nnéa

12 4 0
                                    

"Terima kasih anak-anak sudah mengupayakan penampilan untuk ujian akhir tahun ini. Kalian tampil dengan ciri khas masing-masing dan sangat menakjubkan. Namun, ada yang dikhawatirkan, yaitu Skilla. Mengapa kau tergesa-gesa memainkan piano? Tidak ada penjiwaan dalam dirimu dan yang tercipta hanya kemarahan. Sebenarnya kau dapat melampiaskan kemarahan dengan sesuatu yang disenangi, tetapi kau justru merusaknya. Tuts yang kau tekan tidak sesuai tangga nada, berantakan. Ini ujian, kau tidak bisa sesuka hati. Kemungkinan kau tidak dapat menjadi bintang lagi semester ini. Mengecewakan. Mari lupakan. Kita putar ingatan pada penampilan pertama, Eirene. Tidak ada fokus yang pergi. Semua indra tertuju padanya. Sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya itu. Sungguh-sungguh ia seperti bidadari yang diturunkan Tuhan tanpa cacat. Ia mampu menghipnosis insan-insan di ruangan ini. Berikanlah gemuruh tangan untuk Eirene leluasa mungkin," jelas guru musik yang baru tiga tahun menetap di Ananke.

Anggota kelas sembilan-satu bertepuk tangan, memeriahkan ruang kedap suara. Selepas menyuarakan hasil penampilan siswanya, guru musik itu pamit pergi dan diikuti siswa lain. Hanya tersisa Eirene dengan pandangan hampa. Seperti biasa, ia akan pulang bila semua penghuni Ananke sudah lenyap dari pandangnya. Kemudian memilih berjalan-jalan sepanjang lorong. Menikmati kelebihan Ananke.

Biru 'kan berganti wujud, terlihat semburatnya melalui ruang tanpa jendela. Eirene tengah bersandar di dinding atap sembari memegang sepucuk kertas yang biasa disimpan dekat telepon rumah. Ia sudah memilih tempat berpijak. Rambutnya tertebak angin sore. Matanya menurun, menatap kembali aksara yang terukir.

Skilla. Kata yang disimpan pada bawah kiri kertas.

Gagasan utama dari kertas itu hanya memuat dua baris dengan huruf buta.

"KITA HARUS BERTEMU DI ATAP SORE NANTI. JANGAN MELARIKAN DIRI," katanya.

Sesekali Eirene melirik arloji tuk mengingatkan diri pulang sebelum jam kerja Siren selesai. Jam pun nyatanya sudah menunjukkan pukul enam lebih, tetapi sang pengirim surat tak jua datang.

Pandangan Eirene beralih pada swastamita yang genit. Ia berjalan menuju pembatas. Menyaksikan kemewahan langit yang tengah berganti rona lebih dekat. Pertunjukan itu tak memakan banyak waktu, tetapi pesonanya mampu membuat insan membatu. Begitu pun dengan sang tokoh utama, ia asyik menikmati keindahan semesta hingga tak sadar Skilla sudah berada di belakangnya dengan membawa tongkat panjang bermoncong.

Bersamaan menyalanya lampu atap, tongkat golf itu menyerang tengkuk. Korban terjatuh, kakinya tak mampu menopang pesakitan kali ini. Mulutnya sedikit mendesis dan tangan memijat-mijat pusat sakit. Puji syukur, pembatas kokoh, tidak membuat korban terjun melewati jendela-jendela di samping gedung. Ia masih berada di alas atap.

"Bagaimana?" tanya Skilla menunduk. Memamerkan senyum pada Eirene yang terbengkalai menikmati hasil pukulan.

"Pukulanmu cukup baik," jawab Eirene sambil mencoba membangkitkan diri.

"Kau pun cukup kuat menahan sakit itu, mari kubantu."

Skilla meraih tangan Eirene. Ia membangkitkannya. Memutar tubuh Eirene dan mengunci tangannya di belakang. Sedang tongkat golf mencekik leher Eirene.

"Sebenarnya, sakit yang kau terima tidak sebanding dengan punyaku. Di setiap lorong bercerita tentangmu. Bahkan, sampai penjaga pun membicarakanmu. Eirene. Eirene. Eirene. Telingaku muak. Tidak ada siaran lain di sekolah ini. Tahun pertama di Ananke, akulah bintang itu. Namun, semakin sini kau berkepala besar. Kau itu bagai burung yang mengepakkan sayapnya tuk mencari perhatian pada dunia dan berlagak hebat. Lebih parah lagi, kau berbahagia di atas pesakitanku. Siang tadi guru musik tak berhati itu merendahkanku. Menjunjung tinggi kemampuanmu. Tepuk tangan memeriahi ruang musik hanya untukmu seorang. Kau memang pembawa bencana bagi jiwaku. Bersusah payah aku menyingkirkanmu, tetapi kau semakin menjiwai peran. Tidaklah indah hidup seorang yang ingin lebih unggul dariku," jelas Skilla dengan sorot matanya terbakar. Burung-burung yang sering diberi pakan oleh penjaga mengepakkan sayapnya, terbang menjauh agar tidak terkena murka Skilla.

IneffableWhere stories live. Discover now