Prolog

25.6K 907 30
                                    

Johan terperosok ke jurang yang landai dan terguling-guling hingga sampai di bibir sungai yang mengalirkan arus deras. Lebatnya hujan yang turun senja ini meredam erang kesakitannya yang memilukan.

Hari yang telah mulai gelap dan sepi di dalam hutan menjadi kian mencekam lantaran sambaran petir menggelegar saling bersahutan di atas kepalanya.

Johan kebingungan dan ketakutan, tak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba berada di tengah hutan begini ketika tadi ia sangat yakin kalau sedang masuk ke toilet sebuah restoran tempatnya hendak makan malam dan berpesta bersama teman-temannya.

"Tolong, ampuni aku. Aku hanya manusia yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluargaku. Tolong, jangan bunuh aku." Johan merayap mengabaikan rasa sakit di kakinya demi bisa menjauhi sosok berjubah hitam yang terus memburunya semenjak ia tiba di hutan terkutuk ini.

Sosok itu tak berbicara sama sekali, hanya melempar tubuh Johan ke sana kemari dengan sebuah jentikan jari tangannya seolah ia sengaja ingin bermain-main dulu sebelum nantinya benar-benar membunuhnya. Namun, Johan belum mau mati. Demi apa pun, lelaki akhir dua puluhan itu tidak ingin meninggalkan istrinya yang sebulan lagi akan melahirkan bayi pertama mereka. Bayi yang diketahui dari hasil tes medis merupakan seorang perempuan.

"Manusia yang menghalalkan segala cara demi bisa memenuhi keserakahannya, tidak pantas menerima pengampungan dari siapa pun." Sosok berjubah hitam itu akhirnya bersuara.

Johan mengenalinya sebagai suara seorang pria, yang kalau saja dia manusia, Johan menafsirkan pasti usia mereka sebaya. Sosok itu kembali mendekati Johan perlahan. Cahaya biru terang yang serupa dengan kilatan warna petir malam ini terpancar kuat dari tangan kanannya yang putih pucat.

"Tapi aku sudah berjanji pada istriku. Tolong, jangan bunuh aku!" Johan mulai terisak memalukan. Tangisan itu sama sekali tidak cocok dengan dirinya yang di hari normal terkenal bengis dan tanpa ampun. Serta gemar menyiksa binatang.

Akan tetapi, itu tetap berhasil menahan langkah sosok berjubah hitam. Mendengar kata istri disebutkan dengan tidak berdaya oleh Johan membuat si jubah hitam teringat kembali akan istrinya—yang telah beratus tahun menemaninya dan beberapa hari lalu baru saja meninggalkannya untuk selamanya berkat kelancangan Johan dan kawan-kawan penyamunnya.

"Dia akan melahirkan satu bulan lagi," ratap Johan menyedihkan di tengah tangis yang mulai tergugu. "Itu akan jadi anak pertama kami. Kami sudah lama menantikan kehadirannya ke dunia ini. Kumohon, beri aku kesempatan untuk melihatnya sekali saja. Aku ingin melihat wajah putriku sebelum mati."

"Apa sungguh sebesar itu cinta yang kamu miliki kepada putrimu?"

"Ya!" Johan mengangguk-angguk keras dan frustrasi. "Aku sangat menantikannya dan segala hal yang sudah kulakukan selama ini, semua tidak lain demi dirinya. Aku akan melakukan apa pun demi putriku bisa lahir dan tumbuh besar tanpa kekurangan apa pun. Kumohon, tolong lepaskan aku. Siapapun dirimu, tolong biarkan aku kembali pada keluargaku."

Alih-alih tersentuh, seringai miring kini justru terkembang di balik tudung si jubah hitam. "Sepertinya ... sekarang aku memiliki ide lebih bagus daripada membunuh manusia menjijikkan sepertimu."

Cahaya biru di tangan si jubah hitam meredup sebelum akhirnya padam. Suasana seketika menjadi gelap gulita. Namun Johan sadar, dalam sekali kedipan mata, sosok berjubah itu sudah berpindah tempat ke hadapannya yang belum juga mampu bangkit setelah terjatuh tadi. Sosok itu lantas berjongkok dan meraih rahang serta meremas wajah Johan dengan satu tangannya yang sedingin bongkahan es dan memiliki kuku tajam juga runcing.

Karena besarnya energi berbahaya yang dimiliki oleh si jubah hitam ini, meskipun tidak mampu melihat apa atau siapa sosok yang sebenarnya berada di balik tudung itu, Johan tetap bisa merasakan bahwa kemurkaannya sangat nyata. Johan bisa merasakan geliginya saling menggeliat di dalam mulutnya akibat cengkeraman pada wajah yang diberikan sosok mengerikan itu.

