éxi

11 5 0
                                    

Gemuruh bayu mendobrak pintu kedai bersamaan sorang pendatang. Ia bertubuh gemuk dibalik mantel bulu. Meneliti lemari tak berpintu tiap lorongnya. Menjamah perabot tak bertuan dan mengembalikan tak bersusunan. Ia berjalan dengan langkah geram, merusak alunan komposer di gereja. Dari perkakas kecil hingga dewasa disentuhnya tanpa laba. Akhirnya, tersiar gema dari lorong dewasa. Sebuah perahu dan pelbagai perkakas berjatuhan sederas hujan di musim kemarin. Sang ia keresahan. Menggigit tanduk jari yang menguning. Hulunya terpatah-patah melirik ke sana kemari. Lalu menjerit, menabrak sisi lain, dan menghilang di serambi.

"Astaga, kapan berakhirnya ia dari muka bumi ini? Kegiatannya hanya menghancurkan geraiku saja." Seorang wanita keluar dari bilik ganti.

"Ia siapa, Nyonya?" tanya Eirene sembari membereskan bukunya.

"Aku tak tahu pasti siapa ia, tetapi selama satu tahun ini ia selalu muncul di waktu dan kegiatan yang sama. Dari kabar yang tersiar, ia merupakan korban pelecehan seksual oleh sekelompok pria di daerah ini lalu diusir dari rumahnya. Tidak usah dihiraukan. Engkau bereskan saja perabotan yang jatuh itu. Aku akan kembali pukul enam pagi. Berhati-hatilah. Bila ada sesuatu tak sedap, segera hubungiku. Aku tidak sudi keburukan menimpa gerai. Aku pamit," jelas pemilik gerai sembari memakai mantel dan menghilang pula di serambi.

Eirene berjalan ke lorong paling kanan dari tempat kasir. Ia terpana melihat pemandangan yang tertangkap netra, benda besar tak berbentuk di malam hari. Suara yang mengalihkan pandangnya dari buku ternyata sebuah perahu kayu yang kini menjadi rempahan dan ditemani perkakas sebesar dosa. Ia berjongkok, membereskan kayu-kayu rancung dan memasukkannya ke dalam keranjang. Kemudian memungut perkakas yang harus ditaruh dekat langit-langit. Ia menggiring tangga lipat, menaiki dan menuruninya berulang. Bagian perkakas berdasar metal disematkan pada paku, tetapi kaki Eirene mendarat di anak tangga tak bernyawa. Tubuhnya terjatuh dan disusul pemberat kapal yang tadi ia sematkan.

Puji-pujian Tuhan dilantunkan Eirene. Jangkar tidak mendarat di durjanya. Namun, perpindahan posisinya bukan sebagai pelindung diri, justru membuat tangannya tertilit tali besi dan mengeluarkan darah. Eirene sedikit berlari tuk sampai meja kasir. Diambilnya kotak putih bernuansa merah positif dan sibuk memutuskan kain dengan sebelah tangan. Agaknya ia telah mahir memalun kasa dan melumat obat merah, tetapi Eirene tetap meringis. Ia kembali mengacak isi kotak, mengeluarkan pil-pil pereda dari wadah bulat, dan ditelan. Lalu Eirene terduduk, menikmati dingin yang mengalir ke tenggorokan hingga membalut sekujur organ. Raganya dirasa melayang dan sakit sudah usai. Lelap melahapnya, tanpa melirik gerai yang masih terjaga juga serakan dari si pengacau tak kunjung dirapikan peri-peri seperti di negeri dongeng.

Di sepertiga malam Eirene terbangun dengan berseri. Merapikan kembali perkakas yang terjatuh dari pegangannya. Menutup pintu dari terjangan badai. Musim telah berganti, waktunya menopang dagu di jendela tuk menanti salju. Namun, Eirene bukan anak kecil lagi. Kini ia melakukan kewajibannya beranjak dewasa. Mengepak barang sekaligus penerima uang dan penjaga gerai perabotan serbaada, bukan lagi berselancar di ayunan.

Tirai terbuka, arunika menyapa. Eirene telah berganti seragam dan bersiap menuju bukit pendidikan, tetapi langkah biyangnya tak kunjung tersiar. Ia berjalan ke sana kemari bersama resah. Arloji tetap berjalan. Cahaya matahari pun demikian.

Mata Eirene menyipit kala dua sosok bercengkerama di perempatan jalan. Seorang wanita itu tergambar jelas merupakan biyangnya. Namun, pria berperawakan tinggi memakai kemeja dengan lengan dilipat dan berambut klimis seperti Eirene pernah mendapatkannya. Pria yang sebaya dengan biyangnya itu tak asing di pelupuk matanya.

"Siapakah pria yang berbincang denganmu itu, Ma? Durjanya tak pernah sempat kulihat, tetapi aku seperti mengenalnya."

"Teman semasa sekolahku. Simpan dugaanmu itu dan jangan banyak bertanya. Bergegaslah atau kau akan dapat masalah lagi." Eirene mengangguk.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang