SHAGA || FIFTY TWO

Start from the beginning
                                    

Shaga toleh kanan kiri, kalau ada Panpan di kamarnya berarti Hazel ada di sini, biasanya gadis itu duduk di sofa sambil membaca novel roman yang selalu Shaga ejek. Tidak mendapati Hazel, Shaga kebingungan, lantas baru sadar bahwa dia masih mengenakan seragam saat turun dari ranjang.

Cepat-cepat Shaga melirik jam, pukul sebelas siang. Dia bolos sekolah setelah terlelap karena usapan tangan Hazel di kepalanya.

Hazel.

Shaga terburu-buru keluar dari kamarnya di ikuti Panpan, dia segera membuka pintu kamar samping, kamar yang tiga hari ini Hazel tempati selama tinggal bersamanya. Kamar itu kosong dan rapi, hanya samar harum Hazel saja yang bisa Shaga temukan di sana.

Aku harus pulang, Ga.

Jadi,gadis itu benar-benar pulang? Pergi meninggalkannya?

Shaga rasakan dada nya nyeri lagi, bahkan lebih sesak dari sebelumnya. Mungkin, Hazel benar, Shaga butuh Dokter untuk memeriksa keadaannya.

Seseuatu yang lembut, halus, dan menggelitiki kakinya, membuat Shaga menunduk. Mendapati Panpan sedang bermanja di bawah sana, lelaki itu membungkuk lantas menggenodong kucing bulat tersebut. Bukan hanya dirinya, bahkan Panpan pun Hazel tinggalkan? Kenapa tega sekali?

Shaga masuk lagi ke kamar dan kembali berbaring masih dengan Panpan dalam dekapannya. Berharap nyeri di dada nya bisa berkurang kalau dia istirahat dan diam saja. Tapi sebenarnya, dia tidak berani turun ke bawah, dia tidak akan sanggup jika tidak menemukan Hazel di ruang keluarga atau di dapur. Ah benar, dapur, apakah Hazel ada di sana?

Mungkin saja gadis itu belum pergi dan sekarang sedang membuatkan bubur untuknya, Hazel selalu khawatir, cemas, dan gerak cepat jika Shaga sakit, bukan? Shaga tersenyum dengan pemikiran itu, mungkin dia harus menunggu sekitar setengah jam di sini, berpura-pura tidur dan akan bangun ketika Hazel menyentuh keningnya.

Shaga pejamkan mata, sambil mengelus kepala Panpan. Entah berapa lama dia begitu, karena kini dengkuran halus mulai terdengar dari si bulat di pelukan. Panpan sudah tidur nyenyak, berbeda dengan Shaga yang masih terjaga dengan dada berdebar keras karena cemas.

Sudah setengah jam, kah? Shaga buka kelopak matanya dan melirik jam. Pukul sebelas lebih tiga lima, baiklah, lima menit lagi mungkin Hazel akan datang. Maka Shaga pejamkan mata lagi, menunggu dengan cemas sambil berpikir, apa yang harus dia katakan jika Hazel sugguhan masih di sini?

Beberapa saat kemudian, yang dia tunggu tak kunjung datang. Sudah sepuluh menit, tapi Hazel belum juga mengetuk pintu nya. Shaga terkekeh pahit, gadis itu sungguhan pergi?

Shaga embuskan napasnya yang terasa berat hanya untuk melonggarkan dada nya yang terasa penuh dan menyesakkan. Perlahan, dia melepas Panpan tanpa mengusik tidurnya. Lantas Shaga berguling ke sisi kiri sambil memegangi dada, menepuk-nepuknya dengan kepalan tangan, dengan harapan sakit di balik dada sana bisa hilang.

Namun sayang, harapan tinggal harapan karena saat matanya tak sengaja menatap pada nakas, dada nya berdenyut lagi, menyakitkan, di sana ada figura berukuran sedang berisi foronya dengan Hazel, lengkap bersama Panpan juga yang sengaja mereka jepit dengan pipi.

Di foto itu Hazel tampak tersenyum lebar, matanya berbinar, bolehkah Shaga beranggapan bahwa gadis itu pernah bahagia dengannya? Lantas kenapa Hazel pergi sekarang?

Getaran panjang dari ponselnya yang ia simpan di nakas sebelah kanan membuat Shaga beranjak dari kasur, itu pasti Hazel, pikirnya. Namun lagi-lagi tebakannya salah, ternyata itu panggilan dari Alef. Shaga biarkan panggilan itu sampai mati, lalu tak lama ada sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.

SHAGA (SELESAI)Where stories live. Discover now