"Besarkan putrimu dengan baik. Berikan segala kemewahan yang kamu dapat dari hasil kejahatanmu selama ini untuk memberinya kebahagiaan. Karena kelak setelah usianya dua puluh satu tahun, aku akan mengambilnya sebagaimana kamu membuatku berpisah selamanya dari istriku. Anakmu tersayang itu, harus membayar kejahatan yang sudah kamu lakukan."

"Tidak!" Johan berteriak kian frustrasi. Berusaha menggapai apa saja dari sosok berjubah di depannya itu, namun tangannya hanya mampu menangkap udara kosong bercampur tetesan hujan. Johan menggila karena sosok berjubah itu tak bisa disentuhnya kendati wujudnya sangat nyata dalam kegelapan.

"Kamu tidak boleh melakukannya! Tolong, jangan libatkan putriku. Bunuh saja aku sekarang dari pada kamu sentuh putriku. Kamu tidak bisa melakukannya, jangan sakiti dia, dasar iblis! Kumohon, jangan pernah kamu berani menyentuhnya!"

"Kamu sebut diriku iblis, namun memohon belas kasih di saat yang sama?" tawa sosok berjubah itu seketika membahana membelah derasnya hujan.

Nada sinis dan sarat akan ancaman masih setia mengiringi setiap pergerakan yang dilakukannya. Serupa malaikat maut yang siap untuk segera menjalankan tugas mengambil nyawa para pendosa.

"Ketika kamu dan teman-teman berengsekmu itu dengan lancang memasuki hutan dan membuat kegaduhan dengan dentuman senjata yang kalian gunakan untuk membunuh binatang-binatang yang kami jaga selama ini. Apakah kamu pikir, itu juga tidak menyakiti kami?"

Johan membisu mengingat apa saja yang sudah pernah dilakukannya setiap kali memasuki hutan bersama rekan dan kawanan anjing pemburu peliharaannya.

"Kamu pisahkan induk harimau dengan anak-anaknya demi bulu yang mereka miliki. Kamu pisahkan orangutan dari anak-anaknya agar bisa kamu jual ke pasar gelap. Dan ada masih banyak makhluk terluka, termasuk diriku karena ulahmu dan teman-teman iblismu itu! Apa kamu masih pikir jika dirimu lebih baik dari makhluk sepertiku?"

"Aku bersalah. Baiklah, aku mengaku salah!" Johan berteriak susah payah. Tidak mudah baginya untuk membuka mulut dalam keadaan wajahnya dicengkeram hebat oleh makhluk itu.

"Sayangnya, penyesalanmu tidak akan mampu mengembalikan keadaan seperti semula." Sosok berjubah hitam melepaskan cengkeramannya dan kembali berdiri.

"Demi melindungi makhluk-makhluk tidak berdaya itu, Tatya, istriku yang selama ini menanti saat-saat kami bisa menjadi manusia, harus hancur lebur dan pergi meninggalkanku selamanya. Jika di masa depan nanti kupisahkan kamu dari anak kesayanganmu, kurasa itu akan cukup adil. Jadi sekarang, pulang dan rawat saja dia sebanyak yang kamu bisa. Agar kelak saat aku datang menemuimu lagi, kamu mengerti bagaimana rasa sakit yang kini harus kurasakan gara-gara dirimu dan semua manusia serakah yang kamu bawa kemari beberapa hari lalu."

Gelegar petir yang mendadak terdengar setelahnya refleks membuat Johan menutupi telinga dan memejamkan mata. Lelaki yang biasanya selalu tampak gagah perkasa itu kini menangis sejadi-jadinya. Meraung-raung dengan permohonan yang sama sebelum akhirnya menyadari bahwa keheningan telah melingkupinya.

Beberapa detik kemudian yang terasa seperti berjam-jam lamanya, Johan memberanikan diri membuka mata dan mencoba meraih geretan—satu-satunya benda yang ia miliki sekarang—dari kantung celana dan mati-matian berusaha menghidupkannya dengan tangan gemeteran.

Johan mengarahkan sinar kecil itu ke sekitar dan yakin, sosok berjubah itu telah menghilang. Tanpa jejak ataupun suara. Johan pun lantas kembali berteriak pilu. Melolong tak tertolong. Rasa sakit di kakinya yang sejak tadi tidak begitu ia sadari, akhirnya baru terasa remuk luar biasa. Sebelum akhirnya ia terkulai lemas dan kehilangan kesadarannya.

*

Cinta Raja Naga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang