1. Mereka bilang, namaku Aksara Nada

73 12 1
                                    

Namaku Aria Laraswati. Sembilan belas tahun. Dan, aku terbangun sebagai orang lain.

Secara teknis, aku terbangun sebagai diriku. Aku ingat siapa aku. Aku ingat kejadian kemarin malam. Di mana aku, sekali lagi, Aria Laraswati, menemani Mamak pergi ke toko. Berbelanja kebutuhan berjualan esok hari. Lalu pulang ke rumah dengan selamat. Sehat wal afiat.

Aku juga ingat sempat membantu Mamak menyiapkan makan malam. Berdebat mana yang lebih enak: sarden atau kornet. Makan malam bersama Abah yang mengeluh asam uratnya kambuh. Membereskan meja makan. Kemudian, aku pamit ke kamar. Memainkan ponsel sebentar, lalu blas. Tidur.

See? Aku ingat semuanya dengan jelas.

Semuanya.

Namun, begitu bangun ada beberapa hal yang ... bagaimana, ya?

Tidak masuk akal untuk dipercaya, tapi nyata.

Pertama, aku terbangun di rumah sakit aneh. Asing. Pertanyaannya: bagaimana bisa?

Entahlah. Aku sendiri masih belum menemukan jawabannya. Sempat tebersit beberapa kemungkinan, tapi rasa-rasanya, tidak ada yang masuk akal.

Kedua, aku terbangun dengan rupa dan fisik orang lain. Wajah yang tidak pernah kulihat.

Nada. Aksara Nada, lengkapnya.

"Nad?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nad?"

Bisa kurasakan seseorang menepuk-nepuk pipiku. Lembut dan terkesan hati-hati.

Aku mengerang pelan. Dengan setengah hati, aku membuka mata. Sedikit buram. Sebelah tanganku refleks mengucek kedua belah mata.

Ah, lebih baik. Penglihatanku sudah lebih jelas.

Aku menegakkan badan, menoleh. Bisa kulihat wanita yang duduk di sampingku tersenyum. Wanita yang memintaku memanggilnya sebagai Mama.

Benar sekali. Mama.

Aku menggeleng, berusaha mengumpulkan kesadaran. "Ya?" sahutku setelah beberapa menit hening.

Mama, dengan senyum yang tidak kunjung luntur, berkata, "Sebentar lagi kita sampai."

Sampai?

Aku mengernyit. "Ke mana?"

Mama ikut mengernyit. Keduanya alisnya bertaut di tengah. Beberapa saat kemudian, Mama menyahut lembut. "Tentu saja ke rumah. Kamu enggak lupa, 'kan?"

Aku mengerjap, bingung sendiri. Setelahnya aku kembali tersadar.

Benar. Aku sedang dalam perjalanan "pulang".

Sontak saja, aku menepuk dahi. Dua kali. Lupa selupa-lupanya. Atau, lebih tepatnya, situasi ini masih terlalu asing buat aku terima.

"Nada!" Mama setengah menjerit. Ditangkapnya tanganku yang hampir melepaskan pukulan ketiga ke dahi. "Ingat yang dokter bilang. Jangan sampai ada benturan." Ucapannya terdengar serius.

Just Like Magic [ON HOLD]Where stories live. Discover now