2. Nathaniel Erlangga

49 11 2
                                    

Aku mendongak, sejenak menatap rumah di depanku sekarang. Mewah, itu kesan pertama. Luas. Terasa sedikit mengintimidasi, entah kenapa.

Entahlah.

"Nad?" Mama yang, entah sejak kapan, berdiri di sisiku menyapa. "Kenapa bengong, Sayang?" tanyanya. Kali ini, suaranya jauh lebih lunak.

Aku tergelagap. Untungnya, aku cepat menguasai diri. Sedetik kemudian, aku menggeleng. "Enggak apa-apa, Ma." Aku meyakinkan.

Ingat, Aria! Jangan bertingkah aneh.

Mama tersenyum. Digamitnya lenganku. "Ayo," ajaknya.

Apa aku punya pilihan?

Aku menghela napas, melangkah perlahan. Menapaki beranda dan mengikuti langkah Mama masuk ke rumah.

Hal pertama yang aku lihat adalah ... ini ruang tamu. Mataku menyisir dengan cepat. Berkilau. Seakan-akan semua terbuat dari emas.

"Selamat datang di rumah!" Mama berbalik dan tersenyum lebar.

Senyum yang, di mataku, terlihat begitu tulus.

Entah kenapa, seperti ada yang bergejolak di dadaku.

Aku jelas bukan Nada, anaknya. Ini bukan rumahku, meski harus kuakui, aku memang memiliki impian mempunyai tempat tinggal seperti ini. Persis seperti yang aku angan-angankan. Namun, sekali lagi, ini bukan rumahku.

Dan, yang paling terpenting, aku bukan Nada.

Hanya dengan satu fakta itu aku sudah merasa cukup bersalah.

Namun, rasa bersalah itu hanya bisa aku telan dalam hati. Aku sudah memutuskan untuk menyelidiki apa yang terjadi, dan mengakui diri sebagai Nada adalah langkah awal untuk itu.

Karena itulah, menanggapi ucapan Mama, aku—pura-pura—tersenyum riang dan berkata, "Makasih, Ma."

"Non Nada?"

Seseorang memanggil. Dari arah kanan. Refleks, aku menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berjalan mendekat. Berbeda dengan Mama, wanita itu terlihat lebih sederhana. Wajahnya tampak berkerut halus di sana-sini. Bersahaja. Dengan senyum hangat ketika menghampiri.

Tebakanku, dia adalah asisten rumah tangga.

Mungkin ya.

"Nad, ini Bik Listi. Asisten rumah tangga kita." Mama menjelaskan tanpa diminta. Mungkin karena melihat aku tampak kebingungan.

Mendengar kata-kata Mama, aku hanya tersenyum kikuk seraya menyalami Bik Listi. "Halo, Bik."

Bik Listi, entah kenapa, tampak terkejut ketika aku menyalaminya. Wajahnya menampilkan raut bingung meski hanya sesaat. Bisa kulihat Bik Listi menoleh ke arah Mama. Keduanya bertukar pandang. Hanya beberapa saat. Setelahnya, Bik Listi kembali menatapku. Mengangguk.

"Sehat-sehat, ya, Non." Bu Listi tersenyum. "Kalau perlu sesuatu, bisa panggil Bibik atau Niel."

Belum sempat aku merespons, Mama sudah mendahuluiku. Memotong kesempatanku untuk mengiakan dan berterima kasih.

Mama: "Oh, iya. Niel-nya mana, Bik? Dari tadi enggak kelihatan."

"Lagi ke supermarket, Bu. Beli belanjaan. Bentar lagi harusnya udah pulang," Bik Listi menjelaskan.

Mama mengangguk-angguk.

Niel. Sepertinya salah satu anggota keluarga di rumah ini. Mungkin saudaraku—ralat, Nada. Kakak atau adik, sepertinya.

Setelahnya, Bik Listi pamit undur diri. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, katanya. Bik Listi sempat menawari apakah aku atau Mama ingin minum atau makan sesuatu. Baik aku maupun Mama sama-sama menggeleng.

Just Like Magic [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang