23

12K 1.3K 33
                                    

"Benturan keras yang terjadi pada Aura membuatnya mengalami pendarahan hebat." Dokter Beni menjeda ucapannya.

"Dan, janinnya tidak bisa diselamatkan." Lanjut pria itu.

Tentu bukan hanya Raka yang terpukul, bahkan dokter Beni sendiri tidak menyangka Aura akan kembali lagi ke rumah sakit secepat ini. Dengan kondisi yang semakin parah.

"Tapi istri saya baik-baik saja kan dok?"

"Rahim Aura mengalami gangguan akibat benturan dibarengi dengan kegugurannya. Apalagi pendaharan hebat yang baru saja dia alami, berpengaruh besar pada bekas operasi pengangkatan salah satu indung telurnya beberapa tahun silam." Jelas Dokter Beni dengan raut merasa bersalah.

"La-lalu, bagaimana penanganannya?" Raka mendadak panik.

"Kami akan melakukan langkah lebih lanjut, tapi saya perlu meminta persetujuan anda sebagai suami Aura."

"Persetujuan?"

"Iya Pak Raka, saya sarankan untuk segera dilakukan langkah pengangkatan rahim secara keseluruhan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi. Mengingat kondisi istri Anda sangat mengkhawatirkan."

"Sebenarnya, dulu kami sempat meminta persetujuan pada Aura untuk mensterilkan rahimnya pasca operasi. Mengingat keadaan rahim Aura setelah operasi sangat rawan. Tapi Aura menolak, dia selalu percaya akan keajaiban Tuhan, dan saya sangat mengerti kondisinya kala itu."

"Tapi untuk saat ini, saya tetap menyarankan agar langkah pengangkatan rahim secara keseluruhan dilakukan. Jangan sampai istri anda justru merasa sakit terus-terusan nantinya." Dokter Beni menjelaskan semua proses yang akan dilakukan, termasuk juga efek samping serta dampak yang akan timbul dari operasi ini.

Raka menjadi tidak fokus, laki-laki itu memegang surat persetujuan yang dokter Beni berikan dengan tangan gemetar. Bukan hal yang berat untuk menandatanganinya, toh bukan masalah bagi Raka jika memang tidak akan mendapat keturunan dari Aura.

Tapi masalah terbesarnya, mungkin setelah ini Aura akan sangat marah karna Raka memutus segala Asa yang selama ini perempuan itu rajut. Rasanya, Raka tidak akan pernah siap melihat kehancuran sang istri.

***

"Ka," Erika mengusap-usap bahu saudara kembarnya, yang sejak tadi berdiri tegap di depan ruang operasi.

Sejak beberapa jam setelah dilakukan observasi, kondisi Aura semakin drop. Dokter dan tim medis terus mendesak keputusan Raka. Laki-laki itu tentu ingin menyelematkan nyawa sang istri, meski dengan segala resiko yang harus dia tanggung setelah ini.

"Gue bawain lo makanan, ayo makan dulu. Dari semalam lo belum makan." Rayu Erika untuk yang ketiga kalinya.

"Taruh aja Rik, nanti gue makan kalau udah lapar." Jawab Raka singkat. Lagi-lagi, kata-kata itu yang ia lontarkan. Erika sampai jengah mendengarnya.

"Ka, lo jangan kaya gini dong! Kita berdoa biar operasi Aura lancar, tapi lo juga nggak boleh lupa jaga kondisi." Tukas Erika sudah habis kesabarannya.

Hingga tidak lama kemudian, Raka menurut. Laki-laki itu duduk lesu sembari menerima kotak makan yang Erika siapkan.

"Istri gue lagi berjuang keras di dalam sana Rik!" Ucap Raka dengan satu tetes air mata yang tidak mampu laki-laki itu sembunyikan. Satu suapan nasi berhasil masuk ke perut Raka, meski Erika tahu, susah payah laki-laki itu menelannya.

"Lo hancur banget Ka,"

"Gue nggak pernah lihat lo sengenes ini. Lo cinta banget ya sama Aura?" Jujur Erika sendiri merasa heran. Raka adalah laki-laki bajingan, yang selama ini dia kenal tidak pernah tulus pada perempuan. Tapi sekarang, Erika melihat sendiri Raka menjadi bucin garis keras pada sang istri.

Save The Date!Where stories live. Discover now