F.R.I.(E).N.D.(S) #3

161 18 0
                                    

Aku? Dia menginginkanku?

Well, saya mencari kamu,” pria itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu sejurus kemudian menarik kursi di sampingnya, mempersilahkan Lean duduk di sana.

Tanpa ada rasa ragu, Lean menurutinya. Buku menu yang berada di dalam dekapannya, ia lepas dan taruh di atas meja. Selama melakukan hal tersebut, tatap mata Lean tak sedikitpun bergeser dari titik fokusnya. Untuk kesekian kalinya—bahkan setelah beberapa tahun terlewati—Lean terpesona.

“Surat itu, saya sudah baca isinya.”

Surat? Astaga! Mata Lean terbelalak lebar, bahkan kedua bola matanya seperti akan copot.

“Kamu menulis itu lima tahun yang lalu?”

Lean mengangguk, mengiyakan.

“Saya baru berani membacanya dua minggu yang lalu, sebelum saya putuskan untuk ke sini.”

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Lean. Akhirnya setelah beberapa lamanya ia terdiam dan terpukau, suaranya kembali terdengar.

“Saya sudah katakan, saya ke sini untuk mencari kamu.”

“Maksud saya, kamu tahu dari mana kalau saya—”

“Saya punya data diri setiap mahasiswa yang saya ajar. Nggak sulit untuk saya mendapatkan alamat rumah orang tua kamu.”

Selama menuntut ilmu di Monash University Malaysia, pria ini adalah satu dari tenaga pengajar asal Indonesia yang mendapat jadwal mengajar di kelas yang Lean ikuti.

Pertemuan pertama mereka ditengarai oleh sosok Rami yang menjadi perantara. Dosen sekaligus teman Rami dalam sebuah kelompok diskusi. Kedekatan mereka berlangsung cukup lama, sebelum akhirnya Hardyan memilih untuk mengakhirinya karena suatu alasan.

“Lalu, kamu mau apa? Ada sesuatu yang harus saya pertanggungjawabkan dengan tulisan saya?”

“Ya. Dan ini menyangkut kehidupan keluarga saya.”

Baru saja Lean merasa melayang terbawa angin, namun seketika itu juga ia terhempas. Keluarga?

“Saya benar-benar nggak mengerti maksud ucapan kamu, Hardyan.”

“Karena isi surat kamu, seseorang telah menjadi korban.”

“Korban?”

“Kamu harus percaya kalau hanya karena sepucuk surat, saya harus melepas seseorang.”

Siang itu Lean benar-benar dibuat tidak mengerti sekaligus penasaran dengan ucapan yang dituturkan oleh Hardyan.

It means, kamu menyalahkan saya atas semua yang terjadi dengan keluarga kamu?”

Hardyan memejamkan kedua matanya, lalu secara reflek membungkus wajahnya ke dalam telapak tangannya. Untuk sesaat percakapan yang baru saja dimulai itu menjadi tegang dan panas. Dan emosi Lean sudah mulai terpancing.

“Hardyan, apapun yang terjadi saat ini bukan kesalahanku. Saya menulisnya lima tahun yang lalu!”

“Ya, memang. Ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Ini... kesalahanku juga.”

“Maksud kamu?”

Dengan tangan gemetar, Hardyan merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Kurang lebih benda tersebut adalah sesuatu yang sedang menjadi topik hangat pembicaraan kali ini.

Sebuah surat beramplop hijau toska. Dan Lean ingat betul kalau benda yang ada di genggaman tangan Hardyan adalah surat yang ia tulis sebelum ia kembali ke Indonesia.

“Saya sengaja menyembunyikan ini di tempat yang hanya saya sendiri yang tahu. Tapi, dia menemukannya dan celakanya dia membaca isi surat yang belum pernah saya baca sama sekali ini.”

“Kenapa?” tanya Lean  polos.

