kakak, ta-tadi ... kakak izin pergi ke rumah temannya, Paman. Mereka bilang, mereka akan menginap di sana dan akan melanjutkan kuliah mereka di negara temannya. Jadi kemungkinan ...."

"Kemungkinan mereka akan tinggal di sana dengan waktu yang lama?"

Laila mengangguk, "Betul, Paman. Itulah yang mereka katakan kepada Laila. So, tolong jangan bertanya hal apa pun itu yang tidak Laila ketahui," kata Laila, merapatkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Baiklah, cepat istirahat! Kamu tidak boleh sampai kelelahan hanya karena berbelanja hari ini, tubuhmu pun butuh istirahat, La."

Pagi harinya, Laila bangun dengan wajah yang cerah, menunggu penantian saat dirinya akan dinyatakan menang dalam pertarungan antar saudara.

"Pagi, Paman!" sapa Laila, mengecup pelan kedua pipi Mark seraya memeluknya.

Mark hanya menjawab sapaan Laila dengan gumaman, menyuruh Laila untuk duduk di hadapannya.

"Ada yang ingin Paman tanyakan kepadamu, La. Tapi sebelum itu, kita sarapan dulu."

Laila hanya menanggapinya dengan senyuman, mulutnya tak henti-hentinya tersenyum, karena ia sudah tahu apa yang akan Mark tanyakan kepadanya.

"Kenapa secara tiba-tiba mereka menyerahkan harta warisan mereka kepadamu, La?" tanya Mark dengan wajah serius, saat ini keduanya sudah berada di ruang tamu, tempat yang selalu keluarga mereka pakai saat hendak membicarakan hal yang penting.

Laila mulai memainkan sandiwaranya, raut wajahnya berubah, ia memiringkan kepalanya, berlagak tak paham dengan apa yang Mark tanyakan.

"Maksud Paman? Maaf, Paman, Laila tak mengerti dengan pertanyaan Paman kali ini."

Helaan napas terdengar dari mulut Mark yang sudah dikelilingi tanda keriput karena termakan usia, "Si kembar itu, Bianca dan Aca. Kenapa mereka bisa dengan mudahnya menyerahkan bagain mereka kepadamu, La? Paman sangat tahu jika kedua kakakmu sangat membencimu, tapi kenapa kejadian ini bisa terjadi?"

"Maksud Paman ... what?!" Laila menutup mulutnya dengan mata yang membulat, berpura-pura syok saat mendengar apa yang Mark ucapkan kepadanya.

"Ba-bagaimana bisa, Paman? Sejauh yang Laila ketahui, kak Bianca dan kak Aca sangat menginginkan harta itu menjadi milik mereka. Lalu sekarang?"

Mark menggeleng pelan.

"Buka saja surat itu, La. Di sana sudah ada tanda tangan mereka," ujar Mark sambil menunjuk ke arah amplop coklat berukuran besar yang sudah berada di meja sebelum mereka menempati ruang tamu.

"Apa ini, Paman? Tanda tangan apa?" Laila membuka secara perlahan amplop tersebut, membaca setiap isinya dengan wajah pucat dan menganga.

"Apa ini sungguhan?!" Laila memekik, menatap tak percaya ke arah Mark.

"Ini sungguhan, La, dan ini nyata. Mereka telah menyerahkan semuanya kepadamu. Jadi, akan Paman putuskan jika hanya kamu lah yang akan mendapatkan warisan tersebut. Ikuti Paman!" titah Mark, berjalan terlebih dahulu meninggalkan Laila ke ruangan yang baru Laila ketahui.

"Gunakan sesukamu, itu uang pemberian kedua orang tuamu yang telah Paman cairkan tadi malam saat kalian berbelanja. Dan ini ... jaga surat ini baik-baik, suatu saat, kamu pasti akan membutuhkannya." Mark mengeluarkan semua barang pemberian kedua orang tua Laila dari dalam lemari, menyerahkan semuanya kepada Laila.

"Semua sudah selesai. Apa kamu ingin memperlama liburanmu di rumah Paman, La? Berhentilah bekerja, sudah ada perusahaan kedua orang tuamu saat ini, itu bisa membantumu dalam menghidupi dirimu tanpa perlu bekerja keras lagi," ucap Mark.

"Tidak, Paman. Laila akan kembali ke negara Laila. Di sana banyak sekali masalah saat Laila tidak berada di sana, dan Laila tidak ingin kejadian itu terulang kembali saat ini."

Laila tersenyum, membereskan semua dokumen ke dalam koper yang akan ia bawa bersama dirinya.

"Ya sudah, mau pulang sekarang?"

"Iya, Paman."

"Baik, Paman akan mengantarmu ke bandara. Paman tak akan membiarkanmu pulang sendirian lagi," ujar Mark, merangkul bahu Laila, membantu Laila menyeret kopernya.

"Terima kasih, Paman. Laila pamit, ya, terima kasih juga untuk semua ini. Laila sayang Paman." Laila memeluk Paman sebelum akhirnya dirinya di bawa terbang oleh pesawat yang telah Mark pesankan.

Live With Darkness Where stories live. Discover now