02

40 6 0
                                    

Aku tau, itu semua memanglah bukan akhir dari pertemuan ku dengan nya. Dia yang kini menjadi sarang rindu terhebat ku. Dia adalah alasan aku tumbuh menjadi seperti sekarang. Dia adalah seseorang yang selalu menemani ku juga memberikan aku banyak pelajaran untuk menjadi dewasa.

Namanya Dirgantara atau lengkapnya, Dirgantara Mahendra. Anak kelas 12 Ips 3 yang terkenal akan ketampanan juga kenakalan nya.

Kak Dirga, begitulah para adik-adik kelas memanggilnya. Dia memang bukan anak geng motor seperti kebanyakan murid-murid lelaki yang ada di sekolah ku.

Tapi dia, bisa sewaktu-waktu berubah menyeramkan dibandingkan anak geng motor. Dia tidak suka ketenangan nya diusik. Terlebih lagi dengan para bocah udik yang sok jagoan.

Kak Dirga sangat pandai bermain basket. Pandai juga membuat hati para wanita meleleh ketika melihat dia memasukkan bola kedalam ring dari jarak yang cukup jauh.

Dirgantara Mahendra, bersinar dengan caranya sendiri. Tanpa perlu mengenalkan diri, dia sudah pasti dikenal. Tanpa perlu menjadi anggota geng motor, dia pasti akan ditakuti.

Aku sama sekali tidak tertarik dengan kehidupannya, itu adalah ucapanku pada dua minggu yang lalu.

Dan kini, semuanya berubah.

***

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit, akhirnya motor yang membawa ku juga Dirgantara berhenti di depan gerbang sekolah yang sudah terlihat sepi. Sepertinya upacara sudah selesai dan aku semakin gusar karena nya.

Sebentar lagi pasti bel akan berbunyi. Bu Eva bagai bayangan masa lalu yang selalu mengejar ku.

"Gerbangnya enggak akan dibuka sama Pak Sapto. Lo mau gue kasih tau jalan pintas biar bisa masuk kedalam?" ujar Dirgantara.

Meskipun ragu, aku pun menerimanya.

Mesin motor kembali dinyalakan lalu Dirgantara membawanya kebelakang sekolah.

Aku turun dari atas motor lalu menatap Dirgantara bingung.

"Kenapa kita kesini? Katanya mau ke jalan pintas? Eh kamu kalau macam-macam, aku bisa teriak loh, ya!"

"Enggak ada yang mau macam-macam, Handini," Dirgantara terkekeh. "Jalan pintasnya ya ini. Kamu bisa manjat kan? Tembok ini enggak terlalu tinggi juga. Aku yakin kalau kamu bisa," lanjut nya memberi tahu.

Sejenak aku terpaku akan kalimat akhir yang diucapkan olehnya. Juga senyum manis yang seolah-olah berbicara bahwa aku tidak perlu ragu karena aku memang bisa melakukan nya. Aku menarik lengkungan senyum ku, lalu mengangguk menyetujui.

Aku berjalan mendekati tembok, lalu kembali menoleh kearah Dirgantara.

"Kamu kok enggak turun? Enggak mau masuk juga?" Aku tau pertanyaan ku adalah pertanyaan paling konyol yang pernah ada. Tanpa harus ditanya pun seharusnya aku tahu bahwa seorang Dirgantara tidak akan masuk secepat ini meskipun dia terlambat.

"Masuk. Tapi enggak sekarang. Gue masih ada urusan yang belum gue selesai," jawab nya.

"Terus kenapa masih disini kalau begitu?"

"Mastiin lo masuk dengan aman."

Lagi, aku terdiam.

"Udah sana masuk! Keburu Bu Eva masuk kelas nanti," ucapnya lagi menarik kesadaran ku kembali.

Aku mengangguk kaku. "Jangan ngintip!"

Dia pun menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan nya. Aku terkekeh. Ternyata dia tidak seburuk apa yang ada di fikiran ku.

Aku mulai melompat, lalu berusaha naik keatas dengan ujung tembok sebagai penyangga. Setelah berada di atas dengan sempurna, aku membenarkan tata letak rok ku.

"Dirgantara!" aku berseru meneriakkan namanya.

Dia menurunkan kedua tangan nya dari wajahnya. Lalu tersenyum menatap diri ku yang sudah berhasil menaiki tembok itu.

"Biar gue tebak kalau kita bakal ketemu di tiang bendera karena lo yang ketahuan datang terlambat."

"Dan biar aku tebak kalau tebakan kamu barusan adalah sebuah kesalahan."

***

BUTTERFLYWhere stories live. Discover now