énteka

17 5 0
                                    

"Bawa pergi tubuh dan jiwa kalian, aku sedang tidak ingin melihatnya," titah serta ungkap guru besar. Ia bersandar pada meja besar, jemarinya mengurut dahi. Pelbagai patah tidak mampu membuat dua insan citra Ananke melenggang. Mereka setia pada kursi tunggal. Seperti terdapat daya rangsang yang tinggi dan enggan tuk pergi. Kini mereka tengah bersatu padu. Kepala saling tertunduk juga jari-jari tak berdiameter dimainkan. Pun bernala-nala cara tetap tinggal tanpa marah.

"Mengapa masih menetap di sini? Pintu keluar sama halnya pintu masuk." Mrs. Iris bersuara kembali. Namun, tetap tidak ada pergerakan baru dari Eirene dan Skilla. Mereka layaknya siswa nakal yang tepergok berbuat ulah.

Mrs. Iris berdesis, marahnya sudah sampai ubun-ubun. "KELUAR!"

Eirene dan Skilla terperanjat di kursi tunggal. Skilla lebih dahulu bangkit, memberi salam kepada Mrs. Iris, dan meninggalkan Eirene. Satu siswa yang tertinggal itu kelimpungan. Kemudian ia melakukan hal yang sama seperti Skilla.

Eirene kembali terperanjat sebab Skilla masih di depan ruang kepala sekolah. Ia tak jua pergi. Pandangannya menatap kosong pintu tembus pandang gedung utama. Akalnya seperti melambung jauh. Hingga insan-insan yang berlalu lalang tak dianggapnya. Eirene merasa asing dengan perangai Skilla kali ini.

Skilla pun pamit tanpa patah. Berlari keluar gedung. Meninggalkan tanya untuk Eirene. Acuh tak acuh dengan teman kelasnya itu, ia kembali ke jalan hidupnya. Melihat buku besar juga penghargaan di tangannya. Ia tidak tahan ingin memberikan hasil peluhnya kepada rama dan biyang. Sebelum pulang, ia harus kembali ke kelas untuk mengambil tas dan membawa pulang pernak-pernik pelajaran di loker.

Perjalanan menuju kelas mengkerdilkan nyali Eirene. Tuan dan nona Ananke merayakan keberhasilan. Mereka mengambil potret bersama dengan gawai dan kodak, saling memberi cindur mata berupa bunga dan makanan ringan, serta bersorak menyambut natal. Eirene iri, ia tidak pernah mendapat ajakan dari siapa pun di Ananke untuk sekadar berbincang.

Tibalah di lorong kelas sembilan. Siswa sembilan-satu berhamburan keluar kelas dengan riang. Eirene memasuki kelas yang akan kembali dihuni tahun depan melalui pintu depan. Di sana hanya tersisa meja dan kursi yang belum dirapikan. Tasnya bergantung di sisi meja. Ia membereskan saksi hidup. Mengambil tasnya, berjalan menuju loker yang berderet di belakang kelas.

Loker milik Eirene terbuka. Kakinya melangkah mundur tatkala sisa-sisa makanan ringan berjatuhan. Alisnya bertaut. Gerak cepat kakinya kembali, tangannya meracau isi loker. Dikeluarkan semua sampah dan bunga-bunga layu yang basah dengan kasar. Ia menyelamatkan kertas-kertas latihan olimpiade, tetapi kertas itu sudah menguning dan basah. Aksara di dalamnya tidak terlihat jelas. Eirene berdecak sesal.

Terlalu menyibukkan diri dengan kertas latihan olimpiade, ia baru menyadari hadirnya tulisan-tulisan menempel di dinding loker. Pun surat-surat yang jatuh bersamaan sampah.

"Selamat telah menjadi bintang, tetapi kau bukan dambaan kami."

"Tak masalah, itu hanya angka pada buku besar. Aku punya belasan angka dalam rekeningku."

"Ini hanya sementara, oke? Aku akan lebih unggul darimu."

"Pencapaianmu luar nalar, ya. Selamat atas bayaran welas kepada guru."

"Jangan berbesar kepala, anak pungut!"

"Biyangmu serupa jalang, ya."

"Tidak lelah kau mencari muka? Urus saja muka dekilmu itu!"

"Kau tidak bisa mengalahkanku."

"Anak pemerintah, anak pemerintah, anak pemerintah. Aku membencimu."

"Kau dilindungi hanya saat pemerintah datang, memang pecundang."

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang