Narendra Dan Bayangan Satya

8.7K 655 70
                                    

Sudah tercatat satu minggu semenjak kali terakhir Kinan bertemu dengan Satya di dalam mimpi, dan sudah selama itu pula ia merasakan nafsu makannya kian menurun. Apa pun yang mampir ke lidahnya tidak lagi pernah seenak makanan yang pernah ia makan di istana Satya. Bahkan ketika itu adalah menu di restoran yang terkenal memiliki cita rasa terenak dari ulasan para pelanggannya. Pun nasi goreng seafood. Semua terasa hambar.

Di mana aku bisa dapetin rasa masakan seenak itu lagi, ya? Saat memikirkan pertanyaan yang tanpa sadar keluar dari kepalanya itu, Kinan merinding. Lalu menggeleng dan membenahi selimut.

Ia tidak ingin kembali ke tempat itu, dan sudah sangat bersyukur saat satu minggu ini tidak pernah kembali ke sana. Tepatnya, semenjak Kinan mendapatkan jadwal menstruasinya. Ya. Barangkali, itulah alasan Kinan tidak lagi mimpi ke tempat Satya lagi. Namun begitu, tetap saja, Kinan tidak sepenuhnya yakin sebab mungkin saja setelah ini ia tiba-tiba kembali ke sana tanpa disadari.

Untuk mengantisipasi semua kemungkinan buruk itu, Kinan yang semula sangat anti dengan segala hal yang disarankan Pak Wiro, malam ini sebagaimana malam sebelumnya sejak seminggu terakhir, memutuskan tidur sambil meletakkan jimat pemberian dukun itu di bawah bantal. Kata Pak Wiro tempo lalu saat Kinan pertama kali pindah ke apartemen, jimat itu akan melindungi Kinan dari semua gangguan negatif saat gadis itu tertidur.

"Non, ada telepon dari papa!" Teriakan dari luar kamarnya membuat Kinan yang sudah bersiap memejamkan mata kembali turun dari ranjang.

Kinan urung naik ke Kasur dan bergegas berlari keluar, melihat sang pelayan yang masih berdiri di depan pintunya. "Kok tumben papa neleponnya nggak langsung ke ponselku?"

"Katanya, ponsel Non Kinan nggak aktif?"

Kinan mengernyit. Ia sendiri bahkan tidak tahu kalau ponselnya mati, memilih untuk langsung mengangkat telepon di ruang tengah ketimbang mengecek ponselnya dulu.

"Nak, kenapa ponsel kamu mati dari siang tadi? Apa terjadi sesuatu?" serbu Johan tepat setelah Kinan menyapa 'halo'.

"Nggak terjadi apa-apa sama Kinan, kok, Pa. Kinan juga nggak tahu kalau ponsel Kinan mati. Mungkin semalam lupa ngisi daya."

"Oh, kirain. Syukurlah kalau kamu nggak pa-pa. Dari tadi, Papa sudah sangat mencemaskan kamu." Johan terdengar menghela napas lega di seberang sana. Lalu tertawa dan melanjutkan, "Kamu bisa keluar sebentar malam ini?"

"Ke mana, Pa?" Kinan melirik jam dinding di depannya. Baru pukul delapan malam, tapi entah mengapa tadi dia sudah begitu semangat untuk tidur.

"Kita makan malam bareng di resto langganan Papa."

Kinan merasa ada yang aneh dengan dirinya. Biasanya, ia akan sangat bersemangat jika diajak ke sana karena makanan mereka sangat lezat. Tapi sejak tiga hari lalu ke sana dan rasa yang didapat Kinan cuma hambar, malam ini Kinan jadi malas ke sana lagi.

"Kayaknya udah terlalu malam buat makan malam, deh, Pa. Kinan tadi juga sudah makan." Kinan berdusta. Padahal dia hanya makan sekali seharian ini. Itu pun hanya beberapa sendok saja.

"Ah, nggak pa-pa, nanti kamu bisa pesan porsi kecil. Papa tunggu ya. Pokoknya kamu harus datang." telepon dimatikan sepihak.

Kinan mendesah panjang, setengah mengerang. Dari nada bicaranya tadi, Johan tampak begitu senang. Kinan tak bisa menebak apa persisnya yang membuat papanya sesenang itu. Namun, setelah Kinan tiba di sana, akhirnya dia tahu dan seketika menjadi lebih malas ketimbang sebelum berangkat.

"Kenalin, ini Narendra. Anak salah satu teman Papa."

Yang diperkenalkan cuma tersenyum. Kinan membalas jabatan tangan pemuda berperawakan tinggi dan proporsional itu ala kadarnya sebelum menyeret kursi dan duduk di sebelah mamanya. Sial sekali rasanya. Tahu gitu, tadi tidak usah datang sekalian. Kinan merasa telah dijebak dengan keberadaan keluarga asing yang tadi tidak disebutkan sang papa kalau akan ikutan makan bersama. Dan Kinan secara pribadi tidak pernah menyukai orang-orang di sekitar papanya. Tidak peduli meski mereka bukan dukun serupa Pak Wiro.

"Om Braga dan Tante Claudia ini tinggal di Bandung. Mereka datang ke sini untuk mengunjungi Narendra yang kebetulan memiliki bisnis di Jakarta."

