SHAGA || THIRTY SIX

68.5K 10.5K 2.3K
                                    

Halo!


Happy Reading...

Jangan lupa vote dan komen 🤗

***

Kematian, adalah kabar yang selalu berhasil membuat sebagian orang takut, sebagian beranggapan bahwa itu adalah mimpi buruk. Dan sebagian dari kebanyakan orang terdekat, kematian bagaikan sesuatu yang meruntuhkan Dunia mereka.

Shaga pernah melihat seseorang hancur atas kematian orang terdekatnya. Orang itu bersedih, menangis, bahkan meraung seperti orang gila tatkala jasad orang terdekatnya perlahan hilang tertimbun tanah.

Shaga iba melihatnya, hanya itu. Tapi siapa sangka, hari ini dia mengalami bagaimana dunia nya terasa runtuh kala mendengar kabar bahwa orang yang Shaga sayangi, orang yang pernah berkuasa penuh atas hati Shaga, orang yang menjadi alasan Shaga kuat, orang yang pernah menjadi penyemangat hidup Shaga, pergi selama-lamanya. Dan itu sangat menyakitkan sekali.

Natasya, di kabarkan bunuh diri di kamarnya sendiri dengan cara menyiksa diri. Tidak aneh sebenarnya, sudah Shaga bilang, Natasya sering menyakiti diri sendiri saat dia tertekan oleh suatu masalah. Dan Shaga selalu takut, jika Natasya akan berbuat lebih, maka dari itu, dia akan berlari seperti orang gila ketika Natasya meneleponnya dengan isak tangis mengatakan bahwa sedang membutuhkan nya dan sedang tidak baik-baik saja.

Dan harusnya, Shaga lakukan itu juga saat kemarin malam. Saat Natasya coba meneleponnya dan mengirimnya pesn untuk bertemu karena gadis itu benar-benar membutuhkannya. Harusnya Shaga bisa sedikit peduli, setidaknya menjawab panggilan dari Natasya satu kali saja, mungkin hal itu bisa menyelamatkan nyawa gadis itu. Bukan malah mengabaikan panggilan itu karena rasa kecewa yang masih ia rasa.

Lalu, kalau tidak sedang dalam rasa kecewa, maukah Shaga menjawab telepon Natasya?

Rasanya juga tidak, dia terikat janji dengan Hazel untuk tidak peduli pada Natasya sekalipun gadis itu sekarat, dan Shaga melakukannya. Dan sekarang..., kalau boleh jujur, Shaga menyesal. Menyesal karena abai terhadap Natasya, padahal dialah yang paling tahu bahwa Natasya memang serapuh itu.

Shaga tertunduk dalam, akhirnya membiarkan tetesan air mata itu turun juga mengenai tanah gembur di bawahnya. "Maafin aku, Nat," gumamnya penuh sesal. Di liriknya figura depan nisan. Nisan bertuliskan nama Natasya. Shaga raih figura itu untuk memeluknya erat seolah yang dia dekap adalah raga aslinya.

Terbayang lagi, betapa banyak kebaikan Natasya padanya. Dan sungguh Shaga merasa kini dia adalah seorang bajingan, yang melupakan seribu kebikan gadis itu hanya karena beberapa kesalahan.

Shaga jadi berandai-andai, kalau saja dia tidak menjauh dari Natasya, apakah gadis itu masih bisa dia lihat sekarang? Kalau saja dia tidak mengabaikan Natasya, apakah gadis itu masih mengganggunya sekarang? Kalau saja dia tidak menerima perjanjian dari Hazel dengan syarat menjaga jarak dari Natasya, apakah bisa dia menyelamatkan gadis itu seperti biasa?

Hazel.

Satu nama itu membuat Shaga menatap lurus ke seberangnya, di mana Hazel tengah berjongkok dan menatap datar pada pusara Natasya. Tidak ada sedikitpun gurat kesedihan di wajah gadis itu, tidak ada jejak air mata setetespun di sana. Shaga terkekeh dalam hati, bagaimana bisa dia mengharapkan Hazel akan bersedih atas kematian kakaknya? Hazel sendiri yang bilang bahwa sekalipun Natasya sekarat, gadis itu tidak akan peduli.

Shaga teringat pembicaraannya nya tadi, bahwa lima belas menit sebelum meninggal, Natasya sempat menelepon rumah Hazel. Namun panggilan tersebut di matikan oleh Hazel sebelum sempat Natasya bicara.

Itulah yang Shaga dengar dari Lilian saat mereka di rumah duka sebelum berangkat ke pemakaman.

Setelah menelepon Shaga, ternyata gadis itu sempat menelepon Hazel. Tapi kenapa Hazel menutup panggilan itu? Se-tidak peduli itukah Hazel terhadap kakaknya?

