11. Berubah

22 3 1
                                    

Untungnya, demamku turun drastis menjelang jam sembilan. Keadaan yang membuatku bergegas pergi ke rumah sakit bersama Papa dan Mama. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dan menunggu, dokter membawakan hasilnya.

Bahwa, kabar gembira, aku diperbolehkan kembali kuliah.

Berita itu tentu saja disambut baik oleh Mama dan Papa. Terlihat jelas sekali pancaran wajah mereka begitu senang. Tidak hanya pergi untuk pemeriksaan. Hari ini, usai menyelesaikan tetek bengek di rumah sakit, Mama dan Papa mengajakku pergi ke kampus.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di mobil. Dengan Papa menyetir, Mama duduk di sampingnya, dan aku di jok belakang. Menunggu tiba di kampus.

Jujur saja, aku agak penasaran dengan kampus tempat Nona Muda ini berkuliah.

"Hati-hati. Dunia perkuliahan gue ... nggak gampang."

Tiba-tiba, ucapan Nada pagi tadi di telepon kembali terngiang.

Nggak gampang? Apa maksudnya?

Padahal, dia sendiri yang mengaku kalau dia bukan tipikal mahasiswa menonjol. Dia biasa-biasa saja, kalau menurut klaimnya. Harusnya, kehidupan perkuliahan buat tipe mahasiswa kayak itu tidaklah serumit tipe kura-kura atau ambis, misalnya.

Harusnya.

Apa karena mata kuliahnya, ya?

Bisa jadi, sih. Karena Si Nada ini sendiri kan salah jurusan. Siapa suruh mengambil sembarang jurusan yang tidak diminati?

Oke, kayaknya aku sudah terlalu salty. Refleks, aku menggeleng-geleng. Mencoba menata pikiran supaya tidak berpikir yang tidak-tidak.

"Kenapa, Nad?" Suara Mama menyembul dari depan. Beliau melirikku dari spion mobil.

Aku mengangkat wajah, tersenyum dan menggeleng lagi. Bedanya, gelengan satu ini untuk meyakinkan, "Nggak apa-apa, Ma."

Hening sejenak. Kulihat, Mama dan Papa saling pandang.

Papa berdeham. Tangannya memutar kemudi ke arah kanan. "Sebentar lagi kita sampai," katanya singkat.

Aku mengangguk. Kulemparkan tatapan ke luar jendela mobil. Benar apa yang Papa bilang barusan. Sekitar lima menit kemudian, mobil memasuki kawasan sebuah universitas. Beberapa kali Papa berbelok, menyusuri jalan di mana banyak muda-mudi saling berkumpul. Beberapa saat kemudian, mobil berhenti.

Kami sudah sampai.

Buat beberapa detik, aku sama sekali tidak beranjak. Padahal Mama dan Papa sudah turun. Aku justru masih stay di jok belakang.

Entah kenapa, rasanya gugup.

Aku menenggak ludah. Baru ingin membuka pintu, pintu di samping kiriku sudah keburu dibuka duluan dari luar. Mama.

"Nad, ayo turun!" ajak Mama. Ekspresinya terlihat bingung.

"Ah, i-iya Ma." Pada akhirnya, aku hanya bisa menguatkan diri dan turun dengan langkah sedikit gemetar.

Karena ... entah aku saja yang ke-geer-an atau memang para mahasiswa di sekitar kami mulai memandangku dan Mama-Papa?

Ralat .... Menatapku?

"Ayo, Nad!" ajak Papa. Digamitnya pergelangan tanganku, memberi isyarat agar mengikutinya bersama Mama.

Perlahan, aku menghela napas, lalu mengangguk. Bersama Papa dan Mama, aku berjalan menuju sebuah gedung. Dilihat dari posisinya, gedung tersebut tampaknya berada di pusat atau tengah-tengah universitas ini.

Aku sendiri tidak terlalu yakin itu gedung apa. Mungkin rektorat? Administrasi? Entah. Jujur, aku cuma ikut masuk buat sekadar formalitas. Aku juga tidak terlalu banyak bersuara saat Papa dan Mama mengajakku ke sana kemari. Dari satu ruangan ke ruangan lain.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Just Like Magic [ON HOLD]Where stories live. Discover now