6

11.9K 1.4K 30
                                    

Setelah kejadian itu, hidup Dhimas tidak pernah tenang. Meski apa yang dia inginkan sudah sesuai rencana, nyatanya perasaan laki-laki itu justru semakin berantakan.

Selepas Aura pergi, Dhimas tidak bisa tidur semalaman. Ketika pagi hari tiba, ia berusaha menemui Aura di unitnya, tapi ternyata apartemen itu justru kosong, bahkan sudah datang penghuni baru yang menyewa.

"Kalau boleh tahu, penghuni lamanya pindah ke mana ya?" Tanya Dhimas.

"Maaf saya kurang tahu pak. Semalam setelah selesai transaksi, mbak Aura segera membereskan barangnya lalu pergi." Ujar si penyewa kala itu.

Dhimas menghela nafas pelan, ini sudah lebih dari lima bulan ia tidak tahu keberadaan Aura. Dua bulan pertama, laki-laki itu kerap mendatangi kantor tempat Aura bekerja, hanya demi bertemu sang mantan. Tapi sialnya, cara itu tidak pernah berhasil.

Tiga bulan kemudian, pihak kantor mengkonfirmasi jika Aura sudah mengundurkan diri. Dan teman-temannya tidak ada yang tahu dia pindah ke mana. Barangkali sebenarnya mereka tahu, tapi berusaha menutupi fakta dari Dhimas. Nomor ponsel perempuan itu sepertinya ganti, beberapa kali Dhimas menghubungi namun tidak pernah tersambung.

"Sayang, kamu ngalamunin apa sih?" Dhimas terperanjat saat tunangannya tiba-tiba mendatangi kantor.

Ya, seminggu setelah kejadian malam itu. Dhimas dan pacarnya resmi bertunangan. Namun, banyak hal yang menganggu pikiran laki-laki itu, hingga akhirnya dia menjalani semua setengah hati.

"Nggak pa-pa, lagi banyak kerjaan aja. Kamu tumben datang ke sini?" Tanya Dhimas berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mampir, aku tadi baru pulang dari rumah temanku, kebetulan searah sama kantor kamu." Ujar perempuan itu sambil meletakkan bingkusan di meja.

"Oh, terus bawa apa itu?"

"Ini brownis. Enak banget deh sayang. Tadi temanku beli di ruko dekat rumahnya. Katanya baru buka dua bulan ini." Dinda, tunangan Dhimas membuka plastik dan mengeluarkan sekotak brownis.

"Aku potongin ya." Sahutnya pelan.

"Boleh,"

"Nih," Sepotong brownis yang Dinda berikan langsung Dhimas makan.

"Enak, kan?" Dhimas mengangguk sembari mengunyah pelan-pelan.

Ada perasaan aneh, saat makanan yang identik dengan warna coklat kehitaman itu masuk ke indra pengecapnya. Kaya nggak asing sama rasanya? Ujar laki-laki itu. Memori otaknya berusaha mengingat-ingat cita rasa brownisnya.

"Saking enaknya sampai nambah." Celetuk Dinda diiringi tawa.

Dhimas menatap box putih polos tempat brownis yang Dinda bawa tadi, matanya semakin fokus pada stiker kecil di tengah-tengah box.

"Ini nama toko kuenya ya, sayang?"

"Iya, Aura cake & Bakery! Ada alamatnya juga di situ. Tulisannya kecil-kecil, tapi aku udah tahu tempatnya, kapan-kapan kita beli kue ke sana yuk." Dhimas mematung, pantas saja rasa brownisnya tidak asing.

Aura, yah perempuan itu! Bagaimana Dhimas bisa lupa, bahkan keduanya dipertemukan oleh brownis beberapa tahun silam.

"Mbak jalannya hati-hati dong!" Dhimas mendengus keras kala Aura tidak sengaja menabraknya.

"Maaf ya mas, saya buru-buru sampai nggak fokus ke jalan."

"Saya maafin, tapi lihat brownis pesanan mama saya hancur begitu. Mana toko kuenya sudah tutup."

"Aduh, gimana dong? Oh, kalau nggak gini aja, mas ikut saya ke rumah biar saya buatkan brownis yang baru. Saya janji nggak akan lama." Aura terlihat panik kala itu, sampai akhirnya Dhimas iba dan menyetujui rencananya.

Save The Date!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang