25

11.5K 1.3K 22
                                    

Aura mengerjapkan matanya pelan, membuka dua bola mata itu hingga mampu melihat seisi ruangan yang selama beberapa hari ini ia tempati.

Sungguh tidak nyaman berada di ruang inap rumah sakit. Meski kamarnya sangat mewah, namun rasanya lebih enak tidur di ranjang rumah sendiri. Eh, keliru... Rumah Raka maksudnya.

Perasaan tidak nyaman itu perlahan terkikis, suara tangisan bayi di luar ruangan sontak menarik perhatian Aura.

"Kaya ada bayi nangis di depan ruangan?" Serunya sambil mengernyit, perempuan itu takut jika ini hanyalah kehaluan yang muncul, karna dia sedang terpukul setelah kehilangan janinnya.

Kegiatan mencuri dengar itu semakin membuat Aura penasaran. Dengan gerakan sangat pelan, ia membawa tiang infusnya mendekati arah pintu. Berjalan dengan sedikit tertatih, Aura berhasil menekan handle pintu dan melongok keluar.

Dirinya takjub saat mendapati seorang ibu paruh baya, tengah berusaha menenangkan bayi di pangkuannya. Bayi itu terus menangis entah karna apa, ibu paruh baya yang tengah duduk itu tampak gelisah dan kerepotan.

Aura berjalan mendekati kursi panjang dan duduk di samping ibu tadi.

"Ma-maaf bu, kalau boleh tahu cucunya kenapa?" Tanyanya cepat.

"Ah, maaf jika tangisannya mengganggu ketenangan anda." Ujar ibu tadi dengan raut tidak enak hati, Aura tersenyum sembari menggeleng.

"Sama sekali tidak mengganggu kok bu, hanya kebetulan tidak sengaja mendengar tangisan bayi ini, karna penasaran akhirnya saya keluar. Emm, mungkin cucunya haus." Tebak Aura.

"Ini bukan cucu saya, ini anak saya." Ujar wanita itu diiringi tawa kecil.

"Ah, maaf saya kira ini cucu ibu." Aura lebih tidak enak hati.

"Tidak pa-pa, memang di umur yang sudah setengah abad ini, saya lebih pantas menggendong cucu ketimbang seorang anak." Candanya membuat Aura terdiam, bingung mau berkata apa.

"Kalau boleh tahu, ibu sedang apa duduk di sini?"

"Kami sedang menunggu suami saya. Kebetulan setelah lahiran, baru hari ini kami diijinkan pulang. Suami saya masih mengurus administrasi, kami memilih menunggu di sini karna di luar terlalu bising." Jelas sang ibu, Aura mengangguk pelan.

"Pasti sangat senang masih bisa melahirkan seorang anak di umur segini." Celetuknya tanpa sadar.

Tatapan wanita paruh baya tadi mendadak fokus pada wajah Aura yang terlihat sendu.

"Saya dan suami berjuang keras untuk mendapat seorang anak. Bahkan kami menikah hampir tiga puluh tahun, dan ini kali pertama untuk saya bisa menggendong bayi dengan selamat." Aura terbelalak.

"Ma-maaf bukan maksud gimana-gimana, Tapi... kalau boleh tahu ini adalah anak pertama ibu?" Wanita itu mengangguk cepat.

"Sejak awal menikah, saya dan suami ingin segera memiliki momongan. Namun sepertinya, Tuhan berkehendak lain. Berbagai upaya telah kami lakukan, sampai tujuh tahun berjalan kami belum juga mendapat momongan." Wanita itu menjeda ucapannya, sembari memberikan susu yang diletakkan dalam dot kecil untuk sang buah hati.

"Memasuki usia pernikahan ke sepuluh tahun, saya hamil tapi keguguran. Beberapa tahun kemudian, saya hamil lagi namun bayinya lahir prematur dan nyawanya tidak selamat." Aura mematung mendengarnya.

"Selama menikah, jika dihitung dengan teliti, saya sudah hampir tujuh kali keguguran dan tiga kali melahirkan anak yang tidak selamat." Kedua mata Aura berkaca-kaca mengetahui perjuangan wanita di sampingnya.

"Sedih sekali rasanya jika mengingat-ingat masa itu. Tapi saya bersyukur, di umur segini Tuhan masih memberi kepercayaan untuk saya dan suami."

Aura menghela napasnya yang sesak, "Ibu beruntung karna akhirnya bisa memiliki satu buah hati yang menggemaskan." Aura menilik pada wajah sang bayi yang asyik menyedot susu.

Save The Date!Where stories live. Discover now