F.R.I.(E).N.D.(S) #2

164 18 0
                                    

Pria itu duduk di pojok ruangan yang bermandikan cahaya lampu cornice. Perhatian Lean seperti tersedot ke satu titik. Matanya yang seperti bulan sabit, makin membentuk lengkung garis sempurna saat mencoba menerawang untuk memperjelas pengelihatannya.

Sementara itu, tugasnya mempertemukan Rami dan Diola telah selesai. Mereka berdua terlihat sedang terlibat dalam sebuah diskusi di sudut ruangan yang lain.

Aku tidak salah lihat, kan? Apa itu benar dia?

Tak hanya sekali, namun berakali-kali Lean mengerjapkan matanya. Tapi, pengelihatannya yang agak kabur karena efek koktail yang diminumnya beberapa jam yang lalu, ternyata bukan sekedar tipuan. Sosok di pojokan itu nyata!

Apa yang sedang dia lakukan di tempat ini?

Secepat kilat kepalanya berputar ke arah yang berlawanan, mencoba memanggil Rami. Ia merasa perlu memastikan keabsahan pengelihatannya malam itu. Lean masih ragu, bisa jadi hal itu hanya fatamorgana karena ia terlalu kelelahan.

Rami yang dipanggil, jelas tak menggubris Lean. Pria itu nampaknya sedang asyik membangun percakapan dengan Diola yang masih terlihat malu-malu.

Kenapa dia ada di sini? Selarut ini? Bukankah seharusnya dia ada di KL?

***

Rami tersenyum lebar saat mendengar ucapan Lean, siang itu. Penjelasan mengenai kemunculan sosok orang yang sama-sama mereka kenal di café semalam, jelas membuat Rami geli.

Awak ni mimpi, keh? Mane de diorang semalam di kafe.”

“Aku lihat dia, Ram!”

“Oke, mungkin betul. Tapi, sedang apa dia di sana?”

“Mana aku tahu,” Lean mengangkat kedua bahunya.

Camne awak ni!

Rami yang sejak tadi berdiri di balik meja pantri, berbalik dan membuka lemari pendingin untuk kemudian mengambil soft drink.

“Dia sama sekali nggak berubah, Ram. Masih sama.”

“A-ah. Hardyan memang seperti itu di mata kamu, kan?”

Bibir Lean terpuntir seketika. Ia yang duduk di atas kursi putar tanpa sandaran tersebut, memutar kursinya hingga membelakangi Rami.

“Kamu lebih mengenalnya daripada aku, Ram,” ujar Lean dengan kepala tertunduk.

Rami berjalan memutar dan menghampiri Lean, kemudian duduk di sebelahnya. Soft drink yang ada di genggaman tangannya sejak tadi, ia taruh di atas meja pantry persis di sebelahnya.

“Aku nggak menyangka kalau kamu masih menyimpan perasaan itu meski sudah bertahun-tahun berlalu, dan ribuan kilometer dipisahkan oleh jarak.”

Lean mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Rami. “Ada yang salah, ya?”

Rami menggeleng keras. Ditatapnya lekat-lekat perempuan yang ada di hadapannya tersebut. Baginya, Lean bukan hanya sekedar teman atau sahabat semata. Dia sudah seperti saudara baginya. Semenjak kepergian Ilana, Lean menjadi satu-satunya tempat ia mencurahkan isi hatinya.

“Nggak salah, Le. Tapi ingat, dia bukan lagi lajang seperti dulu. Itu yang membuat kamu mundur, kan?”

“Ya, kamu benar, Ram,” sekelebat Lean teringat sesuatu. Hal yang ia sembunyikan selama ini dari Rami. Bahwa ia menjalin hubungan dengan Hardyan bahkan disaat pria itu sudah memiliki tunangan.

“Setelah lima tahun berjalan, pasti dia hidup bahagia dengan pasangannya, bahkan mungkin dia juga sudah memiliki anak,” lanjutnya.

Bahu perempuan itu melemas, kepalanya kembali tertunduk. Wajahnya murung, atau bahkan menahan sakit?

Dah lah, kitorang dah same-same dewasa. Awak tau mane perkara yang baik, keh?”

Tiba-tiba Rami menarik Lean ke dalam rangkulannya. Lean yang tanpa persiapan itu hampir saja terjatuh dari kursinya akibat perbuatan Rami.

“Kita harus move on, Le!”

Senyum mengembang di wajah Lean. Memang pria ini terlalu bisa untuk menghibur hatinya.

“Kita berdua!”

“Ya, move on!” Rami kembali mempertegas ucapannya.

***

Mengucapkan sebuah kalimat, itu mudah. Membuat sebuah janji, itu bisa diatur. Tapi, untuk menepatinya?

Lean bagai tak berkutik ketika dihadapkan oleh kenyataan yang bertolak belakang dengan sumpahnya sendiri.

Masih hangat di ingatannya sebuah kalimat yang ia ucapkan bersama Rami kemarin sore di dapur rumahnya. Namun, nyatanya semua itu seperti tidak berguna saat sosok itu kembali muncul di hadapannya.

Pria yang tempo hari Lean lihat di kafenya muncul lagi. Masih orang yang sama—persis seperti di ingatan Lean. Pria yang selalu memakai kemeja dan tak pernah lepas dari kacamatanya.

Dari kejauhan, Lean menatap lekat pria itu. Dan tanpa disangka, pria itu balas menatap Lean—dengan kedua matanya yang bulat bersembunyi di balik bingkai kacamatanya.

Bagaikan sebuah magnet dengan dua kutub yang berbeda, saling tarik menarik. Atau lebih tepatnya, Lean yang tertarik untuk menghampiri pria itu.

Dengan langkah ringan tanpa beban, Lean berjalan ke tengah ruangan. Sebuah buku menu ia dekap di depan dadanya. Saat tepat berada di samping meja yang ditempati pria tersebut Lean berhenti. Berdiri tak bergerak. Ia seakan baru sadar dengan apa yang diperbuatnya.

“Permisi,” katanya dengan sopan. Kalau boleh jujur, perasaan yang dirasakan Lean lebih dari tidak karuan. Campur aduk tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Pria itu mendongak dan mengangkat sebelah alisnya. Bahkan kacamatanya yang bertengger di pangkal hidungnya itu merosot hingga ujung hidungnya yang bulat mengerucut.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Yang diajak bicara diam, dan hanya menggelengkan kepalanya.

“Mungkin Anda mau memesan sebuah tambahan?”

Lagi, ia menggeleng sebagai jawabannya.

Lean menelan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Benarkah pria ini tidak mengenalnya sama sekali? Bahkan dengan segala kebodohan yang telah ia lakukan, menghampirinya.

Alright. Mungkin saya salah mengartikan isyarat Anda,” ujar Lean. Sejurus kemudian ia memutar tubuhnya dan meninggalkan pria itu di tempatnya.

Baru dua langkah, Lean mendengar namanya dipanggil. Dalam hati ia berteriak sekaligus berdoa di waktu yang bersamaan.

“Kamu nggak salah mengartikan. Saya memang menginginkan sesuatu dari kamu, Eleanis.”

Sontak saja Lean terhenyak. Sukmanya seperti tertiup angin, dan terbang mengikuti ke mana angin membawanya.

***

F.R.I.E.N.D.(S) ☑️Where stories live. Discover now