Billy

444 16 0
                                    

Hidup sendiri di pulau yang jauh dari jangkauan manusia dan dihuni dengan  binatang buas bukanlah sesuatu yang mudah. Septian cukup beruntung karena memiliki banyak peralatan untuk melindungi diri. Namun, membunuh binatang buas yang dilindungi oleh negara menjadi gejolak tersendiri bagi pria berbadan kekar itu.

Sekali lagi Septian membuka pintu, memberi sedikit cela untuk melihat situasi di luar, sekaligus membiarkan udara masuk untuk melegakan dadanya yang terasa sesak dipenuhi perasaan takut.

Melihat situasi mulai aman, Septian kembali menjinjing tas berisi alat keselamatan salah satunya peluru, sedangkan senjata tajam miliknya terpasang aman di sisi kiri. Ia mulai membuka pintu selebar mungkin, menoleh ke kanan dan ke kiri seraya menodongkan senjata.

Perlahan tapi pasti kaki Septian mulai menapaki anak tangga, bergerak tanpa menimbulkan suara yang bisa saja memancing datangnya binatang buas lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu berlari menuju pantai kemudian menaiki speedboat dan memberikan informasi melalui interkom kepada atasnya.

Septian mulai bersemangat setelah memikirkan rencana selanjutnya, kembali ia melangkah menuju pantai yang berjarak satu kilometer dari posisinya saat itu. Melihat situasi aman ia mempercepat langkah, setengah berlari seraya memegang senjata untuk tetap siaga.

Setelah sepuluh menit berlari, akhirnya ia sampai di pantai, tetapi betapa terkejutnya saat mendapati speedboat berwarna silver kombinasi hitam itu tidak ada lagi di tempatnya. Melihat situasi di sekitar, Septian dapat menyimpulkan jika semalam terjadi badai yang mungkin saja menghanyutkan satu-satunya alat transportasi yang ia miliki.

Untung saja semua peralatan dan kebutuhan mereka telah diturunkan saat mereka tiba kemarin dan meletakkan di dalam rumah yang mereka tempati semalam. Merasa tidak ada yang bisa dilakukan, Septian kembali ke rumah itu lagi, melangkah dengan kena tak bersemangat.

“Apa yang sekarang harus aku lakukan? Bertahan di pulau ini sama saja aku tengah bertaruh nyawa,” ucapnya sambil melangkah melewati jalanan yang ia lewati sebelumnya.

“Kalau seandainya di sini ada jaringan pasti sejak kemarin aku menghubungi semua orang, nyatanya di sini jangankan jaringan internet, sinyal pun tidak ada,” tutur Septian lagi.

Sebelum tiba di rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di hutan, ia melihat beberapa primata di atas pohon sedang menikmati buah-buahan yang terlihat segar. Hal itu membuat Septian ingin merasakannya.

Menurut ilmu survival yang pernah Septian pelajari, jika buah-buahan di hutan dimakan oleh binatang, itu artinya buah tersebut aman untuk manusia konsumsi. Hanya saja, mungkin rasanya yang tidak sesuai selera manusia.

Buah bentuknya bulat agak lonjong dengan kulit yang berwarna hijau, merah, abu kehitaman. Jika diperhatikan dengan teliti, buah tersebut seperti buah matoa. Buah khas dari tanah Papua itu ternyata juga memiliki manfaat untuk melawan bakteri berbahaya hingga menurunkan tensi darah.

Setelah hewan primata itu pergi, Septian mendekati pohon tersebut, mengambil satu buah yang terjatuh dari atas pohon, setelah mencicipi rasanya, benar saja, buah itu adalah buah matoa. Tanpa berpikir panjang, Septian memetik beberapa renteng dan membawanya pulang.

Langkahnya cepat menyusuri jalan, tidak jauh dari rumah, ia melihat buah blackberry tumbuh liar di semak-semak, segera ia memetik buah secukupnya untuk persediaan selama berdiam diri di dalam rumah, kembali ia menyimpan di tas yang tersampir di paha.

Saat melangkahkan kakinya menuju ke rumah yang tinggal 100 meter tiba-tiba seekor singa menghalangi langkah Septian, ia segera menodongkan senjata laras panjang sebagai alat pertahanan diri.