Hampir setengah jam, Johan terus membicarakan tentang kehebatan keluarga temannya itu. Seolah semua begitu penting, sampai-sampai Kinan harus mengetahuinya tanpa boleh melewatkan satu pun detail tentang mereka.

"Narendra ini masih lajang." Johan menambahkan.

"Dan siapa tahu, kalian nanti bisa cocok satu sama lain." Yang barusan itu Claudia.

Bahu Kinan seketika anjlok. Bukannya ia tidak bisa menebak jalan ceritanya. Hanya saja, ia tak menduga sang papa akan melakukan ini padanya ketika suasana hatinya sedang awut-awutan karena menstruasi.

"Narendra ini pemilik Mouse de Coffee yang ada di dekat kampus kamu itu." Johan kembali mengumumkan. "Itu cabang yang keberapa, Nak Naren?"

"Ke seratus lima puluh, Om." Narendra menjawab sambil senyum malu-malu. Namun entah bagaimana, Kinan malah menangkap kesombongan dari nada bicaranya.

"Itu baru satu jenis bisnis, lho. Belum lainnya. Iya, kan? Wah, beneran bos ini namanya."

"Om bisa aja. Saya masih harus banyak belajar dari papa dan Om buat menjalankan usaha kecil-kecilan ini."

Kinan merotasi bola mata diam-diam. Semakin muak saja rasanya menyaksikan obrolan basa-basi mereka.

"Ah, kalau Kinan ini sekarang kuliahnya semester berapa?" Braga yang sedari tadi cuma jadi pendengar sambil unjuk senyum bangga kepada putranya, akhirnya buka suara.

"Ah, dia sudah masuk semester akhir. Tinggal persiapan sama skripsi aja, kan, Nak?" Johan mewakili menjawab seolah dialah juru bicara di sana. Kinan sekali lagi cuma tersenyum dan mengangguk seperlunya. Dan ditanggapi kedua orang tuanya dengan tawa canggung.

"Yah, beginilah putri kami. Dia sangat pemalu dan lugu. Barangkali karena belum pernah pacaran, makanya jadi lebih pendiam dari biasanya saat ketemu Narendra."

Kinan tak ingin lebih banyak mendengar bualan tak penting papanya kepada tamu mereka, memilih pamit ke kamar kecil. Gadis itu butuh udara segar atau paling tidak, jeda waktu untuk menyendiri sebentar. Narendra bukan sosok lelaki yang memiliki rupa jelek atau tidak menarik. Bahkan jika harus memberi label, dia termasuk kategori good looking dalam kamus Kinan soal lelaki. Persoalannya, saat ini Kinan hanya sedang tidak tertarik untuk membuka hati apalagi memulai sebuah hubungan dengan pria mana pun.

Kinan berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau saat ini keinginannya hanyalah bisa menyelesaikan kuliah sesegera mungkin. Dan memastikan kalau alasan itu sebagai satu-satunya dalih baginya untuk bisa menolak Narendra jika nantinya memang sang papa bersikeras memaksa. Sampai kemudian, Kinan dikejutkan dengan kemunculan Satya tepat di sebelah kanannya. Pria berpakaian serba hitam dan berperawakan jangkung itu dengan santainya, menyalakan keran dan mencuci tangan di sebelah Kinan. Sembari memamerkan senyuman mautnya saat Kinan sendiri hampir saja pingsan lantaran kaget.

"Tidak akan ada satu pun laki-laki dari bangsamu yang bisa memberimu kepuasan seperti yang bisa kulakukan. Kamu tidak akan bisa tertarik padanya, karena kesempurnaan pria hanya milikku." Satya mengedipkan sebelah matanya sebelum berlalu pergi.

Kinan masih tak sanggup bereaksi setelahnya, bertahan dalam upayanya mencengkeram bibir wastafel demi menjaga keseimbangan supaya tidak jatuh di lantai toilet umum khusus wanita itu. Penasaran apakah sekarang dirinya mulai berdelusi, Kinan akhirnya buru-buru menyusul keluar dan mengikuti langkah Satya yang melenggang anggun—dalam porsinya sebagai seorang pria, dan melupakan keluarganya yang masih menunggu di meja pesanan mereka.

Di mata Kinan, cara Satya berjalan santai-santai saja bahkan cenderung kalem. Jarak mereka cuma beberapa langkah saja sekarang. Namun nyatanya, setelah melewati pintu keluar resto itu, Kinan tahu-tahu sudah kehilangan jejak. Satya menghilang dalam kegelapan malam. Dan tidak bisa Kinan jumpai keberadaannya di mana pun sampai kemudian ia kembali dikejutkan dengan sebuah tepukan ringan pada bahu kirinya, yang membuat Kinan refleks menjerit histeris sehingga harus sampai dibekap.

"Hei, hei. Ini aku. Aku Narendra." Narendra melepaskan bekapannya dan segera mundur sesaat setelah Kinan diam. Pemuda itu kemudian menyusul tersenyum dengan ekspresi bersalah. "Maaf kalau ngagetin kamu. Tadi kulihat, kamu jalan keluar seperti orang linglung. Kamu baik-baik aja?"

Kinan hanya mengerjapkan mata beberapa kali. Tak yakin apakah dirinya benar baik-baik saja sekarang.

Cinta Raja Naga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang