pénte

22 6 5
                                    

Integritas cahaya mengonvensikan diri selaku bulatan-bulatan tembus pandang. Berpendar memadati ain. Terbetik alunan suara mesin melalui kuping. Awak mengigil, hanya terbalut satu lampir jarik berona deep sky blue di atas lutut. Scrub suits berkeliaran juga memutari arca yang terbujur kaku. Mereka saling menyibukkan diri menjadi tangan kanan amir. Bergotong royong bertukar peluh sembari bernalar. Memilih penyapit kecil yang mempunyai gigi atau tidak. Memilih bentuk pinset panjang dan kecil atau pinset pendek yang gemuk. Jarum bertangkai bengkok silih menarik, mengonfrontasikan nadi-nadi, dan selesai. Cairan yang tersusun dari kepingan hablur yang mengandung 26% air raksa berwarna merah tua bercucuran menggenangi bebat dan membekap hangat.

"Akhirnya kau bangun juga, jangan melakukannya lagi, ya! Bila butuh bantuan kau bisa hubungi nomor darurat atau pergi bertemu ahli jiwa dan jangan mendahului rencana Tuhan. Ia akan marah. Mengapa kau tidak bercerita kepada biyangmu? Selama kau berada di ruang tindakan, ia menyiratkan cemas dan tak henti hilir mudik di depan ruangan," oceh juru rawat sembari memasang infus pada Eirene.

"Selesai. Sedari awal pembuluh darahmu menolak, ia terus berontak sampai-sampai darah bermunculan. Rupanya ia menunggu kau untuk siuman. Selamat kembali dan lekas pulih, Eirene. Aku pamit, bila membutuhkan bantuanku, kau bisa membunyikan lonceng digital itu."

"Terima kasih," ucap Eirene pada wanita itu. Kini ia bersama ranjang-ranjang tak berpenghui. Pergelangan kanannya berbalut bebat dan terasa kebal. Dunia luar tertutup tirai. Namun, bukan pancaran aswad yang membayang, melainkan pirau dari celah tirai.

"Eirene! Di mana kewarasanmu? Hanyut bersama ampas sabun kala mengumbah baju? Mengapa kau melakukan absurditas itu? Kau sudah menghabiskan waktu, tenaga, serta tabunganku untuk menyambung kembali tanganmu. Ah! Rasanya frasaku tak dapat lagi tersiar hanya untuk membicarakan kekonyolanmu." Siren datang tergesa-gesa

"Mari kita pulang. Aku ingin berbaring. Pinggulku lelah sehabis menopang tubuh yang tak henti bergerak menunggumu siuman. Pagi ini aku harus bekerja lebih awal," lanjutnya. Ia Berdiri samping kiri Eirene yang terbaring sesekali melirik arloji kasat matanya.

"Ma! Jangan lakukan itu ...," lirih Eirene selagi Siren mencabut paksa jarum yang menusuk kulit putrinya. Darah pun menyerap pada kain pelapis ranjang disertai cairan bening yang singgah di pembuluh darah.

"Menunggu apa lagi? Kau sudah menghabiskan waktu dan tabunganku. Kini waktunya pulang, jangan mengelak!"

"Nyonya, nyonya!" teriak wanita berkedudukan juru rawat ketika membuka pintu kamar pasien. Ia berjalan cepat sembari mendorong kereta pangan.

"Ada apa?" tanya Siren sambil memicingkan pandangan.

"Eirene masih dalam tahap pemulihan, Nyonya."

"Lalu apa masalahnya?"

"Eirene tidak diperbolehkan pulang hari ini. Ia harus beristirahat dalam pantauan kami dan akan ada kunjungan dari dokter jiwa."

"Ia dapat beristirahat di rumah dan lagi, ia tidak memerlukan dokter jiwa."

"Nyonya, kejiwaan Eirene butuh pertolongan. Apa yang dilakukan Eirene kemarin perlu pemeriksaan lebih lanjut agar dapat terdiagnosis."

"Tidak. Eirene merajang tangannya karena ia sedang mencari perhatian, berharap bala bantuan datang, tapi yang didapat justru tujuh belas jahitan. Kau hanya juru rawat yang digaji kepala, bukan menggaji pasien. Jadi kau tidak berhak menahan kami. Permisi, simpan kembali tempat pangan aluminium itu."

Pelbagai pasang mata dengan profesi berbeda terpatri di ambang pintu menyaksikan huru-hara. Mereka terbagi dua. Memberi akses kepada Siren yang tergesa-gesa sembari memboyong Eirene. Pandangan-pandangan iba mengamati gadis yang semalam memanggil malaikatulmaut di luar skedul. Eirene yang layu hanya mengikuti alur biyangnya---yang tak acuh atas bisik-bisik insan sepanjang lorong klinik.

IneffableUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum