eptá

14 5 2
                                    

"Sampai sini saja, Nyonya. Aku dapat berjalan kaki ke gerai tempatku bekerja."

"Apa kauyakin? Ini sudah larut dan dilihat-lihat arah sana sangat gelap."

"Aku tidak masalah, Nyonya. Lagipula ini sudah waktunya makan malam dan Nyonya harus segera pulang. Terima kasih sudah mengizinkanku mengisi kursi kosong di sampingmu dan membawaku sampai sini. Semoga Tuhan selalu melindungimu."

Juru rawat Ananke itu mengangguk sambil menaikkan kaca mobilnya dan meninggalkan Eirene yang masih berdiri sebelum ia benar-benar pergi. Gerai perabotan itu hinggap di daerah pinggiran pusat kota---tak terlalu jauh dari kediamannya. Namun, daerah ini tak banyak penghuni yang berlalu lalang. Mereka disibukkan oleh perputaran otak yang tak henti sebelum bumi masih berotasi. Hanya berbekal sinar lunar, Eirene berjalan sesuai peta yang ia hafal. Disusurinya rumah-rumah kecil berpagar tinggi juga dangau di beberapa sisi.

Eirene mengerang. Sebuah benang keras melilit kakinya. Membuat telapak tangan serta lututnya kotor dan tergores. Ia tak dapat melihat benang itu dengan jelas sebab lampu jalan tak benderang dan rembulan tak cukup. Namun, ia dapat merasakan benang itu.

"Kenur? Mengapa benda berbahaya ini tergeletak di jalan? Apa ada anak yang bermain layangan di sini? Mustahil." Eirene terheran. Pasalnya ia amat paham mengenai kotanya, di mana jalanan harus bersih dan sedari ia berjalan tidak menemukan satu pun sampah sekecil tungau. Ia mengikuti panjang kenur sembari digulung. Alih-alih menghadirkan korban lagi. Kenur itu cukup panjang dan gerai pun sudah nampak di pelupuk. Ia sampai di perempatan, berpikir sejenak. Lanjut menggulung atau kembali pada peta.

Kenur itu nyatanya berasal dari sebuah dangau tanpa rembulan. Eirene masuk tanpa membuka pagar yang lebar. Dari dalam dangau, kenur ditarik membuat Eirene menjerit. Sepasang tangan menangkapnya tanpa aba dan menjatuhkannya di hamparan rumput. Durjanya menghadap malam. Ia kini dikelilingi sekelompok pria, tetapi rupanya tak terlihat gamblang sebab tubuh mereka menutupi sinar.

Eirene bangkit, meraih tasnya yang ikut terbaring. Namun, sebuah tangan kekar---dari salah satu pria itu---menghalau dan menghantam tubuh Eirene ke tembok. Kini kepalanya dihinggapi burung-burung yang berputar riang. Malang. Ia tidak sempat mengumpulkan sadar kala bagian tubuhnya mulai dijelajah. Kedua mata ditutup kain serta mulutnya disumpal kain jua. Mantel musim dingin serta blazer Ananke terbuang ke pesisian. Menyisakan kamisa putih penarik berahi. Salah satu tangan melepas buah baju satu per satu. Pemilik tangan yang lainnya menjamah sisi muka, menahan serangan babi buta, dan melumat bibir sebab sumpalan kain tak mampu mendiamkan Eirene. Penutup mata telah basah, air tak henti bercucuran. Tubuh Eirene telah dinikmati oleh sekelompok pria asing. Alat vital digesekan dengan kewanitannya. Sesekali mereka meminjat pegunungan. Menari silih berganti pada tubuh suci. Merasakan sejuknya dunia fana.

Napas Eirene tersenggal-senggal. Ia terpaksa melayani pria-pria tak dikenal di musim dingin. Semestanya sudah hancur sebab tipu daya kenur. Dalam gelap ia menangis tak henti. Melantunkan isi kitab yang dihapal untuk mendatangkan Tuhan. Sesal pun berselimut, walaupun tak penuh salahnya. Ia hanya terjebak perangkap pria-pria sakit yang nuraninya musnah berganti nafsu berahi. Eirene hanya dapat meringis, tak mampu berteriak. Tubuhnya lelah memberontak. Kamisa putih sudah terlepas, tersisa pakaian dalam hitam tanpa lengan. Angin menembus rongga-rongga kulit, gigil kian menjadi-jadi.

Tersiar kepuasan di balik angin kencang berembus. Pria-pria itu menjauh. Membersihkan bibir dengan tangan kotor lalu sang kapten menitah pergi. Meninggalkan Eirene tanpa sesal.

Eirene menangis lepas. Kain yang menutupi mata dan menyumpal mulutnya telah dibuang. Jeritan ia lantunkan tanpa menghadirkan bising untuk para jiran. Menghunus rumput-rumput kecil tak terurus. Dikenakan kembali kain-kain pelindung raga sambil meringis. Ia berlari melinggalkan tempat terkutuk, rautnya yang tak kalah kusut dengan rambut.

IneffableWhere stories live. Discover now