"Shaga, ayok kita pulang." Ranti, yang berjongkok di sampingnya menepuk penuh perihatin pada Shaga yang tampak sekali terpukul. Wanita itu menatap iba pada Shaga yang hanya diam dengan air mata terus keluar tanpa sadar. "Nak..."

"Kalian bisa duluan, aku masih mau di sini," jawab Shaga.

Hanya tinggal keluarga Shaga, Hazel, Lilian dan Anthon yang tertinggal sekarang. Pemakaman Natasya telah usai dua puluh menit lalu. Pemakaman yang hanya di hadiri orang terdekatnya karena Lilian membatasi pelayat untuk ikut ke pemakaman.

Bukan hanya itu, Lilian juga memberikan batasan pada siapa saja yang boleh melihat jasad terakhir anaknya. Dan beruntunglah Shaga mendapatkan kesempatan itu. kesampatan terakhir untuk melihat Natasya nya. dan saat itu juga hati Shaga seolah remuk, melihat kondisi jasad yang jauh dari kata baik. Banyak luka di wajah, sekitar kepala, juga tangan dan kaki. Natasya nya yang malang, sungguh Shaga sangat menyesal karena tidak bisa menyelamatkan gadis itu.

"Ini kasus bunuh diri, kenapa nggak lapor polisi?" suara tenang dan dingin milik Hazel terdengar. membuat semua yang ada di sana menaruh atensi pada gadis itu.

"Dan membiarkan kematian anak saya menjadi konsumsi publik?" dengkus Lilian. "Hidup anak saya sudah sulit, saya tidak mau mempersulitnya bahkan setelah mati. Biarkan dia mati dengan tenang."

"Tapi bisa aja dia nggak bunuh diri."

Lilian mendecih, menatap bengis pada Hazel yang masih saja tenang. "Perlu saya beberkan bukti bahwa anak saya mengalami depresi dan pernah mencoba bunuh diri beberapa kali? Perlu, agar kamu puas?"

"Bukan begitu tap—"

"Hazel." Shaga memperingati tajam. Tidak ingin ada perdebatan di atas makam.

Lilian tersenyum miring. "Lagipula kalau kasus bunuh diri anak saya di laporkan pada polisi, mungkin saja kamu bakal terseret ke dalamnya, Hazel."

"Maksud kamu?!" sentak Ranti tak terima. "Anak saya tidak sedikitpun terlib—"

"Hazel mematikan sambungan telepon nya dengan Natasya, padahal belum sempat anak saya bicara. Siapa yang tahu, bahwa saat itu anak saya ingin meminta pertolongan?" jelas Lilian. "Hazel adalah orang terakhir yang Natasya hubungi malam itu. Dan pihak polisi pasti akan menjadikan dia saksi."

Hazel terdiam dengan wajah tenang, tapi tidak ada siapapun yang tahu bahwa tangannya terkepal erat di bawah selendang yang dia kenakan. Matanya menatap datar pada Lilian, lalu senyum miring perlahan terbit dari sudut bibir kirinya. "Orang yang merasa salah biasanya akan banyak bicara," gumam gadis itu pelan. Sangat pelan sampai hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri saja.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya, hanya hening yang membuat desau angin terdengar lebih berisiki dari seharusnya. Shaga tertunduk lagi, menatapi tanah gembur yang penuh dengan bunga yang dia tabur.

Entah apa yang ada di pikiran cowok itu karena cukup lama Shaga diam, sampai tidak sadar bahwa tidak ada siapapun lagi di sana, dan hanya ada dirinya sendiri, pikirnya. Namun ternyata Shaga salah, karena beberapa menit berlalu, saat tetesan air hujan turun dari atas, saat itu juga Shaga rasakan kehadiran seseorang di belakangnya sebelum kemudian dia terdongak ke atas, menatap payung hitam yang melindunginya dari hujan yang mulai deras.

Tidak perlu berpikir dan bertanya siapa orang itu, karena dari harumnya Shaga tahu, bahwa Hazel lah orangnya. "Kamu bisa pulang duluan," ucap Shaga sambil kembali menunduk.

"Aku nggak akan pulang tanpa kamu."

Shaga berdiri tiba-tiba membuat Hazel harus mundur beberapa langkah dan hampir terjatuh kalau saja dia tidak segera mengendalikan diri. Shaga berbalik badan, menatap Hazel datar. "Aku minta waktu sebentar, buat di sini nemenin dia," ucap Shaga dengan bibir menipis. "Jangan bikin aku ngerasa bersalah lebih besar lagi, Elysia."

***

To be continued...

Published : January 26, 2022.

See you on next chapter...



SHAGA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang