32. Extra Part

17.7K 980 16
                                    

Raka berhasil memasukkan mobilnya, ke halaman rumah yang sudah cukup lama tidak ia datangi. Menatap bangunan rumah minimalis, yang didominasi warna cat putih dan abu-abu itu dengan perasaan bingung.

Kakinya berjalan ke arah pintu utama lalu membukanya. Tanpa basa-basi dan tidak perlu menunggu di persilahkan tuan rumah, laki-laki itu beranjak mendekat ke sebuah kamar yang paling besar.

Tubuhnya sedikit menegang kala mendapati isi kamar yang sangat berantakan. Potongan nanas muda yang barangkali baru saja dibanting bersama piringnya, tumpahan air soda yang berserakan di lantai, serta beberapa pil yang berceceran.

Ia terus berjalan mengabaikan kondisi kamar bak kapal pecah, lalu membuka toilet di pojok ruangan. Tepat seperti dugaannya, Erika meringkuk di bawah shower hingga tidak menyadari kedatangan laki-laki itu.

Raka langsung mematikan aliran air yang tengah mengguyur kembarannya, barangkali sejak semalam. Membuat perempuan itu sontak menoleh dan melotot saat tahu Raka berdiri di sampingnya.

"Tubuh Lo udah pucat, cabut sana!" Decak laki-laki itu membuat Erika melengos.

"Keluar Lo! Berani-beraninya masuk tanpa permisi."

"Mau jalan sendiri apa gue gendong? Miris gue lihat Lo begini." Decaknya membuat perempuan itu semakin kesal.

"Pergi aja sana. gue bisa urus hidup gue sendiri." Mendengar saudaranya yang masih terus keras kepala, Raka dengan cekatan membawa tubuh Erika ke ranjang.

"Sialan gue masih telanjang brengsek!"

"Cuma tubuh Aura yang bikin gue nafsu, jadi lo tenang aja." Angkuh laki-laki itu sembari melempar handuk dan baju rumahan pada Erika.

"Lagian Lo ngapain sih ke sini, ganggu ketenangan hidup gue aja."

Raka mendengus, "hidup Lo tenang? Kalau tenang harusnya nggak mencoba mati dengan hal konyol begini." Sindirnya sambil membereskan kekacauan di kamar itu.

"Jangan mencoba mencampuri urusan gue Ka."

"Gue udah dapat rumah sakit bagus yang bisa bantuin Lo!" Timpal Raka berusaha mengabaikan ancaman Erika.

"Nggak perlu, gue bisa cari cara sendiri buat musnahin janin ini."

"Gugur nggak?!"

Erika terdiam, perempuan itu langsung bungkam dengan pertanyaan Raka yang tentu jawabannya belum ada. Tidak lama kemudian, ia justru menitikkan air mata.

"Kalau Lo kira gue tenang-tenang aja, enggak Ka. Jujur gue hancur dengan keadaan ini."

"Gue nggak pernah begini sebelumnya. Ini pertama kalinya gue ceroboh sampai tumbuh janin di rahim gue."

"Sumpah gue nggak tahu harus gimana. Bahkan dengan segala cara yang udah gue coba ternyata nggak ada hasilnya."

"Ganti baju, benerin penampilan Lo dan ikut gue."

Erika yang memang sudah tidak tahu harus berbuat apa, memilih tunduk dan pasrah pada perintah Raka. Perempuan itu yakin Raka pasti punya solusi untuk dirinya.

***

Erika mendadak gugup kala mobil saudara laki-lakinya berhenti tepat di depan rumah sakit. Perasaannya kembali berantakan, segala macam pikiran kini berkecamuk di otaknya.

Apa Raka benar-benar ingin membantu aborsi? Tapi kenapa justru datang ke rumah sakit sebesar ini? Apa mungkin dokter di sini mau membantunya melakukan perbuatan dosa?

"Turun!"

"Ka, Lo yakin?"

"Kenapa? Lo nggak yakin sama gue?"

"Bu-bukan begitu.... Ta-tapi??"

"Turun sebelum ada orang yang lihat." Raka memang sengaja meletakkan mobilnya di tempat yang paling sepi dan jauh dari lalu lalang orang.

"Dengan ibu Erika ya? Perkenalkan nama saya dokter Beni. semalam pak Raka sudah menghubungi saya, jadi bisa langsung masuk ke ruangan." Ucap sang dokter dengan sangat ramah.

Erika menatap Raka yang tampak santai. Berbeda sekali dengan dirinya yang mati-matian menahan panik.

"Dokter Beni adalah spesialis kandungan di rumah sakit ini. Dulu Aura juga ditangani beliau." Bisik Raka pelan saat Erika berjalan ke tempat tidur.

"Silahkan berbaring, saya akan mencoba memeriksa kondisi janinnya dengan melakukan USG." Perempuan itu tergagap, merasa tidak punya pilihan lain ia akhirnya menurut.

"Bayinya sehat, detak jantungnya terdengar jelas kan?" Sahut dokter Beni dengan nada tenang.

Erika sejenak tertegun, "Titik kecil ini, adalah janin yang akan tumbuh seiring berjalannya waktu."

"Kalian bisa melihat dengan jelas, kan?" Raka mengangguk cepat sembari tersenyum. Berbeda dengan Erika yang terus diam dengan wajah pucatnya.

"Usia kandungan kamu sepertinya baru memasuki lima Minggu, masih sangat rawan. Jadi saya sarankan untuk tidak melakukan aktivitas yang berat."

"Jangan kecapekan dan lebih dijaga lagi pola makannya." Perempuan itu tentu semakin bingung.

"Dari hasil pemeriksaan tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Hanya saja, sepertinya Bu Erika kurang asupan makanan, sering mual ya?"

Erika sebatas mengangguk, dia benar-benar gugup.

"Nanti saya tambahkan vitamin di resepnya untuk membantu menambah nutrisi. Tolong benar-benar dijaga kandungannya ya, Bu."

"Berarti tidak perlu menginap di rumah sakit kan, dok?" Tanya raka.

"Tidak perlu, semua baik-baik saja kok. Saya tuliskan jadwal periksa lagi untuk beberapa minggu ke depan."

"Maksud Lo apa sih ka?"

"Kenapa?" Tanya laki-laki itu dengan raut santai, sembari meletakkan segelas susu di hadapan Erika.

Sepulang dari rumah sakit, Raka mampir ke minimarket membeli beberapa merek susu hamil, buah dan banyak makanan untuk sang kembaran.

"Gue minta Lo buat cari dokter yang bisa bantu aborsi. Kenapa Lo malah ngajakin gue periksa dan kasih gue beginian?" Tunjuk perempuan itu pada segelas susu di depannya.

Raka diam beberapa saat lalu menatap kembarannya dengan lembut

"Lo beneran nggak mau jujur ke gue siapa orang yang udah bikin Lo hamil?" Erika mendengus sembari melotot tajam ke arah laki-laki di depannya.

"Itu sama sekali nggak penting, yang jelas sekarang gue harus cari cara biar janin ini hilang."

Raka menghela nafas, "Lo sadar nggak sih dosa kita udah banyak banget. Lo bisa bayangin nggak gimana banyaknya dosa kita nanti kalo sampai Lo gugurin dia." Jemari Raka hampir mengusap perut Erika namun berhasil ditampik sang pemilik.

"Sekarang bukan waktunya mikirin dosa!"

"Pertahankan dia Rik, gue yang akan menjamin semuanya. Kondisi Lo aman, nggak akan ada yang tahu Lo hamil asal jangan pergi ke mana-mana."

"Ka, gue nggak mau punya anak."

"Hanya sampai dia lahir Rik, setelah itu biar gue sama Aura yang jagain dia. Biar gue dan Aura yang menjamin hidupnya, gue janji nggak akan bikin Lo terbebani. Lo mau minta apa aja dari gue silahkan, tapi gue minta tolong jangan gugurin janinnya."

"Ka,"

"Rik, gue tahu kita memang bukan orang baik. Ini memang dosa yang sudah biasa kita alami sehari-hari, gue paham betul situasi ini sangat akrab dan dekat dengan orang-orang macam kita. Tapi Rik, anak itu berhak melihat dunia, Tuhan kirim dia dalam situasi seperti ini pasti punya rencana. "

"Gue juga berpikir, mengandung anak selama sembilan bulan bukan hal yang mudah. Pasti menyedihkan sekali terutama buat Lo yang terbiasa party sana sini."

"Tapi Rik, gue minta Lo turuti ini. Gue janji nggak akan merepotkan Lo lagi setelah dia lahir."

Erika terdiam, tawaran Raka memang bukan pilihan yang sepele. Tapi barangkali dengan menuruti, hidupnya ke depan akan jauh lebih mudah. Ketimbang nekad menggugurkan janin itu, dan menjalani hidup dengan menanggung rasa bersalah. Ah, Erika menyesal! Kalau saja tahu hal ini akan terjadi, dia pasti tidak akan sudi datang ke pesta malam itu.

Save The Date!Where stories live. Discover now