Hukuman

10.8K 660 137
                                    

Menyadari Kinan kembali membisu sepanjang perjalanan pulang, Narendra menggaruk alis bingung sebelum akhirnya memecah hening. "Kamu nggak suka, ya, keluar sama aku?"

"Ah?" Kinan yang sedari tadi entah melamunkan apa, menurunkan jempol yang tanpa sadar sudah ia gigit gelisah dan menoleh Narendra gelagapan.

"Kamu banyak melamun seperti nggak menikmati kebersamaan kita."

"Ah, soal itu...." Kinan menjeda sejenak memikirkan kata yang tepat untuk diungkapkan agar tidak menyinggung Narendra. "Aku bener-bener minta maaf. Tapi bukan gitu maksudku. Aku bukannya nggak suka. Hanya saja, aku agak sedikit capek karena beberapa hari kemarin kurang tidur."

"Um, jadi masalahnya karena aku nggak peka, ya? Harusnya aku menyadari itu sejak pertama kali datang ke tempat kamu tadi. Kukira, kamu pucat karena kurang asupan sinar matahari dan butuh refreshing."

"Biasanya aku cuma butuh tidur seharian untuk mengobati semua capaiku. Aku nggak gitu suka keluar rumah kalau nggak ada urusan penting." Kinan tersenyum lebar seakan lega bisa berkata jujur.

Sayangnya, hanya sekejap saja rasa itu mampu mengukirkan senyum di wajahnya yang memang memiliki kulit sedikit lebih cerah dibandingkan kebanyakan kulit pribumi—hingga label pucat sering kali disandangkan kepadanya. Sebab sedetik kemudian Kinan teringat, untuk saat ini pun tidur tidak akan lagi bisa menjadi pelarian dari penatnya menjalani kehidupan sebagai mahasiswi semester akhir. Lantaran Satya akan selalu menunggunya di sisi dunia yang lain dan menuntut 'jatah' darinya.

"Lain kali, aku akan menghubungi kamu dulu sebelum datang ke sini." Narendra tersenyum hangat setelah sampai di depan pintu apartemen Kinan. Lalu, dengan santai dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyerahkannya pada Kinan yang masih plonga-plongo.

"Untuk bisa menghubungi kamu, aku butuh nomor ponsel kamu." Senyum Narendra semakin lebar. Hingga menulari Kinan yang akhirnya menerima ponsel itu salah tingkah.

Kenapa aku bisa bloon mendadak gini, sih?"Maaf. Aku lupa kalau kita belum saling menyimpan nomor satu sama lain."

"Akulah yang harusnya minta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat kamu. Setelah ini kamu bisa melanjutkan tidur yang tadi sudah kuganggu."

Kinan tak menjawab, hanya tersenyum dan mengembalikan ponsel Narendra setelah mengetikkan nomornya di sana, kemudian mengangguk dan masuk ke dalam rumah tanpa perlu repot basa-basi mempersilakan Narendra masuk dulu.

Tepat setelah pintu rumahnya itu tertutup, Kinan yang benar-benar mulai linglung karena ngantuk, baru sadar kalau belum berterima kasih karena sudah ditraktir sarapan, buru-buru kembali membuka pintu dan memanggil Narendra yang sudah berjalan beberapa langkah dari sana.

"Kak Ren!"

Narendra berhenti dan menoleh dengan tatapan penuh tanya.

"Aku tadi belum berterima kasih karena sudah ditraktir. Lain kali, ganti aku yang akan traktir Kakak!"

Narendra hanya mengangguk sepintas dengan senyum dewasa yang senantiasa merekah di wajah cool-nya dan kembali melanjutkan perjalanan.

Setelah Narendra masuk ke dalam lift, Kinan pun kembali ke dalam rumah dengan terhuyung-huyung serupa orang yang sedang mabuk berat. Padahal ini masih pukul sebelas siang. Semenjak mendapati mimpi aneh dan bertemu Satya, bagaimana cara Kinan mengantuk tak lagi pernah senormal dulu. Rasa kantuk yang sekarang ia rasa berkali-kali lipat dari sekadar kantuk biasa. Serupa orang yang baru saja menelan sebotol obat tidur, atau barangkali baru selesai mendapatkan suntikan bius total. Sehingga begitu sampai di kamar, Kinan langsung jatuh terkulai di kasur dan tak sadarkan diri.

Tak perlu menunggu lama, tahu-tahu ia sudah kembali terbangun di dunia Satya. Tubuh Kinan tersaruk mundur saat mendapati sosok misterius itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya dengan bertelanjang dada dan tengah menatapnya dingin penuh ancaman.

"Baru kuberi sedikit kebebasan, kamu sudah berani berulah." Satya melangkah mendekat.

Memaksa Kinan terus mundur sampai akhirnya tubuhnya menabrak tiang ranjang dan mau tak mau berhenti di tempat.

"Harusnya kamu langsung mendorongnya mundur saat kuberi peringatan seperti tadi. Tapi apa yang kudengar barusan? Lain kali kamu ganti ingin mentraktirnya? Apa aku saja tidak cukup untuk kamu?"

Dalam sekali sentakan, tubuh Kinan sudah terperangkap ke dalam pelukan posesif Satya. Mati-matian Kinan berusaha memberontak, namun tampaknya itu bukan sesuatu yang Satya sukai, sebab sosok itu kemudian langsung mengoyak pakaian Kinan hingga tercabik menjadi beberapa bagian dan menghamburkannya ke lantai.

Pemandangan mengerikan itu sontak mengingatkan Kinan pada pakaiannya yang rusak setelah dirinya masuk ke danau. Dan di hari itu, Satya juga mengatakan kalau penunggu danau tidak menyukai kehadirannya dan teman-temannya di sana. Apakah itu berarti...?

"Danau itu bagian dari wilayah kekuasaanku." Satya mendesis seolah paham ke mana pikiran Kinan sekarang melayang. "Ya. Akulah yang menarik dan mengoyak pakaianmu saat itu." Dan pengakuan terus terang itu akhirnya terdengar juga dari mulutnya.

Air mata Kinan mulai menggenangi pelupuk. Ia ketakutan, tetapi kedua tangannya hanya bisa mencengkeram erat bahu Satya yang masih memenjarakannya.

"Aku tidak berencana membunuhmu." Satya menempelkan mulutnya ke telinga Kinan dan menyentuh kulit gadis ketakutan itu dengan lidahnya yang kini berubah bercabang dan berwarna hitam serupa lidah ular. Membuat isakan lirih akhirnya pecah dari mulut Kinan.

"Aku hanya ingin kamu menjadi istriku, melayaniku, dan hanya mencintaiku saja. Apa itu terlalu sulit buatmu?"

Isakan Kinan semakin menjadi. Tak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya meskipun otak dan hatinya ingin meledak. Bahkan ketika akhirnya Satya mengangkat tubuhnya dan membaringkannya ke tempat tidur, Kinan masih tetap tak mampu bereaksi selain menangis dan meratap.

"Aku akan menghukummu karena hari ini sudah berani keluar dengan lelaki lain." Satya menurunkan celananya dengan cepat dan kembali menguasai tubuh mungil Kinan yang menggigil di bawahnya. "Kamu tidak akan bisa keluar dari kamarku sebelum mengandung anakku."

"Aku nggak mau!" Kinan berusaha menggapai seprai di sekitarnya sambil berharap dirinya bisa meloloskan diri dari belenggu menyesakkan Satya. "Tolong, maafin aku. Aku nggak akan lagi nemuin Kak Rendra. Jangan hamili aku—atau apa pun itu. Aku belum menikah di duniaku. Orang tuaku dan orang-orang di sekitarku pasti akan nganggap aku cewek bejat kalau hamil tanpa suami. Tolong, jangan hancurkan masa depanku. Aku nggak akan lagi nemuin Kak Rendra!"

"Tapi aku suami kamu. Berapa kali harus kutegaskan kalau kamu sudah menjadi milikku sejak mengenakan gaun pemberianku itu?" Satya tersenyum dengan cukup ironi di saat ratapan Kinan begitu memilukan di bawah kungkungannya. "Lagi pula, yang direnggut ayahmu bukan hanya istri, tetapi juga calon buah hatiku. Saat aku berkata padanya akan mengambilmu, maka itu berarti aku harus mendapatkan kembali semua yang sudah dia ambil dariku sebelumnya. Aku tidak hanya menginginkan kamu, tetapi juga menginginkan anak darimu, Kinan. Lahirkan banyak anak untukku."

Kinan memekik tertahan saat merasakan tubuhnya tanpa peringatan kemudian kembali dibobol secara paksa. Walau bersikeras meyakinkan hati bahwa semua ini hanya sebuah mimpi buruk yang kembali berulang, Kinan tak bisa mengingkari aneka rasa yang perlahan mulai menginvasi fisiknya adalah nyata. Mentalnya dipelintir dan dipaksa menerima semua ini sebagai realita alih-alih sekadar mimpi. Kinan pun akhirnya sadar, semua tragedi buruk yang menimpanya adalah sebuah mutlak yang tidak masuk akal.

*

Cinta Raja Naga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang