6. Kesepakatan

22 7 3
                                    

Men-chat-nya? Buat apa? Ketimbang mengirimi cewek itu pesan, aku lebih memilih telepon. Terlebih, chat identik dengan yang namanya slow respons. Jujur saja, aku bukan orang yang sabaran kalau urusan seperti ini.

Jadilah aku memilih telepon dan mendekatkan ponsel ke telinga. Awalnya, aku hampir memencet video call. Namun, tidak jadi. Aku masih agak gimana gitu melihat wajah sendiri berbicara kepadaku. Rasanya jauh lebih horor daripada film horor.

Cukup lama aku menunggu, sebelum telepon diputus. Tidak diangkat. Begitu sadar, aku langsung menjauhkan ponsel dari telinga dan memelotot kesal. Seolah, lawan bicara yang aku tuju bisa melihatnya. Bentuk refleks, sih.

Baru aku ingin memencet ikon telepon lagi, chat dari Nada muncul.

"Gue bilang chat, bukan telepon. Lo enggak bisa baca apa gimana?"

Cewek ini .... Aku ternganga, lalu mendengkus marah. Menyebalkan. Sebelas dua belas dengan Niel.

Ya Allah, kenapa aku harus dikelilingi orang-orang seperti mereka ini? Huhu.

Aku menarik napas dalam-dalam, mendinginkan diri. Setelah cukup tenang, barulah aku balas mengirimkan chat,

"Rawan slow respons. Aku enggak sesabar itu."

Ting! Belum ada tiga menit, Nada sudah membalas,

"Gue lagi di kantin. Enggak bisa ngangkat telepon. Lo mau nyokap lo curiga? Ini aja gue udah dipelototi dari tadi."

Kantin, katanya?

Aku terdiam. Lalu, sedetik kemudian, aku menjerit tertahan. Kantin!? Nada sialan!

"Kamu pura-pura jadi aku sampai sejauh itu!?"

"Memangnya kamu enggak?"

"Yang aku lakuin sampai sekarang cuma rebahan! Enggak seekstrem kamu!"

"Yah, memang itu kerjaanku. Jadi, bisa dibilang kita impas. Ya, 'kan?"

Impas dari Hongkong!

Aku menggeram, kesal.

Masalahnya adalah aku memegang peran penting di kantin tempat Mamak jualan. Aku biasa menjadi garda terdepan. Alias, mendapat jatah melayani pembeli. Harus gesit dan cekatan. Kalau tidak, bakal ada dua masalah. Satu, pelanggan kabur ke penjual sebelah. Dua, diomeli Mamak.

Dan, apa kata si Nada itu tadi? Sehari-harinya dia cuma rebahan? Modelan begitu yang sekarang ini membantu Mamak di kantin?

Bunuh saja aku! Bunuh!

Ting!

Aku meraih ponsel yang sempat kulempar sembarang. Nada mengirim pesan lagi,

"Hei! Lo masih di sana, 'kan?"

Andai ponsel melayani jambak daring, sudah aku gunakan fasilitas itu sedari tadi.

"Enggak. Aku udah mati."

Nada membalas dengan cepat. Ada emotikon tawa di depan chat-nya,

"Harusnya itu line-ku."

Dia melucu atau apa?

Aku mendecak sebal. Dengan cepat, aku ketikkan balasan,

"Telepon aku. Aku lagi enggak mood ngetik. Atau, aku aja yang telepon."

"Udah gue bilang gue enggak bisa nelepon atau nerima telepon. Lo pikun apa gimana?"

Wah, beraninya dia mengejekku!

Just Like Magic [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang