Kembali Ke Sana

9.7K 615 78
                                    

Kinan kembali berada di kamar pria asing itu lagi saat terbangun. Ia terhenyak duduk. Di atas ranjang terkutuk yang sudah memberinya mimpi buruk di malam lalu. Demi memastikan kejadian itu tidak sedang kembali terulang, hal pertama yang diperiksa Kinan adalah pakaiannya. Ya, awalnya ia begitu lega saat semua masih dirasa melekat lengkap di tubuhnya. Namun tak bertahan lama, semua itu terkikis saat menyadari yang dikenakannya kini adalah gaun putih sialan itu lagi. Gaun yang mati-matian ingin ia singkirkan namun selalu kembali padanya bahkan kini juga melekat di tubuhnya.

Kinan menjerit. Menoleh ke samping gelagapan dan menjadi lebih histeris manakala netranya menemukan sepasang kaki pucat yang terbalut celana bahan familier berselonjor tepat di sisinya. Semua seperti yang Kinan khawatirkan kendati mereka tidak dalam situasi sedang bercinta.

Pria asing bermata hijau itu kini tengah duduk menyandar pada kepala ranjang, memandanginya dengan tatap yang tak bisa Kinan terjemahkan. Satu hal pasti, Kinan sama sekali tidak bisa bergerak ketika mencoba turun dan kabur dari atas ranjang sialan itu.

"Tolong, jangan sakiti aku! Aku ingin pulang, biarkan aku pulang!" Kinan meratap panik karena tak juga kunjung bisa menjauh dari sana.

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu saat bertemu suami sendiri?"

Tubuh Kinan bergetar mendengar suara yang dalam dan berat itu menyambangi telinganya. Pria itu tidak bergerak, hanya mengajukan tanya bernada datar yang entah mengapa tetap saja memiliki efek menakuti bagi Kinan.

"Mendekatlah. Ini saatnya kamu melayaniku."

Kinan mencengkeram seprai erat-erat sambil menggeleng. Berontak pun serasa percuma. Alih-alih bisa turun dan kabur, tubuhnya justru tertarik mundur kian mendekat pada si lelaki—yang entah sudah melakukan sihir apa kepadanya sampai bisa jadi begini.

Satya langsung merengkuh tubuh Kinan begitu gadis itu tiba di sisinya. Menarik Kinan duduk di atas pangkuannya seolah sedang memindahkan bantal yang begitu ringan. Satya tersenyum memperlihatkan gigi taringnya sementara Kinan justru mulai menangis lirih saat dengan perlahan Satya mulai mengecup keningnya yang tertutup poni. Kinan tenggelam di antara perasaan kesal dan ketakutan lantaran tubuhnya tiba-tiba saja seperti kehilangan seluruh tenaganya dan cuma bisa pasrah atas semua perlakuan pria asing yang lantas mendekapnya ke dalam pelukan itu.

"Tolong, jangan sakiti aku. Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu melakukan semua ini padaku?"

"Aku Satya. Bisa dibilang, aku adalah sosok yang membuat ayahmu menjadi setengah gila seperti sekarang." Sambil bertutur, Kinan bisa merasakan tangan Satya bergerak di punggungnya untuk menurunkan retsleting gaun yang ia kenakan. Tak pelak, hal itu pun membuat tangis Kinan semakin dalam. "Jangan menangis. Lakukanlah seperti semalam. Bukankah kemarin kamu sangat menikmatinya?"

Kinan menggeleng. Meremas bagian pundak kemeja hitam Satya yang berusaha kembali menelanjanginya. "Kalau kamu punya dendam sama papaku, kenapa harus melakukan ini sama aku? Aku nggak tahu apa-apa. Tolong, jangan perlakukan aku seperti ini. Aku bukan pelacur."

"Aku melakukan semua ini untuk menghukum ayahmu." Satya dengan satu kali gerakan, merenggut gaun itu dari tubuh Kinan dan merebahkannya untuk kemudian Satya tindih posesif. "Tidak ada cara lain yang bisa membuatnya lebih menderita dari pada mengambilmu dari sisinya."

"Jadi semenjak awal, kamu yang menarik kakiku saat di danau?"

"Jika menurutmu begitu, maka pasti memang seperti itu kejadiannya." Satya beranjak duduk sebentar guna melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya sendiri. "Sekarang, sudah cukup basa-basinya. Aku akan menikmatimu dari kepala sampai kaki. Jadi, kamu harus menjadi istri yang baik sebagaimana yang bisa Tatya lakukan sebelum ayahmu dan teman-temannya itu merenggutnya dari sisiku. Ini baru permulaan, Kinan."

Kinan tergeragap. Mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan dirinya bahwa kini ia benar-benar terbangun di tempat yang semestinya—dunianya. Suasananya terang benderang. Kinan menghela napas lega karena sudah berada di kamar apartemennya. Walau kini ia terbaring di atas ranjang dengan tubuh polos terbalut selimut dan kenangan yang melekat kuat tentang apa yang baru saja dialaminya. Setidaknya, tak ada lagi sosok gila bernama Satya.

Kinan merenung dan tercenung selama beberapa saat. Bertanya-tanya kalaupun semua kejadian tadi cuma mimpi, sampai detik ini, mengapa ia masih bisa merasakan sisa kenikmatan yang baru saja direguknya berkali-kali?

Seluruh pakaian yang Kinan pakai sebelum pingsan tadi terserak berantakan di bawah ranjang. Pintu lemarinya masih terbuka lebar, menampakkan gaun putih yang menggantung rapi di tempat terakhir Kinan tadi melihatnya sebelum akhirnya jatuh pingsan dan kembali memimpikan hal kotor itu lagi. Semua masih rancu dan tumpang tindih di kepala Kinan, tetapi gadis itu bersikeras turun dari tempat tidur hanya dengan melilitkan selimut dan mengambil gaun sialan itu dari lemari. Kinan melemparkannya ke lantai. Mengambil gunting dan mengoyak semua bagian gaunnya hingga menjadi kain perca. Lalu memasukkannya ke dalam kantung plastik dan menyimpulnya rapat. Setelah membersihkan diri dengan mandi, Kinan kembali ke tempat tidur dan bermaksud untuk mengganti seprainya yang kotor oleh banyaknya lender asing dan tak biasa. Saat menyadari bahwa sebagian kotoran itu bukanlah miliknya, Kinan mendadak terpikir untuk mengambil sampel dan memasukkannya ke dalam botol bekas produk kosmetiknya yang sudah tidak lagi terpakai.

Pagi-pagi sekali, setelah memastikan pelayannya tak mendengar jeritan histerisnya semalam, Kinan pamit untuk berangkat ke kampus. Di tengah perjalanannya, Kinan berbelok terlebih dulu ke laboratorium umum untuk memeriksakan sampel lendir yang ia bawa. Kemudian menunggu di sana dengan tidak sabar sampai hasilnya keluar. Setelah hampir lelah karena terus mondar-mandir, akhirnya salah satu pegawai laboratorium keluar menemuinya dan menyampaikan berita yang sangat ditunggu.

"Ini hampir serupa dengan sperma ular. Kami tidak bisa mendifinisikan secara pasti karena belum pernah menemukan sampel seperti ini sebelumnya."

Kalimat yang kesannya biasa-biasa saja saat diucapkan, tetapi memiliki makna serupa bom nuklir yang meledak bagi Kinan yang mendengarnya. "S-sperma ular? An-anda yakin?" Kinan memeriksa hasil cetak data yang diserahkan padanya dengan kedua tangan gemetaran.

"Ya. Sampel itu paling mirip dengan sperma ular, tapi kami juga tidak begitu yakin karena ini sampel sperma aneh pertama yang pernah kami uji. Semua sudah tertulis di sana. Saya permisi."

Kinan jatuh terduduk di kursi tunggu selepas kepergian sang pegawai. Berulang kali ia membaca hasil rekam mikroskopis di tangannya itu, sementara otaknya terus berputar mengingat setiap detail kejadian semalam. Kinan masih sangat yakin kalau semua itu cuma mimpi walau semua rasa yang didapatnya sangatlah nyata. Dan teori itu terbukti saat sosok Satya tak pernah ada ketika dirinya terbangun.

Namun sperma yang mirip sperma ular? Kinan bahkan tak pernah lagi melihat keberadaan ular selain di kebun binatang yang ia kunjungi semasa SD dulu. Di apartemennya sekarang pun, memikirkan ada ular di sana sudah seumpama membayangkan manusia bisa hidup di Mars tanpa menggunakan baju astronaut. Mustahil.

Keluar dari gedung laboratorium itu, Kinan kembali bermobil dengan jiwa yang masih terguncang. Sesekali kepalanya menoleh ke arah sisi kiri jalan. Dan mengincar keberadaan sungai besar yang letaknya searah perjalanan ke kampusnya. Begitu lalu lintas sepi, Kinan tak mau repot memikirkan banyak hal,  nekat kembali berhenti untuk sejenak dan membuang kain perca dari gaun misterius yang sudah dicacahnya ke bantaran sungai sambil sesekali celingukan. Memastikan sekali lagi tak ada satlantas atau satpol PP di sekitar sana yang sedang berpatroli dan memergokinya sebagai salah satu tersangka pembuang sampah sembarangan.

Kinan buru-buru kabur setelah misinya selesai. Tetapi bukan kampus, Kinan masuk apotek dan memborong aneka multivitamin, dan memesan beberapa jenis kopi sekaligus di kafe dekat kampus demi menjaga supaya bisa tetap terjaga sepanjang hari bahkan malam.

"Pokoknya, aku nggak boleh tidur. Sama sekali nggak boleh!" Kinan menyemangati dirinya sendiri sambil meremas gelas terakhirnya seakan ia bisa memecahkannya bila menekan sedikit lebih kuat lagi.

Akan tetapi, setelah semua usaha yang sudah dilakukannya itu, Kinan justru kemudian kembali terkulai tak sadarkan diri dan menelungkupi meja kafe.

*

Cinta Raja Naga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang