1. Sampah Terpungut Terbuang

6.6K 438 13
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-

7 Maret 1919

Angkasa temaram pekat tatkala jubah kegelapan Dewi Nyx perlahan menyelimuti seperdua bagian Bumi. Seorang wanita menyedihkan beratasan kebaya dan kebawahan jarik kumuh terkena bercak lumpur sehabis hujan. Meringkuk sendirian di hadapan dinding ruko tua berdebu, seakan tak punya rumah. Terisak-isak di bawah naungan sinar pijar yang remang. Hindia baginya menakutkan.

Di tengah sunyi yang lagi menari-nari, terdengar dera langkah pantofel yang membuatnya kembali dirundung perasaan ketidakamanan. Sosok pemilik langkah itu semakin mendekat dan berhenti di depannya. Wanita itu dengan paksa menghentikan tangisannya, terganti dengan rasa takut yang membuncah. Ia takut, pada sosok yang menyeretnya jauh hingga ke tanah Meester Cornelis kembali menemukannya.

"Hei, ada apa?"

Meluruh lemas, mendengar suara bariton dari pemilik mulut yang tak lancar bahasa Melayu. Kepalanya terangakat perlahan dengan kaku, wajahnya cantik bagai mutiara yang baru tenggelam dalam pasir basah.

Perwira Eropa berjongkok gagah yang macam tengah mencemaskannya tanpa sebab. Batinnya seketika bertanya-tanya, mau apa dia? Kenapa dia nampak cemas? Sepanjang hidupnya, wanita itu tak pernah menjumpai lelaki Eropa dengan nada dan tatapan selembut dia.

"Kenapa kamu menangis?"

Wanita itu terdiam kaku, menelan salivanya. Berusaha menghindar, ia nampak tak berani melakukan kontak mata. Masih gamang, jikalau dia nantinya menatap wanita itu dengan tatapan penuh hasrat tak terbendung. Ia ingin kabur, sejauh mungkin, namun semua tenaganya telah terkuras, wanita itu belum makan dari pagi. Dia menoleh halus pada gang lebar sempit penuh genangan air di arah kanan yang cepat diamati perwira tadi.

Lantas tatapan sorot mata cokelat madu pria itu menatap lamat wanita kasihani ini. Ia mengerti. "Dari mana asalmu?" tanyanya lembut saat merasakan wanita itu semakin ingin menghindar.

Masih menunduk, dia menimbang. "Bandoeng ... " cicitnya menyahut.

Kepala sang perwira mengangguk pelan. "Namamu?"

"Sartika," gumam wanita itu samar disertai segukan.

Tanpa wanita itu sadari, sang perwira menyeringai kecil memandang puja pada parasnya yang sempurna meski dalam keadaan berantakan sekali pun. Pahatan cantik nan sempurna, kulitnya sawo matang yang membuat pria itu tertarik lantaran manis.

"Mooi ... " (Cantik)

Tak mengerti apa yang sedang Tuan itu ucapkan tadi, Sartika hanya bisa diam dengan kebingungannya.

"Punya tempat tinggal?" Seusai menggeleng patah-patah, Sartika menundukkan kepalanya, jari-jemari wanita itu memilin ujung kebaya yang ia pakai. Gugup, gelisah, bingung, takut. Tak tahu harus menyikapi pria di hadapan macam apa.

EdelweisWhere stories live. Discover now