BAB 37 : Merah Muda dan Petaka

Start from the beginning
                                    

“Angkat.” Jeviar berkata tanpa suara.

Alih-alih menurut, Joanna berdiri seraya menggebrak meja dan menatap tajam manusia di seberang sana. “Gue cabut dulu.” lalu mengumpulkan rambutnya tinggi-tinggi guna diikat erat-erat. “Kalau kalian kepo kenapa gue masih jadi babunya setelah satu minggu. Itu karena gue nggak sengaja bikin retak layar i-pad dia sewaktu nganterin tasnya ke musholla di hari terakhir gue menjabat sebagai babunya. Padahal gue cuma berniat melakukan selebrasi dengan ngebanting tasnya ke lantai tapiㅡ” dia menarik napas sembari memejamkan mata seakan-akan mengambil jeda sebelum, “TAPI GUE JUSTRU NYARI PENYAKIT SEHINGGA BADAN PENUH BEBAN INI MALAH HARUS MENAMBAH MASA JABATAN BERUPA SEORANG BABU SELAMA DUA BULAN LAGI SEBAGAI GANTI RUGI I-PADNYA YANG SEHARGA GINJAL, SEKIAN! Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, saya pamit dahulu dikarenakan Tuan Muda telah menunggu, permisi.”

Err, Ghaitsa kira retaknya i-pad sang kembar kemarin ini akibat dari kecemburuan Jeviarㅡbiar ia beri tahu, cuek-cuek begitu Jeviar memilik sifat posesif bukan main, hanya saja raut datar menutupi semua rasa yang laki-laki itu rasakan. Ternyata pelaku sebenarnya ialah Joanna.

“Semoga Jojo nggak punya riwayat penyakit darah tinggi, deh, kasian marah-marah mulu karena Jeviar,” ucap Yezira, ikut tidak enak hati melihat sang teman harus kesulitan demikian.

Ghaitsa manggut-manggut. “Semoga dia  baik-baik aja, deh.”

🌙🌙🌙

“Aisa, lo kemarin kemana aja? Kok gue nggak liat lo seharian. Lo sakit? Atau ada suatu hal yang mendadak terjadi?”

Sebisa mungkin dia mengabaikan eksistensi gadis penggangu tersebut agar perasaan tenang yang ia genggam satu hari ini terjaga baik. Oleh karena itu Aubrey mengerucutkan bibir setiap kali lawan tak mengacuhkan eksistensinya. Beberapa sekon kemudian lantaran terus-terusan diikuti kemana diri melangkah, Ghaitsa mulai jengah dan sungkan menemukan orang-orang Atraxia mendapati dirinya bersama dengan Aubrey.

Dia berakhir mengambil derap panjang mencapai lorong menuju lapangan kemudian berbalik. “Lo. Ngeganggu.” Ghaitsa menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan agar emosi dalam raga netral. Bila tahu kejadiannya begini, lebih baik dia mengikuti Yezira ke ruang guru tadi. “Eksistensi lo bikin gue susah napas, Aubrey!”

Aubrey mengedip dan menunduk sekilas guna menerbitkan seulas senyum tipis. “Akhirnya gue denger lo manggil nama gue lagi, Sa,” kata gadis itu seraya menatap getir. “walaupun nggak dalam suasana konversasi terbaik, but it's okay. I can take it, selagi lo manggil gue dengan nama.”

“Loㅡ” Ghaitsa kehabisan kata-kata sehingga yang mampu dia lakukan kini ialah mengerang tertahan sambil menyugar rambut tidak habis pikir.

Aubrey menunjukkan senyuman defensif memuakkan itu kembali. “Jadi … kemarin lo kemana?”

“Gue nggak peduli akan afeksi yang sedang lo cari-cari, yang sedang lo minta-minta dengan cara mengemis demikian, Aubrey. Gue nggak peduli apalagi minat dengan cerita sedih omong kosong lo, dengan harapan sial lo itu. Demi Tuhan! Gue nggak peduli sama sekali jadi berhenti gangguin gue. Berhenti muncul di hidup gue. Berhenti datang lagi ke hidup gue karena lewat kehadiran lo, gue justru ngerasa makin mati. Karena muka lo dan nyokap lo nggak jauh beda, terlebih sifat kalian yang sama-sama benalu. Enyah lo dari hidup gue, tolong!”

Aubrey mengepal tangan kuat-kuat, amarahnya mencuat berbentuk urat-urat di leher. Dia menggertak gigi sesaat sebelum menyeru gondok. “Gue juga sama, gue berharap dia bukan nyokap gue. Gue berharap dia bukan orang yang nyakitin lo dan keluarga lo, terlebih-lebih nurunin bahkan secara nggak langsung ngajarin anaknya lewat tindakan nggak bener yang dia lakuin di depan anak dari balita sampai dewasa. Gue nggak pernah berharap insiden-insiden sialan dan berengsek begitu terjadi di kehidupan sekarang. Nggak pernah sekalipun, Ghaitsa. Nggak pernah gue berharap kita semua hancur!”

Gadis tersebut memandangnya penuh biru, seolah ingin mengemis satu pengertian darinya yang tetap stagnan. “Gue … gue cuma tau-tau terlahir ke dunia ini dan nggak bisa menolak dia jadi nyokap biologis gue.” Seraut wajah sukar itu seakan mengisyaratkan betapa berat hidup yang Aubrey jalani, sehingga ia mendengar sepenggal tambahan. “Gue dulu cuma anak remaja yang bahkan nggak mengerti tentang dampak di masa depan lewat tindakan gue karena nggak pernah diajarin seperti nyokap lo ngajarin lo, Ghaitsa. Kita berbeda, lo tau itu.”

Meski hujan badai nanti menghantam diri tanpa ampun dan retaknya tanah menjadi pertanda petaka tertinggi. Ghaitsa menolak untuk berempati maupun simpati terhadap sumber luka-luka basah dalam hati setiap kali mengingat bagaimana ia berjuang pulih sendirian.

Berperang seperti orang sinting di dalam kamar dingin.

Ia menabrak bahu lawan, cukup keras. “Mau lo masih anak-anak ataupun enggak, salah tetap salah. Lo tetap salah satu manusia yang paling gue benci. Nama lo tertera dengan tinta merah dalam daftar hitam hidup gue, Aubrey. Fakta itu nggak akan pernah berubah.”

Hai!Hello!Hey-yo!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hai!
Hello!
Hey-yo!

Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗

Diketik :

Rabu, 25 Mei 2022

Bubye-!

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now