F.R.I.(E).N.D.(S) #5

170 18 0
                                    

Hari ini sebelum kepulangan Hardyan kembali ke KL, Lean pada akhirnya akan memberi jawaban atas permintaan Hardyan satu minggu yang lalu—saat keduanya bertemu kembali setelah sekian lama. Sebuah keputusan yang ia ambil setelah memikirkannya selama berhari-hari.

Setelah menghabiskan waktu satu minggu bersama pria itu. Lean semakin yakin atas keputusan yang ia pilih. Terlebih ia tak bisa mengabaikan perasaannya dalam hal ini.

Well, paling tidak selama seminggu terakhir Hardyan menunjukkan kesungguhannya terhadap perempuan itu. Terlihat sekali jika pria itu ingin memperbaiki hubungan mereka.

Dan kini disaat-saat terakhir menjelang pesawat take off, di sebuah counter penjual ice cream di bandara Husein Sastranegara, mereka terlibat satu adegan yang akan menentukan keberlangsungan hubungan mereka berdua.

“Cepat habiskan ice cream-nya, sebentar lagi pesawat kamu take off. Kamu harus check in lebih dulu, Har,” ujar Lean sambil menggenggam erat tas selempang yang ia kenakan sore itu. Terlihat sekali rasa gugup yang melandanya. Yah, Lean tidak pandai menyembunyikan hal tersebut, tetapi, ia tetap berusaha terlihat tenang di depan Hardyan.

“Aku tahu.”

Hardyan kembali menyantap ice cream choco vanilla yang dipesannya. Dengan sangat hati-hati ia menyuapi sendok kayu berukuran kecil ke mulutnya. “Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan kamu, Le.”

Lean menggelengkan kepalanya. Setiap kata-katanya, membuat ia melayang. Pria itu memang pandai merayunya. Dulu dan sekarang, sepertinya tidak akan pernah bisa berubah.

Lean tersenyum, dirinya juga menyadari jika saat ini wajahnya menjelma menjadi kepiting rebus. Merah, menahan rasa malu. Oh, pria itu selalu bisa memberinya perasaan seperti saat ini

“Sudah, cepat,” balasnya.

Pria itu semakin mempercepat gerakannya. Ia melirik arlojinya saat telah menyelesaikan kegiatannya.

Thank you, Har,” imbuh Lean.

“Untuk apa?” pria itu menanggapi dengan sedikit nada penasaran.

“Kamu sudah mencariku. Dan—”

“Seharusnya bukan seperti ini yang terjadi. Aku tidak semestinya mencari kamu, andai dulu aku mendengarkan kamu, Lean.”

No, kamu memilih keputusan yang tepat saat itu, Har.”

Pria itu mendengus lalu tersenyum sinis. Tidak yakin dengan ucapan perempuan itu. Mengapa Lean justru mendukung keputusannya dulu? Bukankah hal tersebut yang justru membuat Lean terbang ke Indonesia dan pada akhirnya menjadi zombie—patah hati akut?

Pria itu kemudian meletakkan cup ice cream yang sejak tadi berada di tangannya. Ia lalu mengamit tangan Lean dan meremasnya lembut. Ya, perempuan itu harus tahu bahwa ia menyesal. Sangat menyesal sehingga tidak bisa menjalani rumah tangganya dengan baik, bersama Amiza—perempuan pilihannya.

“Kamu nggak sungguh-sungguh mengatakannya, Lean. Mata kamu nggak bisa bohong. You still love me.

Lean melipat kedua bibirnya menjadi sebuah garis lurus. Benar! Apa yang Hardyan ucapkan adalah benar seratus persen. Ia hanya...

I do,” bisik Lean. “You totally right.”

Senyum mengembang di wajah pria itu. Ia puas, sangat puas ketika perempuan itu mengungkapkan perasaannya. See? Mereka berdua sama-sama masih memiliki perasaan itu. Lima tahun lamanya dan tidak pernah berubah sedikit pun.

Dan ketika waktunya tiba, Hardyan segera menarik Lean menuju security check point. Untuk kemudian keduanya melakukan perpisahan.

Lean memeluk erat Hardyan seraya tersenyum sedih, menggambarkan kehilangannya saat akan ditinggal Hardyan untuk kembali bekerja di KL. Begitupun sebaliknya yang di lakukan oleh Hardyan.

Namun, Hardyan lebih dulu melepaskan pelukannya. Ia menatap sosok Lean dalam-dalam. Seraya memberi sebuah isyarat; katakan sekarang juga.

Well, aku tahu kamu menunggu jawaban aku mengenai permintaan kamu itu, kan?”

Hardyan mengangguk, sementara Lean tersenyum penuh keyakinan.

I can’t do this, Har.”

Wait, what?!

“Maksud kamu?”

“Aku nggak bisa kasih kesempatan itu untuk kamu ”

“Tapi, tadi kamu bilang—”

“Pergilah, Har.”

Tidak ada pergerakan yang berarti dari Hardyan. Bahkan tubuh laki-laki itu seperti berubah menjadi seperti bongkahan es. Beku.

How could you,” pria itu berkata setengah berbisik. Wajahnya dipenuhi dengan kekecewaan. Terperangah akibat jawaban yang Lean berikan. Ini kah rasanya?

Good bye,” lanjut Lean.

Perempuan itu maju selangkah, seraya memberikan kecupan selamat jalan pada Hardyan tepat di pipinya.

Lean memutar tubuhnya. Bergerak menjauhi Hardyan yang masih bergeming di tempatnya. Dan, pada akhirnya pria itu benar-benar mendapatkannya. Hukum karma atas perlakuannya lima tahun yang lalu pada perempuan itu.

Dikecewakan dan ditinggalkan.

###

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Where stories live. Discover now