Hardyan tersenyum miris saat mendengar pertanyaan Lean yang mampu membuatnya tersudut dan harus mengakui sesuatu yang ia tutup-tutupi selama lima tahun belakangan.

“Karena setiap melihat benda itu, saya teringat kamu dan penyesalan saya karna sudah menyia-nyiakan kamu, Le.”

***

Kuala Lumpur.
5 tahun yang lalu.

“Eleanis, ada sesuatu yang harus aku bicarakan,” ungkap Hardyan di sela-sela perjalanan mereka menyusuri lorong jembatan yang menghubungkan kedua gedung kembar.

Lean yang berjalan di depan Hardyan, berhenti saat itu juga. Ia memutar tubuhnya dan menatap wajah Hardyan yang diselimuti dengan kegundahan.

“Ada apa, Har?”

Senja bermandikan pemandangan matahari terbenam itu sungguh tidak pernah akan Lean lupakan seumur hidupnya. Untuk yang kesekian kalinya ia menghabiskan waktu berdua dengan lelaki pujaannya. Tapi, kencan kali ini sangat berbeda dibandingkan dengan kencan yang sudah-sudah.

Tidak seperti biasanya yang hanya mereka lewati di kampus, atau dalam forum diskusi. Kali ini tanpa tedeng aling-aling Hardyan mengajaknya jalan di muka umum. Itu artinya, ada banyak orang selain di dalam lingkungan kampus yang melihat kedekatan mereka.

Rasa cintanya pada pria yang satu ini memang membutakan mata hatinya. Membuat Lean seperti tak memiliki harga diri demi mengharapkan sesuatu yang semenjak awal memang bukan miliknya.

“Ini tentang kita, Le.”

“Ya?”

Sudah dengan berbagai macam penjelasan, Hardyan coba untuk memberi peringatan. Namun, Lean tak pernah mau ambil pusing, juga tidak peduli sama sekali. Ia tutup kuping dengan banyak selentingan negatif tentang aksi nekatnya; mendekati laki-laki yang telah terikat pertunangan dengan perempuan lain.

“Katakan saja, Har,” pancing Lean yang sudah terlanjur penasaran dengan ucapan Hardyan yang menggantung.

“Aku ingin semua ini berakhir.”

Dan, tiba-tiba saja tubuhnya seperti didorong dari tempatnya berdiri saat ini. Membuat Lean menerjang jendela kaca yang ada di sampingnya, lalu terjun dari jembatan penghubung kedua menara Petronas tersebut.

“Dan, aku memutuskan untuk melanjutkan pertunanganku dengan Amiza ke tahap yang lebih serius lagi.”

Sejujurnya, tak perlu dijelaskan kembali pun Lean sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Hardyan. Namun, terlanjur untuk menginterupsi penjelasan tersebut, segala yang diucapkan pria itu membuatnya gamang.

“Tapi, kamu berjanji untuk berusaha,” ujar Lean yang tetap mencoba untuk berpikiran jernih.

“Aku sudah mencobanya.”

Hening.

“Kurasa, semua ini harus diperbaiki. Ini salah. Dan keputusanku sudah bulat,” lanjut Hardyan.

Perempuan itu terlihat tak karuan. Bahkan dalam satu menit belakangan ia tidak sama sekali mengejapkan mata, praktis membuat air matanya meluruh.

“Maaf kalau selama ini aku—”

Stop!

Dengan tangan gemetar, Lean meraih kepalanya dan meremas rambutnya. Sedang Hardyan dengan perasaan bercampur aduk hanya dapat melihat dan menonton kekecewaan yang telah ia ciptakan.

Puluhan pasang mata yang melintasi mereka, menatap dengan ekspresi bermacam-macam. Iba, aneh, bahkan risi mereka tunjukkan sebagai respon dari tontonan yang tersaji di depan mereka.

“Maaf,” ucap Hardyan. Lalu, tanpa berdosa ia beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Lean dalam keadaan kacau balau.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Where stories live. Discover now