“Lo tuh, kerasukan drakula! Main gigit seenaknya,” balas Kak Dylan yang ada di sisi meja yang lain.

“Rame ya, kalau ada Kak Dylan sama Moza di rumah,” timpal Kak Eghi yang sontak membuatku menoleh ke arahnya. Tatapan cowok itu kini terpusat pada Kak Shila yang tengah menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Kak Eghi. Tiba-tiba saja aku merasakan denyutan tidak mengenakan di dalam dadaku.

“Sini lo,” kata Kak Dylan berjalan ke arahku.

Secara naluriah aku berjalan memutari meja, mencoba tetap menghindar dari Kak Dylan. “Sana lo,” balasku.

Kudengar kekehan dari arah Kak Eghi dan Kak Shila. Dan mendadak saja aku menjadi sebal dan sakit hati secara bersamaan.

“Lo berdua bisa bantu gue buat nangkap tuh bocah? Gue bayar ceban. Cepet bantuin gue,” ucap Kak Dylan kepada Kak Shila dan Kak Eghi.

“Dasar lemah!” ledekku.

“Eh, kurang ajar!” ucap Kak Dylan menunjuk ke arahku.

Karena takut tertangkap oleh Kak Dylan di ruang tamu yang tidak begitu luas, juga karena takut hatiku semakin sakit melihat Kak Shila dan Kak Eghi berduaan, akhirnya aku berlari ke teras. Kak Dylan masih mengejarku yang tentu saja membuatku terus berlari ke arah gerbang lalu ke jalan yang berada di depan rumah.

“Berhenti, Moz!” perintah Kak Dylan di belakangku.

“Nggak mau!” balasku seraya menoleh ke arah Kak Dylan yang masih menatapku garang.

“Beneran gue jitak terus gue jewer lo ya kalau tertangkap!”

“Gue nggak akan tertangkap!” balasku terus berlari. Hingga aku melihat mobil yang baru saja keluar dari halaman rumah Ferrish. Sontak saja aku mengetuk kaca mobil itu. “Buka!” teriakku panik ketika melihat Kak Dylan semakin mendekat. “Ferrish bukain pintunya!” Aku menarik pintu mobil yang tiba-tiba saja bisa terbuka. Langsung saja aku masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.

“Lo ngapain, sih?” tanya Ferrish menatapku bingung.

“Nanti gue ceritain. Jalan pokoknya!” kataku ketika melihat Kak Dylan sudah mengetuk kaca mobil Ferrish.

“Itu Kak Dylan?”

“Iya, ayo jalan!” kataku lagi menahan pintu agar tidak bisa dibuka oleh Kak Dylan.

“Astaga,” balas Ferrish seraya menjalankan mobil meninggalkan Kak Dylan yang sudah berteriak-teriak menyuruhku turun.

Aku tertawa senang melihat Kak Dylan yang sudah kesal setengah mati.

“Jadi, lo habis ngapain Kak Dylan?” tanya Ferrish.

“Biasa,” jawabku singkat. “Gue gigit.” Aku tersenyum lebar.

“Ya Tuhan,” balas Ferrish sudah geleng-geleng kepala.

*** 

“Omong-omong, kita ngapain di sini?” tanyaku menatap kafe yang berada di depanku dengan kebingungan.

“Gue mau nongkrong sama anak-anak,” kata Ferrish.

“Terus gue gimana?” tanyaku menoleh ke arah Ferrish yang berada di sampingku.

“Lo bisa pulang kalau mau. Atau lo mau nunggu di sini juga nggak apa-apa,” jawab Ferrish seraya keluar dari dalam mobil.

Aku terdiam di dalam mobil. Kini otakku sedang berpikir bagaimana caranya untuk pulang ke rumah ketika aku sedang tidak membawa uang ataupun ponsel. Ya, aku tadi naik ke mobil Ferrish tanpa banyak berpikir. Dan sekarang aku baru sadar jika Ferrish tadi bukan hanya sekadar ingin berkeliling kompleks dengan mobilnya melainkan mau pergi ke suatu tempat. Bodohnya diriku.

Cinta Satu KompleksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang