oktṓ

11 4 0
                                    

"Hebat sekali. Memutar otak hingga berapa derajat kau selamat dari penjaga?" tanya Skilla begitu ia sampai di ruang seni yang dipenuhi mahakarya tuan nona Ananke. Ia bertepuk tangan pada ruang kedap suara ini.

"Maksudmu?"

Skilla tersenyum hangat. "Eirene, kau tidak perlu berlagak hilang ingatan."

Eirene tertunduk, mengeratkan mantel musim dingin yang seharusnya disematkan kala gemercik kristal kecil turun di atap rumah.

"Patuhilah peraturan jika engkau tidak ingin dapat ganjaran. Namun, dari air mukamu, engkau enggan melepas itu. Benar begitu, kan? Ya! Benar! Tenang saja, tak perlu khawatir, kupastikan kau dapat masalah," ucap Skilla sembari menjentikkan jari di sela nadanya.

Masih menunduk, Eirene mengembuskan napas kasar. Cengkeramannya semakin kuat pada ujung mantel. Pendingin ruangan tak mampu membuatnya lebih sejuk.

"Ah! Rupanya apimu sudah mencapai ubun-ubun. Kau marah padaku, Eirene? Mengapa? Aku hanya mengingatkan kembali mengenai peraturan Ananke. Tuan atau nona mana yang tidak mematuhinya? Semua takut pada hukuman itu. Mungkin kau akan diberi sedikit keringanan," lanjut Skilla. Ia berjalan ke arah lukisan-lukisan yang terpajang.

"Ini mahakaryamu kala ujian tahun lalu, ya? Cukup menggemaskan untuk aku ... hancurkan. Ah! Sebentar. Lukisan ini tampak kotor. Sebelum insan-insan muda itu kemari, lebih baik aku membersihkan ini."

Ruang bertambah hening dan mencekam.

"Eirene, maafkan aku. Aku berhasil menghancurkan lukisanmu. Aku sungguh ingin membersihkannya, tetapi justru keinginanku terkabul. Lihatlah." Tubuh Skilla tak berubah. Ia setia menghadap dinding hingga tak sadar Eirene sudah bangkit menemuinya. Berdiri tepat di belakangnya. Menepuk pundak hingga sang empu membalikkan badan. "Ada apa, Eir-?"

Skilla terkejut. Pupilnya membesar kala saling berpandangan dengan Eirene yang begitu kacau. Sedang mulut Skilla terbuka lebar tak bisa mengatup sebab cekikan lawan bicaranya semakin kuat.

"Engkau benar, Skilla. Sebelum insan-insan muda itu datang, lebih baik aku membersihkanmu. Terlalu banyak diryah yang kau limpahkan kepadaku hingga kita tak sadar telah menginjak tiga. Kau tidak lelah menghancurkanku? Apa yang menjadi alasan terkuatmu untuk itu? Semenjak kumenginjak Ananke, aku tidak sekalipun mengusik hidupmu, tetapi tanpa hitungan kau memulai. Tak memberiku ruang tuk bersiap.

Tiga tahun lalu saat olimpiade matematika di negara tetangga, kita berhasil mengharumkan sekolah sendiri. Tubuhku dikalungkan mendali emas, sedang kau perunggu. Kala itu harsa berkembang di jiwaku. Bibirku melengkung. Tidak tahan ingin kembali ke rumah. Menunjukkannya pada biyang juga rama. Membayangkan didekap dua insan itu. Namun, pengeras suara menyiarkan bahwasanya penilaian akan dilakukan ulang. Mendali-mendali berkilap itu disimpan kembali di atas nampan. Mereka melambai, tak rela berganti kepemilikan. Yang menyeramkan ialah saat para juri juga juru bicara kembali menaiki panggung dan menyebutkan pemenang. Tak ada namaku keluar dari mulut mereka, tetapi kau ... disebutkan menjadi emas. Perak dan perunggu pun insan-insan baru. Saat itu kita kecil belum berjabat tangan dan melempar nama. Namun, hatiku sudah tergores cukup dalam, Skilla.

Benar bisik insan-insan di taman perihal semesta yang kerap bergurau. Kita dipertemukan lagi dalam ruang yang sama dan perang sepihak pun dimulai.

Kau mengerjaiku setiap kali meraup kesempatan. Menyambut pagi dengan ujaran manis, membawaku ke suatu tempat atau menyewa tuan nona Ananke, dan menjauhi kamera pengintai. Kau lebih leluasa merundungku tanpa penonton, ya. Saban hari kau pun menjadi-jadi. Meruntuhkan jiwa yang kubangun dengan puing-puing kokoh dan ... yang sering kau suguhkan untukku adalah ini."

Dewi Fortuna terkejut melihat pemandangan semesta pagi ini. Kepala Skilla mendarat di lantai kayu usai Eirene menghempaskan cekikannya. Tanpa mimik, Eirene memperhatikan Skilla yang tengah mengumpulkan tenaga tuk bangkit.

IneffableWhere stories live. Discover now