“Jangan melukaiku, jika tidak ingin aku bunuh! Aku tidak menganggu, aku hanya tersesat,” ucap Septian yang entah singa itu paham atau tidak.

“Pergi ... Get out of here .... Aku tidak aja melukaimu jika kau pergi,” Septian terus merapalkan ucapan itu, tetapi singa tersebut justru marah dan mulai mendekat, tepat saat singa hendak menerjang tubuh Septian itulah ia dengan terpaksa melepaskan dua tembakan dan mengenai dada dan kepala singa tersebut. Segera ia berlari menuju ke rumah sebelum kawanan singa yang lainnya datang.

***

Sejak Billy pindah ke kota, ia memutuskan menjadi nelayan setelah beberapa lamaran pekerjaan dirinya ditolak. Memiliki pengalaman sebagai nelayan di tempat sebelumnya menjadi bekal tersendiri bagi seorang anak yang pekerjaan orangtuanya sebagai nelayan.

Pengalaman itulah yang menghantarkan ia menjadi nalayan lagi, tidak sulit baginya untuk ikut bergabung bersama beebrpaa pekerja nelayan lainnya, sikapnya yang ramah dan tanggung jawab kebut ia disenangi olah rekan sesama nelayan.

Sampai akhinya Billy ikut berlayar saat cuaca sedang buruk, akibatnya kapal mereka mengalami kerusakan mesin karena tidak bisa menaklukkan gelombang, beruntung kapal mereka tidak tenggelam.

Terbawa arus hingga ratusan kilometer dan membawanya hingga ke sebuah pulau membuat mereka bersyukur, setidaknya tidak mati ditelan ombak laut. Namun, hal itu justru Menghantarkan mereka pada masalah yang lebih rumit.

“Kata kakekku di pulau ini ada gua yang dipenuhi harta karun,” ucap Arman, salah satu teman Billy saat mereka sedang berbaring di dalam rumah menunggu pagi datang.

“Kamu belum tidur tapi sudah mimpi,” sahut Ucup asal membuat yang lain tertawa.

“Sebaiknya kita tidur besok kita pulang, toh mesin juga kita perbaiki, aku mulai gak betah di sini.” Anton berujar sebelum akhirnya terlelap.

“Nah, gimana sih, katanya mau di sini dulu. Kalau tau begini aku gak bantuin bikin rumah, capek tau. Masa’ rumah baru dibangun seminggu udah mau ditinggal,” sungut Arman.

“Ya sudah, kalau kamu masih mau tinggal di sini, gak masalah. Tapi kami pulang duluan,” ucap Ucup.

“Gak setia kawan itu namanya,” jawab Arman mulai kesal.

“Tempat harta karun dimana-mana pasti ada penunggunya, gak mungkin dibiarkan begitu saja. Apalagi ini pulau yang gak berpenghuni, lebih baik kita balik aja lah, cari aman. Walaupun sebenarnya tempat ini sangat nyaman karena banyak makanan, tapi mendengar suara binatang buas cukup menakutkan, bisa-bisa malah kita yang dijadikan makanan,” ujar Tris memberi saran.

“Aku sih ngikut aja,” imbuh Billy yang sejak tadi hanya menyimak obrolan mereka.

“Kalau kita dapat harta karun itu, trus kita bawa pulang, pasti kita jadi kaya raya, gak perlu kerja lagi.” Anton mulai meracuni pikiran teman-temannya sebelum akhirnya mereka setuju untuk mencoba mencari gua tersebut.

Hal itulah yang membuat mereka tetap bertahan di hutan itu sampai akhirnya satu per satu tewas, tinggal Billy yang masih hidup dan berjuang untuk bisa pulang dan berkumpul bersama keluarganya. Namun, semua sangat tidak adil ketika ia harus dihakimi, dituduh sebagai pembunuh sekaligus pencuri, bahkan nyaris dipenjara jika saja seorang polisi bernama Septian tidak membantunya. Padahal semua ide untuk tetap tinggal di sana adalah ide para korban, sedangkan Billy hanya mengikuti kemauan teman-temannya. 

Billy mengatakan semua secara detail peristiwa yang mereka alami di pulau tersebut kepada Septian, sehingga polisi muda itu percaya padanya. Bahkan Septian juga yang membantu mencari bukti agar ia dibebaskan dari tuntutan.

Bersambung...

The Giant Snake (END) Where stories live. Discover now