19

12.2K 1.3K 21
                                    

"Erika!" Sapa Aura, pada iparnya.

"Hai Ra!" Erika berjalan mendekat ke arah sofa, lalu meletakkan beberapa barang bawaannya.

"Kamu ke mana aja? Lama banget nggak ke sini."

"Liburan dong Ra, kebetulan tiga minggu ini gue ada kerjaan di Sumba. Sekalian jalan-jalan!" Seru perempuan itu sambil menunjukkan salah satu foto selfienya.

"Enak banget sih."

"Enak gimana, di sana lebih banyak kerjanya ketimbang main. Capek banget Ra, gue juga kangen sama si kembar." Erika mendengus sembari celingukan ke segala arah.

"Pada ke mana mereka?"

"Ada di kamar," Jelas Aura.

"Maafin Raka waktu itu ya, Rik." Lanjutnya.

"Udah biasa kali Ra, Raka emang begitu kalau sama gue. Lagian gue curiga, kayaknya Raka yang ngasih surat tugas ke Sumba deh."

"Maksudnya?" Aura terbengong.

"Ya, biar gue nggak ke sini, dia takut kalau gue kasih pengaruh buruk buat lo." Mendengar itu membuat Aura tertawa geli.

"Eh bentar, kamu di sana tiga minggu ya?" Sela Aura.

"Kenapa Ra?"

"Engh-enggak, kamu lanjut main sama si kembar ya. Kalau mau makan ambil sendiri di meja. Aku mau ke kamar." Pamit perempuan itu membuat Erika mengangguk.

"Oke, Ra."

Aura bergegas menuju kamar, menutupnya pelan lalu beranjak membuka salah satu laci. Menatap tumpukan alat tes kehamilan di dalam laci membuat hati Aura nyeri.

Alat-alat itu Erika berikan tiga hari sebelum pernikahan dilaksanakan. Bahkan ia juga memberikan obat kuat dalam jumlah banyak. Sampai sekarang, Aura tidak pernah memberitahu Raka tentang kado aneh dari Erika.

Perempuan itu menghela nafas pelan, sembari menatap kalender kecil di depannya. Tepat tiga minggu lalu, dia melakukannya dengan Raka untuk yang pertama kali.

Hingga kini dirinya belum mendapati tamu bulanan. Jika dihitung lebih cermat, berarti sudah terlambat dua minggu dari jadwal menstruasi biasanya.

Dengan tangan gemetar, perempuan itu mengambil tiga buah alat tes kehamilan, lalu membawanya ke kamar mandi. Setelah memasukkan ketiga alat tadi ke dalam cairan urin, Aura bersandar di tembok demi menanti hasil dengan harap-harap cemas.

Air matanya tidak bisa ditahan kala menatap ketiga alat itu, semua hasil tes hanya menunjukkan garis satu. Padahal Aura begitu berharap ada keajaiban yang berpihak padanya. Tangannya dengan cepat meremas alat-alat yang baru saja digunakan. Perasaannya hancur lebur, mendadak lemas merasa segala harapannya pupus begitu saja.

Ingin sekali menepis dianogsa dokter yang menanganinya beberapa tahun silam. Tapi kenyataan berhasil menamparnya untuk sadar diri. Ah, Ya Tuhan.... Kenapa sesakit ini?

"Ra," Aura mengerjab lalu menoleh ke arah pintu. Sang suami berdiri tegap di sana dengan tatapan sulit diartikan.

Aura memalingkan wajah, merutuki kebodohannya kenapa tadi tidak mengunci pintu. Raka berjalan mendekat, lalu melongok ke tempat sampah di mana Aura membuang alat tes kehamilan tadi.

"Kenapa dibuang Ra?"

"Disimpan juga buat apa?" Celetuk Aura dengan nada ketus.

"Beberapa minggu lalu, saat kita melakukannya untuk pertama kali. Kamu pakai pengaman nggak?" Tanya Aura membuat Raka mengernyit.

"Seingatku enggak, skin to skin. Apa perlu diulang biar makin ingat." Jawab Raka dengan nada jahil.

Aura berdecak cepat lalu menggeleng.

Save The Date!Where stories live. Discover now