F.R.(I).E.N.D.(S) #2

180 18 0
                                    

Hujan mengguyur kawasan Kebon Jati, Bandung. Meski tidak begitu besar, namun enggan rasanya untuk Ilse menerjang serangan air langit tersebut. Jadi, ia menunggu jemputan adik laki-lakinya di ruang piket.

Satu menit, lima menit, lima belas menit, batang hidung adiknya tak kunjung terlihat. Hujan yang tadinya tidak begitu besar, tiba-tiba kian lebat. Hatinya mengumpat kesal akibat perbuatan sang adik.

Berkali-kali coba untuk dihubungi, namun, sang empunya ponsel tak menjawab panggilan tersebut. Akhirnya Ilse memutuskan untuk menunggu di depan beranda rumah sakit. Berharap sang adik sedang dalam perjalanan memasuki pelataran rumah sakit.

Tapi, dugaannya meleset tajam. Selang lima menit Ilse menunggu, ia tak juga mengenali wajah orang-orang yang melintas di sekitarnya atau bahkan menemukan plat nomor mobil milik ayahnya.

“Ke mana sih dia?!” desis Ilse yang kedua tangannya sudah terlipat di depan dadanya.

Kekesalan yang hampir saja meledak, digagalkan oleh kehadiran seseorang yang baru saja bertemu dengannya beberapa jam yang lalu. Ia adalah orang yang sama yang diam-diam sering mengumbar cerita tentang Ilse di depan teman-temannya. Wilzar!

Pria bertubuh tinggi atletis itu berdiri di sebelah Ilse. Jas dan stetoskopnya ditanggalkan. Kini, pria keturunan Arab—sama seperti Ilse—tersebut hanya mengenakan kemeja yang digulung hingga siku dan celana bahan berwarna hitam. Tak ketinggalan tas ransel yang menempel di punggungnya, dan sebuah kunci mobil yang ada dalam genggaman tangannya.

“Hai, Ils,” sapanya. Ilse yang terperdaya oleh pria tersebut hanya berdiri tegak bagai sebuah monumen.

Darah seolah surut dari tubuhnya. Ia tak bisa bergerak, bahkan mengucap sepatah katapun. Karena saat ini, Ilse benar-benar sedang tersihir oleh Wilzar yang ada di hadapannya.

“Kamu seharusnya sudah selesai tugas dari setengah jam yang lalu, kan?”

Hening. Saat itu didominasi dengan suara tempias hujan dan klakson kendaraan yang mengantre di pintu masuk rumah sakit.

“Ils? Kamu kenapa? Kok diam?”

Sekejap pikiran Ilse yang sudah terbang terlalu jauh, kembali ke asalnya. Ia tersadar dari lamunannya, dan menatap wajah Wilzar lekat-lekat sembari mengangkat sebelah alisnya. Meminta agar pertanyaan diulang.

Sorry, Dok. Saya uhm—” Ilse gelagapan saat mencoba menyusun kalimat yang tepat.

“Lupakan. Mau temani saya ke suatu tempat?”

Ilse sempat melongo sebelum menjawab ajakan Wilzar yang tergolong langka tersebut.

“Ke mana, Dok?”

Well, kamu akan tahu. Bagaimana?”

“Sebenarnya, saya—”

“Saya nggak memaksa kalau seandainya kamu ada urusan lain.”

“Bukan, bukan begitu Dok. Maksud saya ..., ya, kita akan pergi.”

Seutas senyum tergambar di wajah Wilzar yang bersih kala itu. Jantungnya seperti berhenti saat itu juga. Itu adalah senyum mematikan milik Wilzar yang tak bisa Ilse tolak!

“Oke, kita ke basement sekarang,” kata Wilzar, kemudian berbalik arah masuk kembali ke lobby menuju lift terdekat.

Sepersekian detik, Ilse memperhatikan kejadian tersebut. Otaknya dengan cepat merespon hal janggal di depannya. Kalau dia memarkirkan mobilnya di basement, lalu, apa yang dia lakukan di sini? Di sebelahku?

***

Mobil sedan tersebut berhenti tepat di sebuah kafe yang berada di sebuah dataran tinggi di timur Bandung, Caringin Tilu. Wilzar memarkirkan mobilnya di depan kafe berjuluk ‘Kafe Bata Merah’ itu. Dari tempat tersebut para pengunjung dapat menikmati eksotika malam Bandung dari atas ketinggian di kelilingi oleh beberapa gunung yang membentuk lengkungan, dan taburan lampu rumah penduduk yang terlihat seperti hamparan bintang.

Ilse sempat kebingunan saat mobil yang dikendarai Wilzar melaju begitu jauh ke arah timur. Tanpa memberitahu ke mana arah tujuannya, Wilzar mengemudikan mobilnya dengan santai. Sementara Ilse, manut dan tak banyak bicara. Sepenuhnya ia percaya pada Wilzar yang mendadak menjadi penuh misteri.

“Turun yuk, Ils. Kita makan malam di sini saja,” kata Wilzar sambil membuka seat belt yang melilit tubuhnya.

Ia membuka pintu dan turun lebih dahulu, untuk membantu Ilse keluar dari mobil. Setelah masing-masing telah berada di luar mobil, tanpa canggung Wilzar mengamit tangan Ilse dan menariknya masuk ke dalam kafe tersebut.

Dan, untuk ke sekian kalinya dalam waktu satu jam terakhir, jantung Ilse kembali berhenti berdetak. Bedanya untuk kali ini, Ilse benar-benar membutuhkan waktu yang lama untuk kembali tersadar. Ia dibuat kepayahan oleh sekali sentuhan saja!

“Nah, Ils. Kita duduk di sini saja, ya? Yah, sambil menunggu malam datang. Kamu nggak keberatan kan, nemenin saya makan malam?”

Tatap mata Ilse lurus pada satu titik, yaitu Wilzar. Perempuan itu kehabisan kata-kata, sedangkan ia seperti mengalami fenomena cardiac arrest akibat sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantungnya terganggu oleh sentuhan pria itu. Gosh!

“Ils, are you ok?” Wilzar melambaikan tangannya di depan wajah Ilse yang terlihat lenguh. Keadaan seperti itu membuat Wilzar khawatir, karena Ilse tak kunjung merespon ucapannya.

“Uhm, ya?” sahut Ilse.

“Saya khawatir dengan kondisi kamu. Kamu sehat, kan?”

“Ya, sangat!” ujarnya antusias. Ia bahkan tak pernah merasa sebaik ini sebelumnya—kelewat sehat.

“Syukurlah,” Wilzar menarik napas lega. “Saya pikir kamu sedang tidak fit,” lanjutnya.

Ilse tak menjawab, ia hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.

Lalu, apa yang harus ia jawab jika ia tak punya jawabannya? Ia bahkan tak bisa menyusun kalimat yang benar setelah kejadian tadi. Ya, Wilzar baru saja menyentuhnya—di luar formalitas—untuk yang kedua kali.

“Nah, sambil kita menunggu, gimana kalau kamu cerita tentang teman kamu itu?”

Kedua mata Ilse mengerjap. Ia butuh sedetik untuk mengerti ucapan Wilzar yang melebar dari dugaannya.

Siapa? Teman yang mana?

“Noura?” jawabnya ragu-ragu.

Yes! Mantan teman dekat Rami,” katanya mantap.

Kenapa harus cerita tentang Noura? Kenapa nggak tanya tentang aku?! Batinnya kecewa.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Where stories live. Discover now