Tamak

11 6 7
                                    

“Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu ...” Aca menjeda ucapannya, giginya menggeletuk saat tatapan matanya berubah.

“Jangan terlalu berharap dengan harta warisan pemberian ayah dan bunda!”

Laila terdiam, tak terkejut sedikit pun saat Aca berucap seperti itu.

“Akan aku pastikan, Paman akan lebih memilih kami dari pada dirimu!”

“Ada apa ini?”
Laila, Aca, dan Bianca langsung mengalihkan pandangan mereka ke pintu. Senyuman langsung mengembang di wajah ketiganya tatkala Mark–paman dari ayah mereka sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang menenteng paper bag.

“Paman!” Ketiganya bangkit, berjalan terburu-buru menghampiri Mark, kemudian memeluknya.

“Kenapa baru datang sekarang, La?” tanya Mark dengan tangan yang mengacak-ngacak rambut denim blue milik Laila, sehingga membuat rambutnya berantakan dan tak tertata dengan rapi.

“Maafkan Laila, Paman. Laila harus memeriksa perusahaan kedai kopi Laila dengan baik agar tak menimbulkan masalah saat Laila berada di sini atau pun kembali nanti,” jawab Laila dengan tersenyum.

“Kenapa kalian hanya berbincang di ruang tamu tanpa ada satu pun sajian di atas meja?” tanya Mark kepada Bianca dan Aca yang mulai terlihat gugup.

“Ta-tadi ... semua pelayan di sini sedang berbelanja untuk keperluan dapur, Paman. Jadi, kami tak bisa menyuruh siapa pun di sini untuk menyiapkan makanan dan minuman saat kami berbincang,” ujar Bianca, memaksakan untuk tersenyum, melirik Aca yang hanya terdiam di sampingnya tanpa mau membantunya untuk menjawab pertanyaan Mark.

“Kalian bisa mengambil apa pun, anggap saja ini seperti rumah kalian sendiri. Laila! Ayo, bantu Paman menyiapkan makanan dan minuman untuk kita mengobrol. Paman ingin kamu membuatkan kopi untuk Paman, sudah lama sekali Paman tak merasakannya. Em, Paman pikir, sejak sebelum kematian kedua orang tua kalian.”

Mark merangkul Laila, menaruh paper bag-nya di meja, meninggalkan Bianca dan Aca yang terus mengeluarkan kata-kata kasar untuk Laila.

“Pak, meja nomor 15 ingin mengganti menu mereka dengan menu yang sudah terjual.”

Farhan mengeram, menyuruh pelayan tersebut meninggalkan ruangannya.

“Sial! Kenapa sesulit ini?” Farhan mengacak rambutnya frustrasi, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
Handphone Farhan berdering, memaksanya untuk berjalan menghampiri meja tempat ia menaruh benda tersebut.

”Hallo! Ada apa?” Farhan mendengarkan dengan malas semua ucapan penelepon.

“Datang saja ke kedai kopiku. Masih banyak yang belum kuselesaikan.”
Embusan napas terdengar, Farhan menyandarkan tubuhnya dengan mata yang terpejam, kerutan di keningnya semakin mendalam tatkala suara ketukan pintu terdengar.

“Kenapa cepat sekali?” Farhan memeluk sayang wanita yang baru saja menutup pintu ruangan.

“Sebenarnya aku telah berada di sini sebelum menghubungimu ...”

“Bagaimana kedai kopimu? Apakah berjalan dengan lancar?” tanya wanita yang saat ini bergelayut manja di lengan Farhan.

“Ya, seperti yang kamu lihat, Darl. Aku saat ini sedang banyak pikiran. Orang itu menyerahkan semua tanggung jawab ini kepadaku.”

“Aku ingin shopping, By. Kamu harus menemaniku berbelanja hari ini.”

“Tidak, Amel, aku tidak bisa. Sekarang Laila mempercayakanku untuk memegang perusahaannya. Tanggung jawab ini sangat besar, aku tak bisa menyepelekannya begitu saja.” Farhan mengusap kepala Amel, mencoba membuat Amel mengerti.

“Tidak, pokoknya hari ini kamu harus menemaniku, By. Kemarin seharian kamu sudah menghabiskan waktu dengan pacarmu itu. Sekarang giliranku.”

“Oke, ayo.” Farhan menarik Amel menuju pintu.

“Em, kamu tunggu di luar saja. Aku meninggalkan sesuatu di dalam,” ucap Farhan, menutup pintu ruangan, mulai mencari sesuatu yang sudah di incarnya sejak lama.

“Akhirnya aku menemukannya. Untung saja kemarin Laila membuka lemari ini saat sedang membereskan berkas. Jika tidak, mungkin aku tak akan bisa menggunakan kartu ini untuk keperluan belanja Amel.”
Farhan tersenyum tipis, segera berlari kecil untuk menemui Amel yang sudah menunggunya.

“Kenapa yang murah? Aku maunya yang mahal, By. Aku tidak suka barang murahan,” ketus Amel di depan sales promotion girl dengan tubuh modis membuat Farhan malu bukan kepalang.

“Baik, baik. Pilihlah apa yang kamu mau, Darl,” ucap Farhan dengan wajah yang memerah.
Farhan dan Amel sudah berada di restoran, Amel terus menerus memaksa Farhan untuk memakai uang perusahaan Laila tanpa memikirkan kerugian yang akan terjadi pada perusahaan kedai kopi Laila.

“Biarkan saja. Lagi pula, Laila sendiri ’kan yang menyerahkan perusahaannya kepadamu, By. Kamu harus mendapat bagian dari keuntungan perusahaan Laila. Kita bisa memakai uang itu sepuasnya tanpa diketahui Laila. Aku yakin, Laila akan sangat lama di Eropa. Kedua kakaknya saja sifatnya sangat tamak. Dia akan kesulitan dalam mengambil bagiannya.”

“Benar juga apa yang kamu katakan, Darl. Kita bisa memakai uang perusahaan Laila. Namun ....”

“Tak perlu ragu, By. Laila tak akan sempat mengontrol perusahaannya dari sana. Dia pasti sangat sibuk. Kita bisa memakai kartu ATM perusahaannya sepuasnya tanpa takut.”

Farhan dan Amel tertawa sinis, melirik satu sama lain, senyum penuh kemenangan terlihat di wajah mereka, ide jahat sudah menguasai diri mereka sejak lama kini saatnya mereka menuntaskannya. Mereka akan memanfaatkan kesempatan yang ada.

Live With Darkness Where stories live. Discover now