"Makasih ya kak," Rifa berterima kasih.

"Lain kali kalau kecapean jangan maksain Fa," saran Arkanza.

Sebelum Rifa merespon ucapan Arkanza, cowok itu sudah lebih dulu bersuara, "Lo boleh jadi orang produktif tapi jangan sampai jadi toxic buat diri lo sendiri."

"Apapun yang mau lo gapai tetep aja yang paling utama itu jaga kesehatan."

Dari raut wajah cowok itu tampaknya dia sangat khawatir dengan kondisi Rifa. Kali ini Rifa hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak bisa melawan ucapan cowok itu pula, Arkanza memang benar. Kemarin dia terlalu mementingkan proposalnya sehingga kesehatannya pun menjadi korban saat ini.

"Kayaknya kita undur aja yah buat sesi wawancaranya besok," Arkanza memutuskan untuk memundurkan jadwal wawancaranya.

Sebetulnya waktu yang Arkanza miliki untuk tugas itu tidak banyak lagi. Setelah wawancara dia juga perlu menyusun makalahnya untuk tugas akhir. Namun melihat kondisi Rifa yang seperti ini membuatnya merasa tidak tega. Tidak mungkin dia memaksa Rifa untuk diwawancara besok jika kondisi dia masih seperti ini. Di sisi lain Arkanza juga tidak mau mengganti narasumbernya.

Rifa langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, "Eh aku gak-papa kok kak, jangan diundur."

"Nyari lagi jadwal yang cocoknya susah loh kak," ungkap Rifa.

"Tapi gue gak mau lihat lo sakit Rifa," jelas Arkanza yang sama-sama keras kepala.

Rifa tersenyum tipis, entah sejak kapan Arkanza jadi se-perhatian ini padanya. Rifa tidak berani berpikiran bahwa Arkanza menyukainya, dia tidak mau terlalu percaya diri. Lagi pula tidak mungkin juga jika Arkanza menyukainya. Meskipun dia disukai banyak kaum adam di sekolah ini bukan berarti Arkanza menyukainya juga kan?

"Kabarin aja kalau lo ada waktu lagi, gue pasti bakal nyempetin," lanjut Arkanza menutup perdebatan mereka kali ini.

"Kaaakk," Rifa berusaha untuk merayu agar Arkanza sedikit luluh mau mendengarkan ucapannya.

"Rifaaa," balas Arkanza dengan tenangnya.

"Aku cuma butuh istirahat aja kok kak malem ini, besoknya pasti udah baikan lagi," Rifa masih berusaha agar Arkanza mau mendengar masukannya.

"Rifa, jangan maksain ya?" Pinta Arkanza sambil mengusap-usap puncak kepala gadis itu.

Tubuh Rifa mematung sejenak. Tidak biasanya dia seakrab ini dengan kakak kelas. Bahkan dengan sahabatnya sendiri pun dia tidak pernah diperlakukan spesial seperti seorang tuan putri. Dia tidak pernah mendapatkan perhatian seperti ini dari siapapun selain Arkanza.

"Gini aja deh, nanti pagi aku kabarin lagi mendingan atau nggaknya," Rifa berusaha untuk membuat kesepakatan dengan cowok itu.

"Ada syaratnya tapi," Arkanza langsung angkat bicara sebelum Rifa kembali bersuara.

"Apa?" Tanya Rifa.

Arkanza menjawab, "Lo harus jujur ngabarin tentang kondisi lo besok gimana."

"Iyaaa siap kak."

Keduanya kembali terdiam menyelami isi pikirannya masing-masing. Arkanza berusaha untuk mengatur detak jantung yang sudah berdebar sejak tadi. Ini pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini. Selama ini dia mengira orang-orang terlalu berlebihan saat jatuh cinta, nyatanya cinta berhasil membuatnya berdebar seperti apa yang dirasakan oleh orang-orang.

Di sisi lain Rifa merasa canggung berduaan seperti ini dengan kakak kelasnya sekaligus ketua OSIS. Masalahnya dia tidak terlalu dekat dengan Arkanza. Saat ini dia hanya bisa berharap semoga saja cowok itu ada kesibukan lain dan segera pergi dari sini. Namun dari gerak-gerik Arkanza, sepertinya cowok itu tidak akan pergi dalam waktu dekat.

Rifaldino (PREQUEL IPA & IPS) [TAMAT]Where stories live. Discover now